Kasus Narkoba Tak Kunjung Reda, Mengapa?

0

Oleh: Umi Diwanti*

SABTU (18/1/2020), Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalsel akhirnya berhasil meringkus SAZA alias Habibi. Seorang lulusan D3 Keperawatan pemilik gudang narkoba dengan barang bukti narkoba sebanyak 32,6 kilogram.

SEJAK 2018 hingga sekarang ia telah berhasil menjual sekitar 600 Kg narkoba di Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Diprediksi korbannya mencapai 237.119 orang. Barang haram tersebut didapatkannya dari jaringan internasional Malaysia, melalui Sumatera dan Jawa Timur via laut. (jejakrekam.com, 20/1/2010)

Penangkapan gembong narkoba sekelas Habibi tentu saja sebuah prestasi bagi aparat. Hanya saja, di sisi lain, hal ini membuktikan bahwa kasus narkoba ini bak fenomena mati satu tumbuh seribu.

Buktinya selama tahun 2019 saja BNN bersama Polri, TNI, Bea Cukai, dan Imigrasi, telah berhasil mengungkap 33.371 kasus dengan pelaku 42.649 orang. (liputan6.com, 21/12/2019) Namun belum lagi tahun 2020 genap satu purnama, sudah terungkap lagi kasus serupa.

Hal yang wajar karena jangankan setelah bebas, mereka akan bisa mengedar kembali. Bahkan saat masih di penjara pun mereka masih bisa leluasa mengelola bisnis haramnya.

Sebagaimana yang diungkap oleh Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN), Arman Depari, bahwa narapidana di 44 lembaga pemasyarakatan (lapas) bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi. (cnnindonesia.com, 12/12/2019). Itu baru yang terpantau. Yang tidak, pastinya masih banyak lagi.

Kejadian ini, secara gamblang memperlihatkan betapa tidak suksesnya sanksi yang ada hari ini dalam memberikan efek jera. Upaya keras aparat selama ini bak mengepel air dari genteng yang bocor tapi genteng bocornya tak segera dibenahi. Jika terus-terusan demikian, maka selain melelahkan juga tidak akan mampu menuntaskan.

Penyebab Kasus Narkoba Tak Kunjung Mereda

Dari kasus Habibi kali ini, setidaknya mengungkap bahwa sistem pendidikan hari ini gagal membentuk manusia yang bertaqwa. Yang menyadarkan perbuatannya berdasar ketetapan Allah SWT. Yang diharapkan semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin besar kemanfaatan yang mampu ditebarnya untuk sesama.

Sebuah konsekuensi sistem pendidikan sekuler kapitalis. Dunia pendidikan dibuat fokus mencetak generasi mandiri dalam ekonomi. Tanpa dibekali keimanan yang mampu memilah mana cara halal, mana haram dalam mencari harta.

Bahkan hari ini peserta didik cenderung dicekoki berbagai ilmu dan skill melimpah, sehingga untuk pelajaran agama banyak yang dikebiri. Itu pun hanya membahas ibadah ritual. Padahal agama (Islam) mengatur seluruh aktivitas manusia.

Di sisi lain, sulitnya menemukan lapangan kerja yang halal dan mapan guna memenuhan kebutuhan kehidupan juga berkontribusi mendorong orang  mencari jalan pintas mencari harta melimpah atau sekadar bertahan hidup.

Terlebih akhir-akhir ini, saat negara mengeluarkan kebijakan yang memudahkan masuknya TKA dan investor asing, rakyat semakin sulit mencari penghidupan yang layak di negerinya sendiri.

Solusi Akar Masalah Narkoba

Tidak ada cara lain dalam hal ini kecuali dengan mengembalikan fungsi negara sebagaimana mestinya. Pertama, sebagai pembentuk dan pemelihara ketaqwaan individu. Maka negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan dan sistem sosial berbasis Islam.

Di mana tujuan utama pendidikan adalah membekali peserta didik dengan keimanan yang kuat. Serta pemahaman terhadap seluruh syariat. Setelah itu barulah diberikan bekal skill dan pengetahuan guna mempermudah tugas-tugasnya sebagai hamba Allah. Menjadi khalifah dan penebar manfaat di seluruh penjuru dunia. Bukan untuk selainnya.

Kedua, sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan setiap warga negara. Dalam hal ini negara wajib menyediaan lapangan kerja bagi setiap laki-laki dewasa. Menciptakan lingkungan usaha yang memungkinkan setiap warga negara berkembang di dalamnya. Bantuan modal bahkan subsidi pun menjadi salah satu strategi yang harus diambil jika tanpanya rakyat mati gaya.

Adapun bagi keluarga yang penanggung jawab nafkahnya tak memiliki kemampuan baik fisik maupun psikis, maka kewajiban negara untuk memberikan santunan secara langsung dari dana kas negara (baitul maal).

Ketiga, setelah semua celah yang menjadi sebab warga negara memilih bisnis haram ini ditutup. Jika ada yang tetap melakoninya, maka wajib atas negara memberikan sanksi tegas yang menjerakan. Tak hanya bagi pengedar, tapi juga bagi semua yang terlibat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

“Khamr dilaknat pada sepuluh hal; pada zatnya, pemerasnya, orang yang memerasnya untuk diminum sendiri, penjualnya, pembelinya,  pembawanya, orang yang meminta orang lain untuk membawanya, orang yang memakan hasil penjualannya, peminumnya, dan orang yang menuangkannya.”(Muttafaq ‘alaih)

Terkait sindikat international, maka dalam hal ini negara juga harus menutup semua jalan masuk baik budaya, pemikiran, atau barang-barang dari luar negeri yang sifatnya betentangan dengan syariat Islam. Yakni dengan pengelolaan media, tansportasi, dan lain sebagainya. Hingga tak ada kesempatan pengaruh buruk luar masuk ke dalam negeri. Dalam bentuk apa pun.

Alasan apa pun, termasuk ekonomi, tak boleh menjadi pengecualian. Untuk itu wajib bagi bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi dan memiliki kekuatan militer yang disegani. Hal ini niscaya mampu dilakukan dengan menjadikan Islam sebagai pedoman.

*Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro Martapura

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.