Prahara KPK (1)

Oleh : M. Rezky Habibi R

0

KETUKAN palu dalam gelaran rapat paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019) menjadi pertanda RUU revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR sah menjadi UU, tinggal menunggu diundangkannya dalam Staatblad (Lembaran Negara) agar berimplikasi hukum berlaku dan semua orang dianggap tahu akan UU a quo sebagaimana dimaksud dalam asas Presumption iures de iure.

SUATU catatan sejarah bagi anggota DPR periodesasi 2014-2019 d iujung masa baktinya, dengan waktu yang begitu singkat,  tiada angin tiada hujan RUU revisi UU a quo yang bukan termasuk dalam 55 RUU prolegnas prioritas 2019 disahkan menjadi UU, kendati termasuk dalam RUU prolegnas 2015-2019.

Jika pun dipaksakan argumentasi oleh Supratman Andi Agtas selaku Ketua Baleg DPR dalam acara televisi swasta pada (18/9/2019) yang mengatakan “boleh saja RUU di luar prolegnas prioritas,” perlu diingat dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan b UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selanjutnya disingkat UU P3 yang mengatur keadaan tertentu mensyaratkan;

BACA : Tolak KPK Dilemahkan, Ini Tujuh Tuntutan Aliansi BEM se-Kalsel

“Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui Bersama oleh DPR dan Pemerintah,” maka revisi UU a quo tidak satupun memenuhi syarat Pasal 23 ayat (2) huruf a dan b.

Padahal apabila logika sistemasis yang digunakan, maka idealnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disingkat UU PTPK sebagai hukum materiil yang termasuk dalam agenda RUU prolegnas 2015-2019 yang berasal dari inisiatif bersama antara DPR dan Pemerintah semestinya didahulukan untuk direvisi baru kemudian disusul dengan revisi UU KPK sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum materiil tersebut jika niatnya adalah penguatan KPK.

Argumentasi itu dapat dibangun dari telah diratifikasinya konvensi PBB tentang United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui instrument hukum UU 7 Tahun 2006 yang banyak sekali perkembangan substansi kejahatan korupsi dalam Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) yang belum diadopsi dalam UU PTPK, seperti active-passive bribery foreign publik official, tranding in influence dan korupsi di sektor privat. Sehingga apabila dicermati dengan jernih maka revisi UU PTPK jauh lebih memiliki urgensinya dari pada revisi UU KPK.

BACA JUGA : Koalisi Masyarakat Sipil Harus Bergerak, KPK Sudah di Ujung Tanduk

Prahara revisi UU a quo menjadi isu liar ditengah keras dan lantangnya suara masyarakat sipil, aktivis antikorupsi dan akademisi bahkan oleh jajaran KPK itu sendiri untuk menolak revisi UU a quo yang politik hukumnya lebih mengarah pada pelemahan institusional KPK, juga bersamaan dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK Periode 2019-2023 yang berasal dari kepolisian. Mendesak Firli Bahuri untuk mundur dari kepolisian adalah hal wajib agar dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai pimpinan KPK tidak menimbulkan conflict of interest.

Suatu anomali sebagai negara yang mendaku diri negara demokrasi, tetapi tidak melibatkan KPK itu sendiri yang akan melaksanakan UU a quo.Dalam kebiasaan ketatanegaraan setiap kali pembahasan RUU di DPR selalu melibatkan stakeholder baik dari lembaga atau institusi yang akan melaksanakan RUU tersebut maupun akademisi dan masyarakat sipil.

Bahkan UU P3 yang merupakan acuan induk dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia mensyaratkan setiap RUU yang sedang diguduk harus memenuhi azas keterbukaan dalam Pasal 5 huruf g. Keterbukaan mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan yang bersifat transparan dan terbuka yang dijelma dalam Pasal 96 ayat (2) melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya dan diskusi.

BACA LAGI : Akademisi, Mahasiswa dan Jurnalis di Banjarmasin Tolak Revisi UU KPK

Ibarat jauh panggang dari api, proses pembahasan RUU a quo yang telah disahkan menjadi UU tidak sama sekali mencerminkan azas keterbukaan dalam Pasal 5 huruf g dan pelaksaan Pasal 96 ayat (2), dimana proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan ketiadaan akses bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana bentuk RUU a quo yang telah disahkan.

Ini belum ditambah daftar inventaris masalah (DIM) dari Presiden yang tidak dibuka kepada publik menjadikan UU a quo syarat akan pelemahan KPK yang berbanding terbalik dengan janji dalam nawacita kampanye Jokowi.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Pegiat Hukum Tata Negara, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat.

Email : [email protected]

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.