Ular ‘Tuk Pemimpin Zalim

0

Oleh: Almin Hatta

JAUH hari sebelum masuk masa kampanye Pilkada sekarang ini, kita sudah sering mendengar cerita tentang pasangan bakal calon kepala daerah mengunjungi masjid, panti asuhan, atau madrasah. Kita bahkan terkadang menyaksikan langsung kehadiran mereka di sana, meski tak sempat saling sapa.

KEHADIRAN para bakal calon pemimpin daerah itu jelas membawa berkah. Sebab, pada umumnya mereka datang dengan segepok sedekah. Setidaknya, kehadiran mereka itu bermakna menyambung kembali tali silaturrahmi yang sudah agak lama terisolasi.

Kedatangan para bakal calon kepala daerah itu ada yang tampak sangat bersahaja, sebagaimana layaknya jamaah masjid biasa. Tapi ada pula yang tampil jumawa, seakan ia sudah menjadi gubernur, bupati, atau walikota, yang berkuasa.

Mereka harus duduk di shaf paling muka, padahal ia bukanlah jamaah masjid yang datang pertama. Usai shalat wajib berjamaah, ia bahkan nekat mengganggu kekhusukkan shalat sunat dan doa-doa para jamaah, dengan perkenalan dirinya yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah.

Karena itulah saya tiba-tiba teringat salah satu kisah dari kumpulan cerita yang terangkum dalam buku “Dialog Dialog Sufi” karya Husein Shahab. Ringkasan cerita berjudul “Nasihat Thawus kepada Pejabat” itu begini.

Suatu hari Gubernur Damaskus, Hisham bin Abdul Malik (Dinasti Bani Umayah) datang ke Masjidil Haram di Makkah. Saat itu ia minta dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi yang masih tersisa. Namun yang ada cuma Thawus Al-Yamani, seorang tabiin yang merupakan generasi pasca empat sahabat Rasulullah SAW.

Thawus yang lebih dikenal sebagai sufi ini pun datang menemuinya. Tapi, begitu mengucapkan “assalamu alaika…”, ia nyelonong saja tanpa melakukan penghormatan sebagaimana mestinya kepada seorang penguasa. Ia bahkan kemudian menyapa dengan bahasa yang teramat bersahaja. “Bagaimana keadaanmu hai Hisham?” ujarnya, tanpa embel-embel “yang mulia”.

BACA : Beratnya Amanah Kehidupan

Melihat tingkah Thawus yang tanpa perhormatan, Hisham pun berang. Tapi Thawus tak peduli dan bahkan melanjutkan dengan suara pelan, “Anda berada dalam wilayah Tanah Suci Allah dan Tanah Suci Rasulullah. Karenanya, demi tempat yang mulia ini, maka Anda tidak diperkenankan marah-marah.”

“Lalu, apa maksud Anda melakukan semua ini?” tanya Hisham masih dengan marah dan wajah memerah. “Apa yang telah saya lakukan, sehingga Anda marah tak karuan?” balas Thawus dengan suara yang tetap pelan.

Maka Hisham pun berkata keras. “Anda menemuiku tanpa salam takzim sebagaimana lazimnya kepada seorang pemimpin. Anda juga tak mencium tanganku sebagaimana kebiasaan yang berlaku. Anda bahkan memanggilku cuma dengan nama kecilku, tanpa menyertakan gelar kedudukan dan jabatanku. Bukankah itu semua penghinaan terhadapku?”

Tapi Thawus cuma tersenyum ramah. Lalu, “Aku sengaja tidak cium tanganmu, sebab Ali (bin Abi Thalib) pernah berkata bahwa seseorang tidak mencium tangan orang lain kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anaknya karena kasih-sayang. Aku sengaja tidak mengucapkan salam takzim dan menyebutmu amirulmukminin lantaran tidak semua orang rela engkau pimpin. Aku tidak menyebut gelar kebesaranmu, lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya dalam Alqur’an cukup dengan nama mereka saja seperti Daud, Yahya, dan Isa.

Hisham pun terpana dan berkata pelan, ”Wahai Thawus, teruskanlah nasihatimu untukku.” Maka Thawus pun melanjutkan, “Kudengar Ali berkata, sungguh dalam api neraka ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa menyengat setiap pemimpin yang zalim dan tak adil terhadap rakyatnya.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.