Belajar dari Banten, Pemindahan Ibukota Baru Picu Pemekaran Wilayah

0

PEMINDAHAN ibukota baru dari Jakarta ke lokasi yang masuk wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur, terus menjadi bahan diskusi menarik di kalangan intelektual kampus.

RENCANA Presiden Joko Widodo itu pun dikupas dalam dikusi helatan Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan bertajuk Pemindahan Ibukota Negara dan Dampaknya bagi Kalimantan Selatan di Aula FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Sabtu (21/9/2019).

Dosen FISIP ULM Fathurrahman Kurnain menilai keputusan Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan ibukota negara, mau tidak mau harus diterima dan direproduksi oleh warga Kalimantan Selatan sebagai provinsi yang berbatasan langsung Provinsi Kaltim.

“Wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara yang akan dimekarkan menjadi jantung baru Indonesia. Apakah Kalsel juga akan menerima trickle down effect-nya berupa penambahan atau pemekaran daerah baru seperti kabupaten/kota yang baru serta desa-desa baru?” beber Fathurrahman.

BACA : Kalimantan Jadi Ibukota Negara, Telkom Hubungkan Fiber Optik

Menurut dosen muda ini, pemekaran kabupaten dan desa-desa yang baru akan membawa peningkatan alokasi transfer dana pusat ke wilayah Kalsel. Fathurrahman berpendapat dana transfer ke daerah berperan penting dalam menunjang kemajuan suatu daerah. “Sebab, dari sanalah pembangunan dan pelayan publik disandarkan,” ucapnya.

Bagi Direktur Eksekutif Global & Local Democracy Insitute, walau pun Kalsel berbatasan langsung dengan lokasi ibukota baru tidak serta merta dapat mengakselerasikan pembangunan.

Fathurrahman berkaca pada daerah Banten, walaupun menjadi daerah penyangga Jakarta, justru pembangunannya tidak lebih baik ketimbang daerah lain.

“Provinsi Banten masih memiliki permasalahan serius di bidang infrastruktur, kemiskinan atau kesejahteraan, pendidikan hingga kesehatan. Sebagai contoh, berdasarkan data yang dirilis Unites States Agency for International Development (USAID), di provinsi ini setiap minggunya rata-rata terdapat lima orang ibu dan 27 bayi baru lahir yang meninggal dunia,” papar Fathurrahman.

BACA JUGA : Berbiaya Rp 446 Triliun, Gubernur Sahbirin Optimistis Kalsel Jadi Ibukota Negara

Dia menebut lambannya pembangunan di Provinsi Banten, salah satunya disebabkan karena korupnya elite politik di provinsi paling barat Jawa ini. Sebab, papar dia, pemindahan ibukota negara sarat akan risiko yang bakal ditanggung masyarakat. Salah satunya adalah dampak perubahan lingkungan dan kesenjangan sosial di lokasi ibukota baru.

Sedangkan, akademisi FISIP Uniska MAB Muhammad Uhaib As’ad menilai keputusan mengumumkan pemindahan ibukota baru oleh Presiden Jokowi sarat dengan deal-delan politik pasca Pilpres 2019.

Uhaib khawatir pemindahan ibukota malah yang jadi korban masyarakat pribumi di sana. Sebab, beber dia, sumber ekonomi, sosial dan politik akan dikuasai elite-elite yang berkuasa.

“Pemindahan ib kota itu sudah lama digagas sejak era Presiden Soekarno. Namun ketika kondisi kita masih belum stabil dari segi ekonomi dan politik, kok malah tiba-tiba diumumkan ibukota baru,” kata doktor jebolan Universitas Brawijaya Malang ini.

BACA LAGI : Jadi Ibukota Negara, Kalsel Dinilai Jauh Tertinggal Dibanding Kaltim

Mantan aktivis era Orde Baru ini menganggap sah-sah saja memindahkan ibukota negara seperti yang pernah dilakukan negara lain. Hanya saja, menurut Uhaib, dengan kondisi kekinian, pemindahan ibukota justru malah bisa saja menjadi blunder karena menimbulkan masalah baru.

“Barangkali memang perlu dicari timing yang tepat karena situasi ekonomi kita yang masih lesu. Apalagi dengan biaya jumbo yang diperlukan untuk memuluskan pemindahan ibukota baru ke Kaltim,” tandas Uhaib.(jejakrekam)

Pencarian populer:akankah kalsel dimekarkan
Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.