Prahara KPK (2-Habis)

Oleh : M. Rezky Habibi R

0

SELAMA tidak ada keterbukaan maka tidak akan ada keadilan. Pada prinsipnya keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran.

OLEH karena itu, suatu hal yang wajar apabila timbul anggapan negatif bahwa revisi UU a quo merupakan operasi senyap dalam rangka melemahkan KPK secara perlahan dan sistematis atau setidak-tidaknya diciptakan KPK dengan segala keterbatasan ruang gerak melalui peruntuhan independensi KPK.

Dari sejumlah poin dalam revisi UU a quo, hemat penulis terdapat empat) poin utama yang menarik, pada dasarnya empat poin ini merupakan pintu masuk dalam pelemahan KPK. Mulai dari KPK berada dibawah kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, sistem kepegawaian di KPK menjadi ASN dan kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan.

BACA : Prahara KPK (1)

Pertama, soal KPK dibawah kekuasaan eksekutif. Perkembangan munculnya lembaga negara independen atau auxiliary organ, auxiliary boddies suppurting organ, auxiliary state organs, auxiliary agencies dan yang di Amerika lebih populis dengan sebutan administrative agencies tidak terlepas dari semakin kompleksnya persoalaan ketetatanegaraan modern sehingga tidak dapat lagi hanya mengandalkan pada konsep trias politica klasik dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudisial. (bruce ackerman, The New Separation of Powers, 2003)

Dalam konteks keIndonesian, lahirnya lembaga negara independen diawali dari suksesnya gerakan reformasi 1998 yang ditindaklanjuti melalui amandemen UUD NRI 1945 dengan mengadupsi sejumlah lembaga negara independen sebagai bentuk upaya untuk menyelesaikan akutnya permasalah korupsi yang merambah pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudisial. Hanya saja amandemen UUD NRI 1945 tidak konsisten dalam penggunaan nomenklatur, ada yang menggunakan Komisi, Lembaga atau Badan. Kendati demikian pada hakikatnya merupakan lembaga independen.

Dijadikannya KPK sebagai bagian dari eksekutif merupakan tindaklanjut putusan MK 36/PUU-XV/2017 dan perintah dari Pasal 10 ayat (1) huruf d UU P3 yang mengatur tindaklanjut putusan MK. Akan tetapi perlu dipahami bahwa putusan a quo hanya mengatakan KPK secara kelembagaan dibawah eksekutif sedangkan dalam menjalankan tugas dan wewenang KPK tetap independen dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun. Hal ini diperkuat dengan putusan MK 012-016-019/PUU-IV/2006.

BACA : Tolak KPK Dilemahkan, Ini Tujuh Tuntutan Aliansi BEM se-Kalsel

Secara praktik sebagai produk hukum, putusan a quo dengan sifat final dan mengingat haruslah dijalankan dan dihormati, terlepas dari diskursus pro dan kontra. Walaupun secara teoritis dan akademis putusan a quo masih dapat diperdebatkan. Agar paska revisi UU KPK yang meletakkan kelembagaan KPK dibawah eksekutif dalam praktiknya tidak masuk pada wilayah tugas dan wewenang KPK, maka perlu adanya pengawasan ketat dari masyarakat supaya tidak ada intervensi Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, soal Dewan Pengawas. Diadopsinya Dewan Pengawas dengan kewenangan strategis mulai dari memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggelegahan dan penyitaan suatu hal yang sulit untuk dinalar secara logika. Dewan Pengawas yang masuk pada area pelaksaan tugas KPK dalam pemberantasan korupsi sebenarnya secara tidak langsung telah mengalihkan fungsi pimpinan KPK kepada dewan pengawas. Idealnya Dewan Pengawas cukup hanya sebagai pengatur dan menegakan kode etik dari pimpinan dan pegawai KPK, tidak masuk pada ranah penegakan hukum yang justru menjadikan proses birokrasi semakin panjang.

Belum lagi soal keanggotaan Dewan Pengawas yang menjadi kewenangan penuh Presiden, bukan tidak mungkin melahirkan intervensi Presiden mengingat ketiadaan checks and balance dari lembaga negara lain.

BACA JUGA : Koalisi Masyarakat Sipil Harus Bergerak, KPK Sudah di Ujung Tanduk

Ketiga, soal pegawai KPK menjadi ASN. Selama dibentuknya KPK tidak jarang yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi adalah jajaran eksekutif mulai dari Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota hingga pegawai ASN. Dijadikannya pegawai KPK sebagai ASN secara otomatis meletakan pegawai KPK dibawah Kementerian PANRB, hal tersebut secara tidak langsung akan menimbulkan dilema bagi pegawai KPK dalam menjalankan tugas bilamana dugaan korupsi tersebut dilakukan oleh jajaran eksekutif layaknya jeruk makan jeruk, yang dikhawatirkan adalah bilamana timbulnya semangat korps sebagai ASN dikemudian hari.

Apabila dilakukan studi perbandingan hukum dengan Independent Commision Against Corruption (ICAC) di Hongkong yang dianggap berhasil dalam pemberantasan korupsi salah satunya adalah independensi pegawai yang tidak berada dibawah Pemerintah. Melainkan diberikannya kewenangan langsung Independent Commision Against Corruption (ICAC) untuk dapat mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri. Suatu ketidaklazim dengan status pegawai KPK di Indonesia.

BACA LAGI : Akademisi, Mahasiswa dan Jurnalis di Banjarmasin Tolak Revisi UU KPK

Keempat, soal penghentian penyidikan dan penuntutan. Jika landasan argumentasi yang dibangun akan perlunya penghentian penyidikan dan penuntutan dengan dibatasi durasi paling lama 2 (dua) tahun untuk memberikan kepastian hukum dan tidak melanggar HAM. Padahal logisnya perbuatan korupsi jauh lebih melanggar HAM dibandingkan dengan ketiadaan kewenangan untuk penghentian penyidikan dan penuntutan. Serta jauh lebih tidak memberikan kepastian hukum jika kasus besar seperti BLBI, e-KTP dan Century harus terhenti mengingat adanya batasan waktu penyidikan dan penuntutan.

Apabila ditarik ke belakang, ratio legis dari tidak diaturnya penghentian penyidikan dan penuntutan agar dalam proses penanganan pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa dilakukan secara hati-hati dan keterpenuhan alat bukti serta penangannya dilakukan pula secara luar biasa. Mengingat semakin canggihnya modus operandi dalam kasus tindak pidana korupsi itu sendiri.

Sehingga dengan diaturnya kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan dalam revisi UU KPK yang telah disahkan dapat menimbulkan kesan hilangnya predikat tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang termasuk dalam kategori tindak pidana khusus. Dimana karakteristik kekhususan tersebut terletak pada tidak adanya kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan serta pengingkaran akan amanat reformasi yang mendengungkan pemberantasan korupsi.

Pintu Terakhir

Bak nasi sudah jadi bubur, RUU KPK dengan segala kesenyapan dan problematik formil dan materiil telah disahkan menjadi UU, walaupun kencangnya angin protes yang muncul dari segala penjuru. Satu-satunya harapan terakhir untuk mengembalikan semangat pemberantasan korupsi dan mengembalikan semangat reformasi tersebut yaitu melalui pintu judicial review di MK.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Hukum Tata Negara, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat.

Email : [email protected]

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.