Pemberantasan Korupsi yang Masih Setengah Hati

0

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

SUNGGUH ironi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta anggarannya ditambah menjadi Rp 1,5 triliun pada APBN tahun anggaran 2019. Paradoknya, justru pengembalian kerugian negara yang berhasil dirampas komisi anti rasuah ini hanya Rp 300 miliar per tahun dengan asumsi fluktuatif.

KPK selama ini pun hanya mengandalkan operasi tangkap tangan (OTT), seolah-olah lembaga ini sangat hebat dengan operasi penyadapannya, tapi pada esensisnya pemberantasan korupsi masih setengah hati.

Tidak dilakukan secara fundamental, bahkan sebenarnya tidak tercapai sama sekali. Walhasil, korupsi terus berjalan dengan berbagai modus operadi untuk mengeruk anggaran alias uang rakyat.

Saat ini, sungguh sangat gampang untuk mengakali anggaran negara atau daerah agar masuk ke kantong pribadi. Makanya, saya heran ketika mantan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yunus mengajukan RUU pembatasan transaksi tunai ke DPR RI, justru hingga kini mengendap. Anehnya, KPK dan ICW terkesan tenang-tenang saja, tidak ada upaya untuk mendorong agar RUU itu gol menjadi produk hukum.

Sebenarnya, ada lima langkah yang strategis dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, jika benar-benar serius untuk diterapkan. Lima langkah itu pada poin dasarnya adalah mencakup :

  • Lahirnya UU Pembatasan Transaksi Tunai

Poinnya adalah sebuah sistem dimana uang yang dapat dibelanjakan atau membawa tunai dibatasi jumlahnya, sehingga semua menggunakan jasa transaksi bank atau travel check ini agar diketahui alur asal muasal uang tersebut dan penggunaan melebihi batas nominal adalah tindakan pidana baik yang menggunakannya ataupun yang menerimanya.

  • Pendaftaran Aset Seluruh Kepemilikan Rakyat

Pemerintah  sudah sepatutnya segera membentuk badan atau lembaga khusus untuk mencatatkan aset kepemilikan individu, sehingga setiap orang memiliki asetnya sendiri dan tidak dititipkan atas nama orang lain untuk menyembunyikan hartanya. Kehadiran lembaga ini yang terkoneksi dengan notaries untuk kepentingan-kepentingan lainnya atas perpindahan/penjualan atau penambahannya.

BACA : Bagaimana Nasib Pemberantasan Korupsi Pasca Revisi UU KPK?

Kepemilikan aset yang tercatat inilah yang dapat mendorong peningkatan pajak atau konsep zakat, karena tidak ada istilah pinjam nama orang untuk menyembunyikan harta Haram baik hasil korupsi atau hasil haram lainnya. Ini karena sanksi yang tentunya dicantumkan dalam ketentuan selanjutnya dalam peraturan perundang-undangan.

  • Pemutihan alias Tobat Nasional

Langkah ini harus dilakukan karena kita sadari bahwa banyaknya harta haram yang digondol oleh oknum baik oknum pejabat atau swasta dalam menjalankan pemerintahan atau bisnisnya, sehingga tidak mungkin kita mengejar kesalahan masa lalu dan akan lebih baik berdamai dengan masa lalu dan berbuat untuk masa yang akan datang. Sebab, para oknum tidak membawa kemana-mana pula.

BACA JUGA : Kran Sumber Pendanaan, Pengelolaan SDA Rentan Terjadi Korupsi

Karena terbukti larinya modal atau uang keluar negeri dan walaupun dipancing dengan tax amnesty ( pengampunan pajak) agar uang kembali, justru akhirnya pemerintah gagal dalam hal tersebut. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain akui keabsahan harta mereka. Dan, jika mereka tidak ikut maka harta tersebut yang tidak didaftarkan dirampas oleh negara.

  • Undang-Undang Beban Pembuktian Terbalik

Ini adalah konsep di mana poinnya setiap orang harus dapat membuktikan asal hartanya. Selama ini, jika terjadi kejahatan korupsi atau pencucian uang, justru aparat penegak hukum yang harus membuktikannya. Padahal, hal itu justru mahal bagi rakyat menanggung biaya pengusutnya. Mulai dari dari penyelidikan/penyidikan/penuntutan sampai dengan pemidanaan dan sama sekali tak sebanding dengan pengembalian harta para koruptor. Sekarang kita mengandalkan UU tentang Pencucian Uang atau Money Laundering tidak efektif karena masih negara yang harus membuktikan dan mencarinya. Karenanya, jauh lebih efektif jika pemerintah mendorong lahirnya UU Beban Pembuktian Terbalik. Hal ini bisa diperdebatkan dan tidak melanggar asas praduga tidak bersalah.

  • Penegakan Hukum yang Keras dan Berwibawa kepada Aparatur Penyelenggara Negara

Dengan konsep ini hukuman terhadap penyelenggara atau aparaturharus lebih keras dan berat hukumannya jika melakukan pelanggaran hukum karena aparatur harus memberi contoh dan pengaruh yang baik. Karenanya, jika melakukan pelanggaran hukumannya harus lebih berat dan maksimal jika dibandingkan dengan rakyat biasa. Sebab, mereka adalah penyelenggara yang mengerti dan seharusnya menegakkan hukum. Sedangkan, rakyat adalah subjek hukum tersebut.

BACA JUGA : Gaya Hidup Mewah, Wakil Rakyat di DPRD Rentan Korupsi

Inilah kerangka dasar pemikiran saya agar korupsi bisa ditekan bahkan dimininalisir ke titik nadir. Bagaimana pun sumber dari korupsi adalah longgar dan lemahnya hukum serta sanksi sehingga orang akan terus dan terus melanggarnya dengan berbagai modus. Sebab, mereka dapat membelanjakan uangnya dengan leluasa dan juga menitipkannya atau menitipkan dengan orang lain dengan leluasa.

Oleh sebab itu, jika konsep tersebut dijalankan, kita menuju kepada keadilan yang merata dari berbagai aspek kehidupan. Apalagi, sangat memilukan jika kondisi  KPK seperti ini dan mereka sekarang lebih doyan melakukan supervisi dan berinteraksi dengan orang-orang yang diawasi. Bagaimana mungkin dan tidak tertutup kemungkinan kedekatan dengan yang diawasi justru menimbulkan rasa sungkan dan pada akhirnya KPK tidak ubahnya semacam ajang kontestan kecantikan semata. (jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Anti Korupsi Kalsel

Mantan Anggota DPRD Kalsel

Anggota Badan Pengawasan Rumah Sakit (BPRS) Kalsel

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/12/11/pemberantasan-korupsi-yang-masih-setengah-hati/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.