Lembah Kehidupan

0

Oleh : Almin Hatta

AKU telah mengukur puncak itu dan tak menemukan tempat peristirahatan di ketinggian suram dan tandus kemasyhuran.

SIAPA gerangan yang tak kenal Rabindranath Tagore, pemikir, pujangga, musisi, dan sekaligus tokoh pendidik kenamaan dari India yang memperoleh Nobel Prize for Literature (Nobel Sastra) pada 1913?

Tapi, apa katanya tentang popularitas, ketenaran, atau kemasyhuran? “Aku telah mengukur puncak itu dan tak menemukan tempat peristirahatan di ketinggian suram dan tandus kemasyhuran,” ujarnya, sebagaimana tersurat dalam bukunya The Heart of God yang penuh renungan tentang kehidupan.

Kalau demikian halnya, kalau kemasyhuran tak lebih dari kegersangan yang suram dan bahkan tak mampu membuat seseorang meraih ketenangan, kenapa pula begitu banyak orang yang tak henti-hentinya mengejar dan memimpikannya?

Kalau kemasyhuran tak lebih dari sebuah keterasingan, kenapa pula orang-orang ternama begitu dipuja sehingga menjadi pemicu yang nyata bagi banyak orang untuk meraih ketenaran yang sama?

“Kenikmatan di puncak tertinggi.” Begitu bunyi sebuah iklan minuman yang terasa teramat menggoda, membuat orang terpedaya untuk segera mencobanya.

Tapi, benarkah ketinggian selalu bermakna kenikmatan? Lalu, kenapa pula iklan itu justru menampilkan seorang pria gagah yang terasing sendirian di puncak gedung yang menjulang ke awan? Bukankah keterasingan justru melahirkan penderitaan, minimal kesunyian yang menyakitkan?

Setidaknya demikianlah yang dirasakan Tagore ketika kemasyhuran melingkari lehernya, ketika ketenaran malah membuatnya bimbang, ketika ketenaran justru memabukkan.

“Bimbinglah aku Tuhan, sebelum cahaya itu memudar ke dalam lembah-lembah ketenangan tempat panen hidup menguning menjadi kebajikan emas,” ujarnya.

Memang, ketenaran yang identik dengan ketinggian terkadang teramat menakutkan. Sebab ketinggian sangat memungkinkan seseorang jatuh terjerembab ke dalam jurang yang teramat dalam.

Karena itulah Tagore memilih segera kembali ke lembah, yang diyakininya sebagai tempat berseminya ketenangan. Tokoh India kelahiran 1861 itu percaya, lembah bukanlah tempat yang akan menyeret seseorang pada keterpurukkan. Lembah baginya justru dataran luas tempat kehidupan seseorang dapat memberikan makna bagi sesama. “…tempat panen hidup menguning menjadi emas kebajikan,” ujarnya.

Soalnya, orang kebanyakan memang selalu bertebaran di dataran rendah yang disebut lembah kehidupan. Soalnya, di lembah kehidupan inilah kebajikan benar-benar terasa sebagai kebajikan yang mendatangkan kebahagiaan.

Sedangkan di ketinggian, kebajikan justru seringkali diragukan dan bahkan mencurigakan. Lebih dari itu, orang yang berada di ketinggian tidak lagi membutuhkan kebajikan. Orang yang telah mencapai kemasyhuran justru memerlukan pertolongan: bagaimana caranya agar tak keterusan melambung ke angkasa, bagaimana caranya agar bisa turun kembali dengan aman ke lembah kehidupan nyata.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.