Aroma Geopolitik China di Natuna

0

Oleh: Hasrianti

TAK ada gading yang tak retak dan tak ada pinggan yang tak pecah. Hal ini cukup menggambarkan perihal kondisi Indonesia dan China akhir-akhirini. Sebagai Negara yang memiliki beragam pulau dan lautan yang terhampar luas, tentu banyak Negara yang tertarik dengan keadaan geografis Indonesia yang sangat strategis.

INDONESIA merupakan negara yang terdiri atas gugusan pulau-pulau besar yang dilalui garis ekuator atau garis khatulistiwa. Karena memiliki tempat-tempat sangat indah serta eksotis, Indonesia digambarkan seperti batu zamrud yang berada di khatulistiwa.

Indonesia memiliki kurang lebih 17.000 pulau. Salah satu negeri yang garis pantainya terpanjang di dunia. Dengan 70% wilayah yang berupa perairan, membuat negeri ini kaya akan sumber daya lautan. Mulai dari ikan, mutiara, hingga minyak bumi dan gas alam. Negeri yang memiliki kekayaan alam luar biasa menakjubkan.

Mengurai Polemik Natuna

Baru-baru ini, keberadaan kapal China terlihat di perairan Natuna. Bahkan, China mengklaim jika lautan tersebut masuk ke wilayah teritorial mereka. Natuna masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekaligus negeri tirai bambu yang telah melanggar tentang IUU Fishing.

Secara geografis, posisi Kepulauan Natuna memang menjorok ke utara yang terletak di Laut China Selatan. Laut Natuna memiliki sumber-sumber kekayaan alam yang beragam seperti mineral dan ikan, dan menjadi lintasan laut internasional bagi kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut.

Polemik laut Natuna rasanya sudah cukup lama. Pengakuan secara sepihak yang dilakukan China terhadap Laut China Selatan inilah yang menimbulkan konflik berkepanjangan di berbagai negara khususnya di wilayah ASEAN, dan salah satunya adalah Indonesia. Setelah Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke tangan pemerintah Malaysia, akankah Natuna juga bernasib sama?

Dilansir oleh www.cnbc.indonesia.com, China mengklaim wilayah Laut China Selatan (LCS) sebagai wilayahnya. Hal ini didasarkan pada peta yang dikeluarkan oleh China tentang nine dash line (NDL) yang merupakan istilah yang dikeluarkan oleh China sendiri. Pihak China mengklaim bahwa daerah LCS adalah miliknya. Salah satu alasannya, karena nenek moyangnya sudah ratusan tahun menangkap ikan di perairan ini (3/1/2020).

Pemerintah Indonesia mengambil tindakan melalui TNI Angkatan Udara yang mengirim empat pesawat F-16 ke wilayah perairan Natuna untuk melakukan patroli (www.cnnindonesia.com 8/1/2020).

Selain China, ada beberapa negara yang berada di sekitar pulau tersebut. Diantaranya Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Kelima negara ini telah menyepakati aturan UNCLOS berupa aturan pembagian wilayah laut yang disepakati dunia internasional. Meski lagi-lagi China tampaknya bersikukuh mengklaim Natuna secara sepihak. Tak cukup hanya itu, soal klaim Natuna seolah mempertanyakan dimana letak kedaulatan  negara-negara Asia Pasifik.

Mengintip Kekayaan Natuna dan Strategi Geoplitik China

LCS merupakan daerah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Daerah LCS terdiri atas 3 zona migas.  Yaitu Zona I, berada persis di luar garis 200 mil China, zona II berada dalam wilayah 200 mil Filipina, dan zona III berada di wilayah Malaysia, termasuk daerah Natuna utara. Ketiga zona tersebut menyimpan minyak bumi dan gas alam yang melimpah. Kawasan Laut Natuna dan sekitarnya juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah.

Indonesia dan China memiliki hubungan diplomatik, hal ini juga tak lepas dari strategi politik. China berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan keuntungan besar, setidaknya gelagat China mengantarkan mereka untuk  membuat strategi jitu.  Pertama, pembuatan terusan KRA yang menembus wilayah Thailand. Sehingga dari Samudera Hindia dapat langsung ke Laut China Selatan. Hal ini untuk mengantisipasi ditutupnya Selat Malaka.

Sementara China berusaha menajamkan kekuasaanya, rupanya hal ini menarik perhatian Amerika Serikat. Tak dapat dipungkiri kecemasan AS terlihat, ketar-ketir dengan kebijakan China yang saat ini menjaga stagnasi nilai yuan agar mempermudah jalan masuk ke dalam pasar Internasional dengan tawaran harga barang relatif murah dibanding AS. Sebagaimana diketahui, AS dan China hingga kini masih terlibat persaingan dagang, apalagi jika bukan untuk  berlomba meraih predikat negara raksasa pada perekonomian dunia

Kedua adalah LCS, sebuah proyek besar berupa minyak bumi dan gas alam. Jika cadangan minyak dan gas dimaksimalkan, maka China dapat memenuhi sekitar 40% kebutuhan minyak hingga tahun 2030 nanti. Kebetulan seluruh cadangan minyak dan gas alam berada di luar ZEE China. Hal ini mendorong China mengamankan SDA dengan menggunakan NDL, dengan alasan LCS adalah wilayah menangkap ikan penduduk China.

Kedua strategi ini dinilai mampu mengantarkan posisi China sebagai tuan perekonomian dunia. Bahkan China telah menjadikan Pulau Spratly dilengkapi dengan landasan pesawat dan dipersenjatai dengan rudal JL-1 dan JL-2 yang dapat mengancam seluruh wilayah Asia Tenggara.

LCS bisa digunakan untuk pangkalan perang mengamankan kekayaan alam dan mewaspadai serangan musuh, terutama AS yang tentu saja tak akan tinggal duduk manis sebagai penonton. Jika China berusaha keras mengembangkan sektor ekonomi dan kekuatan militer, bisa dipastikan hal ini bisa menggeser posisi AS sebagai negara adidaya. Walhasil, Indonesia menjadi imbas sasaran empuk pertarungan AS dan China.

Upaya pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik Natuna sangat dibutuhkan, bukan saja mengutuk keras tetapi juga tegas dari segi hukum. Pemerintah harus menunjukan bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang gampang diganggu kedaulatannya. Meski beberapa tokoh justru menganggap perilaku China jangan dibesar-besarkan, hanya karena China sebagai negara yang mempunyai hubungan dekat layaknya sahabat dengan Indonesia. Hal ini tentu sesuatu yang sangat keliru.

Di sisi lain, pertarungan AS dan China tetap saja berbau adu kekuatan ideologi antara sosialis komunis  dan kapitalisme. Di tengah kesibukan keduanya, tidak menutup kemungkinan memberikan kesempatan pada ideologi Islam untuk bangkit membentuk kedaulatan yang lebih dahsyat.

Mengatur Pengelolaan SDA Dengan Islam

Islam hadir dengan aturan yang bersifat komperhensif. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89)”.

Islam memandang kekayaan alam masuk kategori kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh Negara, hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing. Diantara dalil dalam pengelolaan kepemilikan umum adalah merujuk pada sabda Rasulullah saw:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api (HR Ibnu Majah)”.

Selain itu, seluruh masyarakat harus taat pada syariat sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Setiap Muslim, termasuk para penguasa, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada Alquran dan as-Sunnah.

Dengan demikian, untuk mengakhiri masalah pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana yang terjadi di zaman ini, tak ada pilihan lain selain kembali pada ketentuan syariah Islam yang sempurna. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan liberalisme, dapat dipastikan tidak akan membawa pada kesejahteraan apalagi keberkahan.

Maka, seharusnya kita semua bersegera menegakkan institusi Islam untuk menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, tentu kesejahteraan hanya menjadi bayang-bayang dan sumber daya alam akan terus dikeruk oleh pihak asing. Wallahualam bishowab.

Penulis adalah aktivis mahasiswi UHO

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.