Ijtihad Politik Pemilih Pilkada Serentak 2020

0

Oleh : Kadarisman

PILKADA adalah ijmak politik. Ia dilahirkan sebagai ikhtiar demokrasi. Dengan demikian, peradaban dan tujuan berbangsa dapat diakselarasi mendahului harapan yang semestinya. Pilkada bukanlah sebuah pesta demokrasi, tetapi sebuah ijtihad dari hak politik warga negara untuk terlibat dalam keputusan memperbaiki arah pembangunan.

MEMAKNAI Pilkada sebagai pesta kerap menggiring publik terjebak ke dalam konotasi yang keliru. Distorsi kerap terjadi. Politik uang dianggap sebagai upah pengganti dari waktu yang tersita. Hal tak terhindarkan, bahwa  ajang pilkada hanya menjadi wahana menyemai dusta. Kemenangan tidak memihak pada gagasan, tetapi pada pragmatisme sempit.

Kalsel salah satu provinsi yang kebagian menjadi penyelenggara Pilkada Serentak 2020. Jadi sangat berkepentingan membangun kualitas pilkada.

Bagaimanapun, tujuh kabupaten/kota di daerah ini: Banjarmasin, Banjarbaru, Balangan, Hulu Sungai Tengah (HST), Banjar, Kotabaru, dan Tanah Bumbu, harus menjadikan momentum ini untuk memperbaiki paradigma politik dan demokrasi, bahwa pilkada bukan pesta yang kemudian membuat publik permisif atas penyimpangan dan sakralitas sebuah pemilu.

Kita harus akui, kesadaran politik warga belum mumpuni mengemban amanat politiknya untuk menentukan pilihan yang dilandaskan pada rasionalitas. Masyarakat kerap terjerat oleh diksi ‘amanah’  dalam menentukan hak pilihnya. Sebuah keadaan dimana ada  persepsi orang tertentu memilih pilihan tertentu karena sudah menerima fulus. Keadaan seperti ini kemudian dianggap sebagai ‘amanah’ yang harus dijalankan.

BACA : Pilkada Kalsel Dibiayai Rp 210 Miliar, Honor Penyelenggara Sedot Anggaran Terbesar

Konotasi pesta demokrasi tidak saja menyesatkan dan membodohi masyarakat, tetapi juga menjerumuskan bangsa ini ke dalam  permainan elit politik oportunis yang selalu haus kekuasaan untuk meraup kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Tidak heran, pilkada di Banua selama ini miskin gagasan dan minim terobosan. Tiap pimpinan daerah berganti, kita jarang melihat progresifitas pembangunan dan peningkatan kualitas berkehidupan di masyarakat. Hal yang terjadi justru sebaliknya, beban masyarakat kian tinggi dan menghimpit. Ikhtiarnya mengarungi kehidupan sebagai anak bangsa mulai kepayahan memenuhi hak-haknya. Daerah kehilangan diskresi keberpihakan kepada warganya, karena mengekor kebijakan nasional yang tak relevan untuk daerah itu sendiri.

Karena itu, Pilkada 2020, masyarakat tidak boleh kehilangan momentum. Hak-hak politiknya dalam menentukan arah pembangunan melalui keputusan di bilik suara adalah tidak ternilai. Masyarakat harus mampu meneguhkan keputusan pada pilihan yang tidak mengiming-imingi materi dan pemberian apapun. Masyarakat hendaknya mampu menjadi pemenang atas dirinya sendiri dan tidak tunduk pada rayuan kekuasaan manapun selain hati nuraninya.

Tetapi ini perkara berat. Pembodohan demi pembodohan itu laksana badai dan hembusan angin yang tak menyisakan ruang bernaung, sehingga setiap orang terpapar olehnya. Mirisnya sumber ketidakmaslahatan itu justru dari instrumen politik sendiri, seperti partai politik, politisi, dan para elit.

Partai politik yang semestinya menjadi garda terdepan dalam mengedukasi politik entitas bangsa, gagal memainkan perannya. Pasalnya, selama ini partai politik menjadi mesin produksi kebobrokan moral politik dalam negeri ini.

Jika para elit belum berniat untuk menghentikan ketidakberdayaan tersebut, satu ikhtiar yang patut dicoba adalah masyarakat dapat membangun fatsun politik secara mandiri dengan memulai dari memaknai  pilkada sebagai ruang menakar nilai dan aktualisasi, sehingga tampak kemudian antara harapan, janji, dan kenyataan. Siapapun yang pernah menyemai janji dan tak terbukti, layak untuk dieleminasi. Siapapun yang pernah diberikan kesempatan tapi tak tampak progresnya membangun tujuan, layak untuk dikesampingkan.

BACA JUGA : Pilkada Kalsel Sudah Mengarah Ke Demokrasi Pasar Gelap

Jika fatsun politik dari partai dan elit politik tidak lagi tampak ujudnya, sehingga nalar menghalalkan segala cara demi merebut kekuasaan lah yang tampak, maka  kita dapat menciptakan sendiri etika politik  pemilik hak suara dalam pemilu. Dengan demikian kita sebagai pemilik suara dapat menjaga marwah diri, prinsip, ijtihad, dan jihat, dalam menghadirkan kebaikan. Hal ini sekaligus sebagai benteng diri dari bercampurnya pengaruh buruk partai dan elit politik yang berkeliaran di tiap pemilu.

Pilkada 2020 tidak terbilang lama lagi. Pada Februari 2020, pendaftaran untuk calon perseorangan sudah mulai dibuka. Disusul kemudian oleh pasangan calon yang diusung oleh parati politik pada bulan April. Puncaknya adalah 23 September, masyarakat sebagai pemegang kekuasaan “Tuhan” menjadi penentu, siapakah kita sebenarnya.

Menjadi tidak penting paslon mana yang akan memenangi pilkada kelak. Tapi hal yang penting, sudahkah kita sebagai pemenang? Pemenang atas kesadaran dan hati nurani menentukan pilihan. Kesadaran memilih yang merdeka dari iming-iming politik uang dan politik kekuasaan.

Karena itu, pilkada harus ditatap sebagai bagian ijtihat kita menentukan kita ke depan, bukan sebagai pesta, tempat dan kesempatan menciptakan politik transaksional yang mengkhianati nilai dan nurani. Jadilah pemilih sejati yang merdeka di tengah deru amoralitas pemilu.(jejakrekam)

Penulis adalah pemerhati politik banua

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.