Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860) (2)

Oleh : Vera D Damayanti

0

PELABUHAN Kesultanan Banjarmasin terlibat dalam jalur perdagangan maritim Asia Tenggara di awal abad ketujuhbelas. Masuknya pelabuhan Banjar dalam rute tersebut disebabkan kesultanan Banjar mulai dikenal sebagai produsen lada –yang ditanam di daerah hulu- oleh para pedagang asing. Rempah -rempah, terutama lada, merupakan salah satu komoditas dagang yang sangat penting kala itu (Ahyat, 2012).

KAPAL-kapal dagang yang berkunjung ke pelabuhan Banjarmasin berasal dari kota-kota di Nusantara seperti misalnya Makassar, Sumbawa, Jawa, selain dari daratan Asia dan Eropa termasuk Cina, Persia, Siam, Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, hingga Spanyol (Knapen, 2001).

  1. Transformasi Lanskap Banjarmasin

Selama lebih dari tiga abad berlangsungnya masa kesultanan (1529-1860) lanskap Banjarmasin berevolusi.  Melalui identifikasi key process, yaitu kejadian terkait dengan aspek politik-ekonomi dan sosial-budaya, tahapan perubahan tipologi lanskap berdasarkan fungsi dan tatanan fisiknya secara kronologis di antaranya :

  1. Kota Pelabuhan Pusat Politik (port-polity) (1526-1612)

Pada awal periode kesultanan, keraton Kesultanan Banjarmasin di muara Sungai Kuin memiliki pelabuhan dagang di hulu Sungai Pelambuan tak jauh dari keraton (Ras, 1968). Kala itu kota Banjarmasin  berfungsi sebagai pusat politik dan sekaligus pusat ekonomi kesultanan (port-polity). Lanskap kotanya memiliki struktur linier di sepanjang Sungai Kuin, dimana seluruh fungsi yang menunjang kebutuhan kesultanan dan rakyatnya berlangsung didalamnya, baik fungsi politik, ekonomi, sosial dan budaya.

BACA : Jadi Bandar, Umur Pasar Terapung Muara Kuin Setua Kesultanan Banjar

Kompleks keraton dengan masjid kesultanan serta pelabuhan beserta rumah cukai dan institusi syahbandar, menjadi elemen lanskap  Distrik Banjarmasih Kota kolonial Belanda Kota pelabuhan pusat politik (port-polity)  kesultanan 1526, 1612, 1663, 1860,  kota  pelabuhan sekunder kesultanan Kota pelabuhan utama kesultanan Kota kolonial Belanda.

Dalam kawasan ini para elite kerajaan yang di antaranya juga berperan sebagai elite pedagang atau orangkaya bertempat tinggal. Sementara itu penduduk lokal dan pedagang dari luar Banjar tinggal di sekitarnya.

Berdagang merupakan mata pencaharian utama kesultanan dan masyarakatnya. Kondisi ini  dipengaruhi oleh keadaan lanskap alami yang didominasi oleh rawa dan sungai. Tanah berawa-gambut menyebabkan kegiatan pertanian sulit untuk dikembangkan. Sementara itu, posisi geografis Banjarmasin di  hilir sangat sesuai sebagai pertemuan antara para pedagang dan pembeli dari hulu dan dari hilir.

Pematang sungai (river levee) merupakan area yang cenderung ekslusif dihuni oleh para elit dalam rumah-rumah panggung. Sementara itu sebagian besar masyarakat tinggal di atas sungai dalam rumah perahu atau yang dikenal sebagai rumah lanting. Sungai selain menjadi jalur transportasi utama, juga sebagai wadah bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu peran sungai terutama memfasilitasi kegiatan ekonomi.

BACA JUGA : Keraton Dibumihanguskan, Belanda Sita Regalia Kesultanan Banjar

Sungai Kuin menjadi akses utama menuju pelabuhan kesultanan, baik bagi pedagang dari kawasan hulu maupun hilir. Untuk memperlancar kegiatan perdagangan, pada bagian timur Sungai Kuin dibuat kanal –dikenal sebagai Antasan Kuin- yang menghubungkan Sungai Kuin dengan Sungai Martapura (Müller, 1857).

Namun sejauh ini, belum diketahui kapan tepatnya kanal tersebut dibuat. Masyarakat Banjar sendiri dikenal memiliki pengetahuan dan teknik tradisional menggali kanal (Subiyakto, 2004).

Sementara itu, para pedagang di pasar lokal memanfaatkan badan sungai sebagai tempat transaksi sehingga tercipta pasar apung. Pasar apung merupakan salah satu fenomena yang umum dijumpai di kota-kota pelabuhan sungai di Asia Tenggara kala itu, dimana pedagangnya biasanya didominasi oleh perempuan (Reid, 1993).

Terbentuknya pola linear kota tak lepas dari pengaruh kondisi fisik lanskap dimana pematang atau bantaran sungai terbatas lebarnya (Van Wijk, 1951).

Sementara itu, area di belakang pematang (backswamp) yang didominasi oleh rawa bukan menjadi alternatif ideal lahan permukiman karena untuk mengolah dan mendirikan struktur di atasnya dibutuhkan banyak tenaga kerja.

Dengan rendahnya jumlah populasi di Pulau Kalimantan pada umumnya, dan dalam kawasan tersebut pada khususnya, akses terhadap terhadap tenaga manusia (manpower) di masa itu tidak merata, bergantung pada kondisi sosial-ekonominya (Reid, 1980).

       2. Kota Pelabuhan Sekunder (secondary port-city) (1612-1663)

Pada tahun 1612, Keraton Banjar di muara Sungai Kuin diserang oleh armada VOC (Vereeniging Oost-Indische Compagnie atau Persekutuan Dagang Hindia Timur). Penyerangan ini sebagai aksi pembalasan VOC terhadap pembantaian misi dagang VOC di tahun 1606 oleh sultan. Keraton Banjar kala itu hancur lebur akibat lokasinya mudah untuk diserang oleh musuh. Hal ini menjadi alasan utama ibu kota kesultanan dipindahkan.

BACA JUGA : Berburu Binatang, Gaya Hidup Para Sultan Banjar

Beberapa alternatif lokasi pemindahan telah dilalui hingga pada akhirnya sultan yang berkuasa kala itu yaitu Sultan Marhum Panembahan (r. 1595-1620) memilih untuk menetap di Kayu Tangi, di pertengahan hulu-hilir Sungai Martapura. Pelabuhan dagang utama serta syahbandar dengan demikian dipindahkan ke Kayu Tangi (Van Dijk, 1862; Ras, 1968).

Kepindahan keraton dan pelabuhan dagang berdampak terhadap lanskap Banjarmasin di muara Sungai Kuin. Area tersebut dijuluki sebagai ‘Banjar Lama’ dan pelabuhan yang ada berubah menjadi pelabuhan sekunder.

Meskipun demikian, pelabuhan ini tetap berperan penting dalam perdagangan kesultanan. Perahu besar para pedagang asing yang hendak berdagang lada biasanya berlabuh disini dan kemudian para utusan dagang berlayar dengan perahu yang lebih kecil ke keraton Kayu Tangi karena kondisi  Sungai Martapura menyulitkan kapal besar berlayar ke hulu (Beckman, 1718).

Sebagai pelabuhan sekunder, perubahan lanskap yang terjadi cenderung pada elemen pengisi lanskap. Kondisi ini ditandai dengan hilangnya elemen kompleks keraton dan pelabuhan utama beserta rumah cukai dan syahbandar. Elemen yang menandai keberadaan pengaruh kesultanan yaitu kompleks makam sultan di sebelah utara bantaran Sungai Kuin yang menjadi persitirahatan tiga sultan pertama (Müller, 1857).

Sementara itu struktur kota ‘Banjar Lama’ tidak berubah, berbentuk linier di kedua sisi Sungai Kuin yang didominasi oleh fungsi pemukiman.

      3. Kota Pelabuhan Utama Kesultanan (1663-1787)

Meningkatnya volume perdagangan telah memicu terjadinya konflik internal perebutan kendali dagang dalam kesultanan yang memunculkan dualisme kekuasaan: Pangeran Ratu di keraton Kayu Tangi di daerah hulu, dan Pangeran Dipati Anom di Banjar Lama.

Posisi Banjar Lama di daerah hilir lebih strategis sebagai titik temu para pedagang dari hulu dan seberang lautan sehingga Dipati Anom memegang kendali perdagangan kesultanan. Dengan demikian, Banjar Lama kembali menjadi pelabuhan utama kesultanan sekaligus pusat pemerintahan.

BACA LAGI : Melintas Batas Benteng Tatas, Dibina Inggris hingga Bumi Hangus

Pangeran Dipati Anom (r. 1663-1679) menjalankan pemerintahannya pada sebuah ‘istana terapung’ yang serupa dengan struktur benteng dilengkapi dengan meriam (Bataviaasch Genootschap van kunsten en Wetenschappen, 1891). Struktur ini diperkirakan menjadi elemen sentral dalam lanskap Banjar  Lama yang menandakan kembalinya fungsi politik di area ini.

Setelah kekuasaan Dipati Anom berakhir diperkirakan terjadi perpindahan pemerintahan ke Martapura  sementara pelabuhan beralih dari Banjar menuju Tatas. Tatas berada di sebelah selatan Banjar Lama yang  dibatasi oleh Sungai Kuin di sebelah utara, Sungai Martapura di sebelah timur dan selatan, dan Sungai Barito di sebelah barat; sehingga Tatas menyerupai sebuah pulau dan dikenal sebagai Pulau Tatas.

Sultan memiliki kediaman di Tatas dan sesekali ia berlayar dari Keraton Martapura menuju Tatas untuk berbagai tujuan salah satunya melakukan negosiasi dagang dengan para pedagang asing (De Roy, 1706; Valentijn, 1726).

Diperkirakan kediaman sultan tak jauh dari pertemuan antara Sungai Kuin dan Martapura, dan dekat dengan pelabuhan utama kesultanan. Tak jauh dari kediaman sultan terdapat sebuah pos jaga di tepi sungai dilengkapi dengan meriam dan rantai besi sebagai pertahanan yang membentang di atas Sungai Martapura (Müller, 1857).

Kondisi lanskap ‘negeri Tatas’ dalam konteks struktur kota diperkirakan tak berbeda jauh dengan ibu  kota Kayu Tangi sebagaimana dikemukakan dalam hasil studi kesejarahan Johannes Willi Gais (1922).

BACA LAGI : Dipesan VOC Belanda, Meriam Eks Benteng Tatas Buatan Pabrik Besi Skotlandia

Daniel Beckman, seorang pedagang Inggris yang berkunjung di tahun 1714 melaporkan bahwa Kayu Tangi memiliki  struktur kota linear di sepanjang Sungai Martapura sepanjang sekitar 4 mil atau 7,41 km. Bantaran sungai kebanyakan dihuni para elite kesultanan sementara penduduk tinggal di rumah lanting (Beckman, 1718).

Kondisi ini menunjukkan pemanfaatan ruang di Tatas untuk berbagai fungsi kehidupan berlangsung di bantaran dan di atas sungai. Sebagaimana kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara pada umumnya, dari aspek sosial-budaya kota pelabuhan Banjarmasin merupakan kota kosmopolitan yang ditandai dengan penghuni kota yang majemuk, terutama dari sisi etnis (Reid, 1980). 

Keragaman ini disebabkan para pedagang intersular, regional, maupun internasional bermukim di kota ini, baik secara permanen maupun temporer. Mereka tinggal mengelompok membentuk kampung-kampung berdasarkan etnik dan asalnya, seperti misalnya kampung Jawa, Bugis, Arab,  Melayu dan Cina. Selain itu terdapat pula pos dagang Inggris dan Belanda dimana mereka menambatkan kapal dan memiliki gudang penyimpanan komoditas dagang yang biasanya berupa rumah terapung atau yang dikenal sebagai rumah lanting.

BACA LAGI : Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860) (1)

Banjarmasin di awal abad ke-18. Di masa itu, para pedagang asing dapat tinggal di kota atas seijin sultan sebagai bagian dari transaksi dagang.

Dalam berbagai sumber kesejarahan, pedagang dari Cina, Belanda dan Inggris merupakan tiga kelompok pedagang asing yang sering bersaing dalam perdagangan lada. Para pedagang Cina yang biasanya datang dengan kapal junk- menjalin hubungan dagang yang baik dengan sultan dan masyarakat dan diperbolehkan. (jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Pengajar di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Peneliti Centre for Landscape Studies, Faculty of Arts, University of Groningen, the Netherlands

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.