Menimbang Perpu KPK

Oleh : M Rezky Habibi R

0

PRO-kontra atas hasil revisi UU KPK mencapai titik klimaksnya. Deretan panjang pemberitaan unjuk rasa mahasiswa/i didepan gedung senayandan dibeberapa daerah bukan tanpa sebab.Hasil revisi UU a quo yang disinyalir sarat akan pelemahan lembaga antirasuah dan pro-koruptormerupakan sebab munculnyaprotes demonstrasi yang cukup besar.Layaknyaaksi protes demonstrasi terhadap [emerintah atas RUU ekstradisi yang hari initerjadi di Hongkong.

HADIRNYA sejumlah protes massif dari kalangan mahasiswa/i tersebut harus dimaknai bahwa alam demokrasi di Indonesia masih hidup, kendati dengan sejumlah catatan.Salah satu catatan noda hitam dalam alam demokrasi hari ini ialah tragedi meninggalnya sejumlah mahasiswa dan pelajar pada saat aksi demonstrasi beberapa hari yang lalu.

Mengungkap siapa pelaku atas meninggalnya mahasiswa dan pelajarsaat demonstrasi menjadi pekerjaan rumah penegak hukum kita.Apabila dicermati, jika dihitung dari hari ketok palu revisi UU a quo oleh DPR, maka pada prinsipnya tepat tanggal 17 Oktober lalu, hasil revisi UU a quo mulai berlaku secara hukum.

Kendati transisi dari UU lama ke UU hasil revisi bukan perkara mudah, banyak hal yang belum disiapkan.Salah satunya ialah pembentukan Dewan Pengawas yang merupakan kewenangan mutlak Presiden, sampai hari ini peraturan yang mengatur proses pengisian anggota Dewan Pengawas belum ada.Padahal UU hasil revisi sudah berlaku terhitung sejak tanggal 17 Oktober lalu.

BACA : Demi Stabilitas Nasional, Pakar Politik Uniska Sarankan Jokowi Terbitkan Perppu KPK

Kendati rentetan protes demonstrasi dengan agenda menolak hasil revisi UU a quotersebut kandas ditangan DPR dan Presiden, bukan berarti protes demonstrasi itu lantas berhenti.Belakangan aksi protes tersebut melahirkan keinginan untuk mendesak secara terbuka agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai upaya menghentikanpelemahan KPK, sebagaimana pemberitaan dimedia nasional maupun lokal hari ini.

Soal Perpu

Apabila dilakukan studi comparative approach, perpu tidak hanya ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi Perancis melalui ketentuan pasal 16, pasal 36 dan pasal 38 dalam Konstitusi kelima 1958 juga mengatur perihal perpu.

Dalam konteks ke-Indonesia-an bila ditarik kebelakang, baik dalam rapat-rapat BPUPKI maupun PPKI tidak ada pembahasan apalagi perdebatan kehadiran perpu. Sehingga muncul pandangan bahwa ketentuan perpu di Indonesia merupakan copy pasal 93 Indische Staats Regeling (IS) Belanda.

Jika merujuk pada Konstitusi, konstitusionalitas perpu diatur dalam pasal 22 ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yangmemaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Diaturnya perpu dalam Konstitusi sejatinya dalam rangka memperoleh legalitas dan legitimasi konstitusional. Adanya frase berhak, menjadikan perpumerupakan hakmutlakPresiden berdasarkan penilaian subjektif yang dikategorikan sebagai extraordinary power Presiden.

Kendati merupakan hak yang bersifat subjektif, Konstitusi sendiri pada prinsipnya tidak memberikan batasan yang jelas dan indikator sampai dimana batasan yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa? Padahal itu berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, disebabkan diatur secara fleksibel dengan memberikan diskresi luas kepada Presiden.

BACA JUGA : KPK : Pengelolaan SDA Kalsel Salah Satu yang Terburuk

Ihwal itulah yang dijawab Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dengan memberikan 3 batasan sebagai syarat keterpenuhan kegentingan yang memaksa.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalahhukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadikekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jika tiga syarat diatas direfleksikan pada situasi hari ini dan ditafsirkan berdasarkan pendekatan sosiologis dan teleologi,secara hukum menerbitkan perpu KPK mempunyai keterpenuhan syarat. Walaupun penulis sendiri meragukan batasan yang diberikan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan frase “mendesak” dan “secara cepat”. Apakah lantas setelah lewat 30 hari paska ketok palu revisi UU a quo masih mempunyai relevansi dengan syarat mendesak dan secara cepat?

Menimbang Perpu

Dalam teori perundangan-undangan, ketentuan dalam suatu pasal tentu harus dibaca satu kesatuan dengan ketentuan lainnya apabila pasal tersebut tidak berdiri sendiri.

Dengan kata lain ketentuan pasal 22 ayat (1) harus dibaca secara bersamaan dengan ketentuan ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

BACA LAGI : LSM KAKI Diminta KPK Laporkan Jika Ada Dugaan Korupsi di Banua

Diaturnya ketentuan ayat (2) dan ayat (3) tersebut pada dasarnya untuk melahirkan checks and balances atas kewenangan subjektif Presiden untuk menerbitkan perpu. Lebih dari itu, perlunya persetujuan DPR pada sidang berikutnya merupakan bentuk persetujuan rakyat yang dijelma melalui DPR.

Jika dalam perspektif hukum tata negara Presiden mendapatkan justifikasi untuk menerbitkan perpu KPK, maka lain hanya bila dicermati dengan perspektif politik.

Adanya ketentuan ayat (2) dan ayat (3) menurut hemat penulis menjadi dasar tak kunjung terbitnya perpu KPK sampai hari ini, semenjak Presidenmenyampaikanbahwa akan mempertimbangkan penerbitan perpu KPK.

Pertimbangan tersebut tentu saja tidak mudah bila dilihat dari konstelasi koalisi partai politikpendukung Presiden, dimana hampir seluruh Fraksi-fraksi di DPR mendukung revisi UU a quo tanpa kecuali.

Argumentasi tak kunjung terbitnya perpu KPK secara substantif tidak terutama ditentukan oleh keadaan dan legal circumstances, melainkan oleh keadaan dan political circumstances. Terkait keadaan dan political circumstances menjadi pertimbangan tak kunjung terbitnya perpu KPK, kendati merupakan hak subjektif Presiden.

Jikapun Presiden memaksakan untuk menerbitkan perpu, maka dengan melihat konstelasi partai politik di DPR yang hari ini mendukung hasil revisi UU a quo secara logislebih besar kemungkinan DPR sebagai forum politik melalui kewenanganlegislative review menolak perpu tersebutuntuk menjadi UU dari pada menyetujui mengubah baju perpu menjadi UU dalam sidang berikutnya.

Singkatnya, jika pun Perpu Presiden menyelamatkan KPK, maka hal itu hanya bersifat sementara dan berakhir di sidang DPR berikutnya. Padahal yang kita inginkan penyelamatan KPK tidak bersifat sementara. Oleh karena itu,judicial review  di tangan 9 Hakim Konstitusi dengan predikat sebagai negarawan menjadi pertimbangan terakhir mengembalikan penguatan KPK.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat

Email : [email protected]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.