Gus Dur, Sang Kosmopolit dan Pemikiran Islam yang Universal

0

BUKU berjudul Sang Kosmopolit ditulis Hairus Salim, budayawan Nahdliyyin asal Tabalong Kalsel. Seorang yang sangat mengagumi Gus Dur. Baginya, Gus Dur sang Kosmopolit. Pemikirannya tentang Islam sangat universal. Menurutnya universalisme Islam, akan menjadi nyata dan menyumbang pada kemanusiaan, jika ada dukungan sikap kosmopolit seperti keterbukaan, kesediaan berdialog dan keberanian membuat terobosan pengetahuan.

DALAM buku ini, Hairus Salim mengaku kenal dekat dengan Gus Dur sejak kuliah. Bahkan dia menceritakan kenal Gus Dur waktu masih sekolah. Ada buku milik ayahnya, buku tentang KH Ahmad Wahid Hasyim. Yang menarik, dalam buku tersebut tidak ada nama Gus Dur, yang ada justru nama Hasyim Wahid.

Ada nama Abdurrahman Ad Dahil. Setelah lama, baru dia tahu bahwa itulah nama sebenarnya dari Gus Dur. Karena ternyata Gus Dur hanya mengambil nama depannya Abdurrahman dan disambung dengan nama ayahnya Wahid.

“Tidak pernah Gus Dur memakai nama Abdurrahman Ad Dahil, sehingga hampir tidak ada yang mengenal nama tersebut,” kata budayawan dan pendiri Kampung Buku Banjarmasin, Hajriansyah, mengawali perbincangan di Palidangan Noorhalis (Majid), Pro 1 RRI Banjarmasin bertemu Sang Kosmopolit, Kamis (7/2/2020).  

Buku ini  menceritakan pengalaman Hairus Salim, tertuang dalam berbagai catatan ringan, baik dalam bentuk esai, makalah, ataupun tulisan di facebook, mengulas tentang sosok Gu Dur.

BACA : Berziarah ke Makam Gus Dur dan Guru Sekumpul yang Membawa Berkah

Tulisan tersebut dikumpulkan, dan jadilah buku Sang Kosmopolit. Suatu kumpulan catatan yang ditulis dengan gaya bahasa khas, sehingga terasa sangat dekat dengan Gus Dur.

Salim mengaku dulu dia membayangkan Gus Dur itu seorang yang besar, karena waktu itu melihatnya dari jauh. Namun setelah dekat dan akrab, ternyata orangnya sangat cair.

Bahkan Gus Dur sering bertanya kepada Salim tentang buku apa yang lagi ramai dibaca. Lalu menyelenggarkan berbagai diskusi buku dibanyak tempat. Mau saja Gus Dur menenteng buku kemana-mana, sekadar menceritakan dalam berbagai forum bahwa ada buku bagus yang harus dibaca.

Dari situ muncul kekaguman. Bahwa ternyata Gus Dur sosok humanis, kosmopolit, seorang yang sangat terbuka, bisa bergaul dengan siapa saja dan tidak ada sekat sama sekali.

“Kelebihan dari buku ini adalah kemampuan bercerita dari Hairus Salaim, sehingga sangat enak dibaca, ringan dan yang pasti mampu memotret Gus Dur dari sangat dekat,” papar Hajriansyah.

Narasumber lainya, Anwar Masduki Azzam, seorang peneliti, mahasiswa University of Groningen, khusus meneliti  Gus Dur dan mengumpulkan banyak buku Gus Dur dan buku tentang Gus Dur. Ia mengakui sudah banyak buku tetang Gus Dur. Bahkan, Azzam berencana membuat pojok perpustakaan khusus buku tetang Gus Dur.

BACA JUGA : Gus Dur, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh Dan Papua 1999-2001 (Bagian Kedua-Tamat)

Buku Hairus Salim ini, kata Azzam, berhasil menjelaskan posisi Gus Dur terhadap berbagai wacana yang berkembang. Bahwa Gus Dur mampu mendialogkan sesuatu yang biasa dipertentangkan.

“Menjadi muslim itu semestinya kosmopolit, mampu menjadi warga dunia. Sering Islam itu dipertentangkan dengan Barat. Kenapa harus diperbandingkan? Sangat tidak padan. Barat itu padan bila dibandingkan dengan Timur, dengan Utara atau Selatan, bukan dengan Islam,” ucap Azzam.

Menurut dia, ada hal yang menjadi tertawaan orang di Eropa, karena banyak orang menghadapkan Islam dengan Eropa. Dua hal yang berbeda tapi dihadap-hadapkan.

Gus Dur berhasil mendudukkan Islam dan negara, sehingga tidak saling menegasikan. Tidak saling mendominasi.

“Peristiwa di Minahasa baru-baru tadi, menggambarkan bahwa apa yang diajarkan Gus Dur masih sangat relevan dalam kontek kekinian. Agar semua kita saling menjaga hubungan antar agama, hidup damai dalam perbedaan, bukan saling mengalahkan satu dengan lainnya,” tutur Azzam.

BACA : GUS DUR, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001 (bagian pertama)

Ia mengatakan seorang Hairus Salim kembali mengingatkan kita semua, agar Islam itu dipahami dengan sebaik-baiknya, maka akan ada titik temu dari banyak perbedaan, baik berbedaan agama, budaya, aliran dan lain sebagainya.

“Keberanian mendialogkan berbagai perbedaan itu membuat kita mampu memahami bahwa kita memang berbeda,” ucap Azzam.

Padilah Rizani, anak muda NU yang juga mengagumi Gus Dur, melihat buku ini tidak saja soal kiai kampung yang kemudian menjadi tokoh dunia, atau kiai yang menjadi presiden.

“Namun, seseorang yang terus mengajarkan agar kita sebagai muslim harus memanusiakan manusia. Karena itu bila kita memandang semua manusia sama, maka tidak akan ada radikalisme, terorisme, eksklusifisme, serta tindak kekerasan atas nama agama,” ucapnya.

BACA JUGA : Sambut Tahun 2019, Aktivis NU Tekad Perjuangkan Ide Besar Gus Dur

Budayawan muda ini mengungkapkan Gus Dur mengajarkan agar beragama dengan santai. Tidak perlu keras, apalagi sampai menutup diri dan menjauhi orang lain yang berbeda. Dengan santai, maka berbagai persoalan berat menjadi ringan.

“Tugas orang beragama memang meringankan masalah yang berat agar mampu diselesaikan dengan mudah,” kata Padilah.

Hajriansyah menambahkan, dalam buku ini Hairus Salim juga mengenalkan Gus Dur sebagai tokoh gagal yang berhasil. Tentu ini sangat unik.

“Gagal tapi berhasil. Dia manusia yang penuh kegagalan. Kuliah di Mesir, gagal. Bahkan sering bolos dan suka nonton film, alasannya, semua pelajaran yang diberikan sudah dia pelajari di pesantren. Kuliah lagi di Bahgdad, juga gagal, hingga melanjutkan ke Irak,”

“Pernah mendaftar jadi dosen IAIN di Surabaya, juga gagal. Bayangkan anak seorang tokoh, bahkan anak Menteri Agama, gagal mendaftar jadi dosen IAIN,” urai Hajriansyah.

BACA LAGI : Gus Dur Sebut Djohan Effendi bak Perpustakaan Berjalan

Ternyata berbagai kegagalan tersebut, menjadi mendorong untuk sesuatu yang lebih besar. Kata Salim dalam buku ini, kalau di antara kegagalan itu ada yang berhasil, maka bisa jadi Gus Dur tidak akan menjadi seperti yang kita kenal, bahkan mungkin tidak akan menjadi presiden.

“Gus Dur benar-benar menjadi teladan bagi banyak orang. Misalnya ketika selesai diangkat menjadi presiden, yang beliau lakukan mendatangi tiga orang sastrawan untuk meminta pendapat dan nasihat,” ucap Hajriansyah.

Menurut dia, Gus Dur menilai sastrawan dianggap sebagai orang yang layak memberikan nasihat. “Bayangkan hari ini, adakah kepala daerah yang mendatangi sastrawan setelah dilantik, malah justru dijauhi dan tidak pernah dianggap,” ujarnya.

Azzam menjelaskan pula, hal menarik dari buku itu adalah ketika Salim mengawali tulisannya dari berbagai kegagalan Gus Dur, kita harus menanyakan langsung, kenapa mengawalinya dari cerita-cerita gagal.

“Mungkin maksudnya agar pembaca tahu bahwa Gus Dur bukan makhluk sempurna, serba tahu, serba bisa. Perfek 100 persen. Saling melihat sisi manusia dari Gus Dur yang banyak salah dan gagalnya, tapi tidak pernah menganggap itu masalah, kemudian justru terus maju membuat perubahan,” papar Azzam.

Paidilah pun ikut menambahkan. Ia berharap anak muda dapat mencontoh Gus Dur, menjadi generasi yang toleran. Menurut dia, tidak perlu ekskulif, harus menjadi seorang yang inklusif, mau menerima perbedaan dan hidup damai dalam perbedaan. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, ukhuwah basyariah. Sehingga kita hidup dalam suasana persaudaraan.

BACA LAGI : Berdoa dan Nyalakan Lilin, Aktivis Gusdurian Kalsel Kecam Aksi Teror Gereja

Para pendengar Palidangan juga ikut menyampaikan tanggapannya.  Saddam di Banjarmasin, mengaku sudah mengenal Gus Dur jauh sebelum jadi presiden. Beliau sosok yang menarik.

“Yang paling paling berkesan, ketika menyampaikan “gitu aja kok repot”, ungkapan itu sangat dalam, bahwa segala persoalan mudah diselesaikan bila kita ingin menyelesaikannya.  Jangan mempersulit yang mudah, apalagi mencari-cari masalah,” papar Saddam.

Suriani Hair, di Kelayan Banjarmasin, sebuah buku yang bercerita tentang sejarah personal sangat ditentukan oleh siapa penulis dan penuturnya. Kalau ditulis dan dituturkan dengan menarik, maka bukunya juga akan menarik.

“Apalagi bila sasarannya anak muda, karena memang mereka generasi yang harus merawat bangsa ini. Maka bahasa yang ditulis harus bisa diterima anak muda. Harus bisa menjelaskan tentang apa yang menjadi pikiran sang tokoh dan apa yang terjani sekarang ini, apakah masih relevan menjawab persoalan-persoalan sekarang, kalau masih, maka bukunya akan diterima dan dibaca.

Azzam memberikan tanggapannya, bahwa “gitu aja kok repot”, adalah adigium yang besar. bahkan di Jawa Timur, ada komunitas Gitu Aja Kok Repot. Bahwa hal besar itu sebenarnya tidak ada. Semua ini masalah biasa saja. “Masalah kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Bahkan kalau mengaku berislam dengan kaffah, harus sampai pada pemahaman bahwa semua sudah diatur oleh Allah, kenapa harus repot. Santai saja, sang maha pengatur sudah mengaturnya sedemikian rupa,” ucap Azzam, balik mengomentari.

BACA LAGI : Muhammad Chalid, Sosok Hebat di Balik Sang Guru Politik NU, KH Idham Chalid

Buku ini usaha Hairus Salim, bagaimana seorang muslim menjadi sang kosmopolit sebagaimana Gus Dur. Namun untuk menjadi kosmopolit, Gus Dur membaca banyak buku, tanpa batas, semua buku dibaca, dilahap habis.

Ia juga mengembara ke berbagai negara, belajar ke banyak sekolah dan tokoh, bergaul secara luas dengan berbagai kalangan. Kalau hanya berdiam diri di kampung saja, tidak akan menjadi seorang yang kosmopolit.  

Paidilah memberikan tanggapan, ada lagu bang Haji Rhoma Irama, ‘kalau sudah tiada, baru terasa’, mungkin itulah yang terjadi dengan Gus Dur.

BACA LAGI : Jejak Sunyi Jalan Spritual Sang Guru Politik NU, Idham Chalid

“Waktu dia ada, banyak sekali hujatan, setelah tidak ada, semua orang merindukannya. Apalagi saat intoleransi merebak, orang rindu sosok Gus Dur yang mengayomi, dan memimpikan ada sosok yang seperti itu,” imbuhnya.

Hajriansyah juga memberikan tanggapan. Menurut dia, memang benar, tokoh dalam sebuah cerita atau buku, tergantung dari siapa yang menyampaikannya.

“Hairus Salim saya kira sangat tepat, karena dia anak muda NU yang sering berada di lingkungan Gus Dur. Dia juga salah satu pendiri Gus Durian. Dia tulis dengan bahasa yang sangat nyaman dibaca. Renyah, sehingga anak muda pasti suka,” ucapnya.

Misalnya di halaman 42 dia bercerita tentang pertemuan Gus Dur dengan Guru Sekumpul. Berawal dari obrolan Salim dengan Gus Dur di mobil saat mengunjungi anak Gus Dur di Magelang. Sepanjang perjalan, Gus Dur tidur, bangun, tidur lagi.

Nah saat bangun di perjalanan, Gus Dur tiba-tiba bertanya siapa ulama terkenal asal Kalimantan Selatan? Salim kemudian menjawab KH Zaini Ghani atau Guru Sekumpul. Setelah itu, baru bertemu Guru Sekumpul ketika menjadi presiden, mungkin itu pertemuan pertama Gus Dur dengan Guru Sekumpul. (jejakrekam)

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.