Pasar Politik di Tengah Demokrasi yang Melelahkan

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

HIRUK-pikuk panasnya suasana politik menjelang kontestasi elektoral 2020 di Kalimantan Selatan sudah mulai terasa. Para elite politik atau orang-orang yang ingin bertarung di arena demokrasi mulai mendatangi kantor partai politik. Harapannya, bisa mendapatkan dukungan partai sebagai kendaraan politik menju arena panggung demokrasi 2020.

TIDAK hanya itu, jumlah kandidat kandidat sudah mulai membentuk posko pemenangan di daerah, juga sejumah baleho atau iklan politik mulai terlihat  para kandidat dengan latar partai yang kemungkinan menjadi kendaraan politik.

Kasak-kusuk para kandidat membangun komunikasi politik dengan sejumlah partai, juga para kandidat sudah mulai mendatangi para tokoh politik atau orang-orang yang memiliki pangaruh polik atau tokoh masyarakat yang memiliki basis massa seperti ulama atau kiai untuk menjelaskan visi dan misi.

BACA : Demokratisasi Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki Lokal

Dalam dunia politik, hal seperti ini adalah hal yang biasa untuk membangun poitical branding atau political marketing untuk mendapatkan dukungan politik dan memperkuat basis patronase dan klientelisme di era demokrasi saat ini.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membangun daerah serta memiliki harapan dan cita-cita yang sama unuk melihat perubahan daerah ini ke arah yang lebih baik dan bermartabat.

Proses demokrasi dan panas-dinginnya suasana perpolitikan lokal di Kalimantan Selatan telah melahirkan aroma demokrasi yang indah dan enak untuk dinikmati. Isu politik lokal telah menjadi trending topics yang disajikan oleh media dan narasi-narasi politik di warung-warung kopi dan tempat lainnya pun menjadi topik aktual.

Adrenalin politik publik mulai terpapar dengan tema-tema politik kekuasaan. Para mahasiswa dan kampus mulai gencar mengangkat tema-tema demokrasi yang menambah maraknya suasana perpolikan di Kalsel.

BACA JUGA : Persengkongkolan Para Aktor Berwatak Oligarki-Predator

Sungguh, susana hal seperti ini memberikan dampak positif bagi publik sebagai salah satu cara memberikan pencerdasan politik ditengah apatisme dan pragmatisme publik dalam memandang dunia demokrasi atau proses pilkada sebagai pasar gelap atau arena distribusi uang (politik uang).

Membangun demkorasi bermartabat di tengah perilaku politik yang masih masih mengandalkan kuasa uang, sungguh sangat melelahkan seperti halnya di negeri ini di tengah transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi yang masih tertatih tatih.

Di tengah konsolidasi yang masih tertatih-tatih itu, elite politik dan partai politik sejatinya menjadi garda terdepan mendorong proses demokrasi bermartabat dan substantif, justru menampilkan perilaku politik yang melanggengkan praktek oligarki dan kartel politik.

Oligarki politik justru semakin menemukan habitatnya di era demokrasi saat ini selepas berakhirnya pemerintahan otoriter Orde Baru. Pada sisi lain, partai politik sebagai institusi demokrasi yang sejatinya sebagai instrumen pencerdasan politik bagi rakyat justru berubah menjadi kartel dan dinasti.

Membaca landscape politik lokal di Kalsel menjelang Pilkada 2020 datang diharapkan menjadi arena seleksi calon pemimpin atau menjadi arena untuk menghadirkan demokrasi bermartabat. Bukan menjadi arena pelanggengan demokrasi oligarki yang hanya dikendalikan aktor politik atau aktor ekonomi untuk membabtis penguasa daerah yang lahir dari arena pesekongkolan kepentingan pragmatis.

BACA LAGI : Para Aktor di Balik Karpet Merah

Sampai saat ini,  kandidat gubernur secara terbuka menyatakan diri sebagai penantang petahana adalah Prof Denny Indrayana. “Saya akan memenangkan pertarungan kontestasi elektoral tanpa melakukan politik uang”, demikian penggalan pernyataan Prof Denny yang dilansir sejumlah media lokal.

Artinya, pernyataan seperti ini memberikan isyarat politik bahwa pesta demokrasi dalam proses meraih kekuasaan didominasi oleh intevensi kapital. Intevensi kapital inilah menjadi momok pagi orang-orang yang ingin beradu masib dalam perebutan kekuasaan menjadi tidak semangat dan masih tiarap. Demokrasi telah bergeser menjadi industri kekuasaan. Demokrasi telah menjadi oligarki dan kartel.

Di tengah wajah buram demokrasi di negeri semakin meneguhkan argumen Edward Aspinall bahwa demokrasi di Indonesia telah menjadi arena pasar yang diperjual belikan (Democracy for Sale), Mery Mc Coy menyebutnya sebagai bentuk arena mafia dalam berdemokrasi (Mafia Democracy).

BACA LAGI : Demokrasi Liberal, Ongkos Politik Mahal dan Perilaku Zombie

Sementara, Tom Pevinsky menyebutnya sebagai kemunduran demokrasi (Backsliding of Democracy). Nah, itulah pandangan para ilmuwan politik dari Australia dan Amerika itu yang telah lama melakukan penelitian mengenai demkokrasi di Indonesia saat ini.

Argumen yang dikemukakan peneliti tesebut telah memberikan gamabaran kepada kita bahwa transis demokrasi saat telah melahirkan penguatan demokrasi oligarki dan kartel. Nah, bagaimana kita memandang dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan menjelang Pilkada 2020 datang?(jejakrekam)

Penulis adalah Analis Politik dan Kebijakan Publik dan Pendiri House of Democracy and Civil Society Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.