Tokoh Dayak Protes Peladang Tradisional Jadi Kambing Hitam Karhutla

0

KABUT asap tak urung enyah di sebagian wilayah Kalimantan. Padahal, kabut asap sangat rentan terhadap kesehatan masyarakat, belum lagi dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Di tengah bencana kabut asap, sasaran tembak penyebab terjadi kebakaran lahan dan hutan selalu mengarah ke peladang.

TOKOH Dayak Kalimantan, Dehen M Hedek pun mengecam pernyataan elite yang menuduh masyarakat peladang khususnya warga Dayak sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berujung menyebarnya kabut asap.

“Mereka tidak mengerti, hanya berbicara di atas meja, hutan dan lahan yang terbakar itu harus jelas penyebabnya. Ini hanya kambing hitam yang menutupi dosa negara,” kata Dehen saat berbincang dengan jejakrekam.com di Banjarmasin, Kamis (19/9/2019).

BACA : Eks Bupati Batola : Kabut Asap Bukan Hanya Dipicu Pembukaan Kebun Sawit

Dehen menganggap penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi belakangan waktu ini patut disangkakan kepada korporasi yang bergerak di bidang perkebunan skala besar. Dia menyebut masyarakat peladang sudah lama bertani dengan membakar lahan, akan tetapi masyarakat dapat mengendalikan kebakaran lahan agar tidak meluas.

“Nenek moyang kita, tidak ada kebakaran lahan secara masif seperti sekarang. Leluhur kita dulu beladang membakar lahan tapi memelihara hutan,” ucap pentolan Aliansi Dayak Kalimantan Bersatu (ADKB) ini.

Bagi Dehen, masyarakat peladang memang harus membakar lahan untuk pertanian. Hanya saja, lahan yang dibakar merupakan milik sendiri yang telah dipeliharanya. Dia menilai kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini eks lahan tidur milik perusahaan HPH atau perusahaan perkebunan sawit.

BACA JUGA : Industri Sawit Kalsel Fokus pada Peningkatan Produktivitas

Sementara itu, antropologi Universitas Lambung Mangkurat Nasrullah berpendapat dalam menyikapi kabut asap selama ini harus menggunakan kearifan lokal, terutama dalam mengendalikan api di musim kemarau panjang selama ini.

“Perlu ada pendekatan keilmuan yang memahami pengetahuan dan kebiasaan masyarakat tentang lahan dan hutan,” urai Inas sapaan akrabnya.

Dosen prodi pendidikan sosiologi FKIP ULM ini menduga pemerintah selama ini tidak memahami kearifan lokal masyarakat peladang dalam menyikapi maraknya kabut asap, akibat kebakaran hutan dan lahan.

“Masyarakat punya banyak istilah tentang lahan, misalnya istilah lahan yang lazim digunakan masyarakat Ngaju pesisir Sungai Barito seperti tayap, pematang, padang, seha, sumur dan istilah lokal lainnya,” terang antropolog jebolan UGM Yogyakarta ini.

Menurut Inas, istilah dan pengetahuan kearifan lokal masyarakat bisa menjadi kunci dalam menanggulangi kabut asap. “Persoalannya apakah pemerintah mau mengkaji dan mendalami kearifan lokal masyarakat dan kemudian mendapatkan cara untuk mengatisipasi kebakaran hutan dan lahan?,” cecar Inas.

BACA JUGA  : Kepala BNPB Sebut Lahan Terbakar 80 Persen Berubah Jadi Kebun

Dirinya menebak kebijakan pemerintah pasca reformsi yang membuka seluas-luasnya perkebunan sawit, merupakan penyebab kebakaran hutan dan lahan selama ini. Belum lagi, eks lahan sejuta hektare era Orde Baru di Kalimantan Tengah yangmasih  menyisakan masalah hingga sekarang.

“Perkebunan sawit dicurigai membakar lahan, tapi menurut saya mereka bukan membakar lahan akan tetapi perusahaan sawit membuat kanal besar sehingga lahan mengering yang sangat mudah terbakar di musim kemarau,” kata tokoh masyarakat Bakumpai Batola ini.

Nasrullah menyarankan pemerintah daerah menutupi kanal-kanal milik perkebunan sawit menjelang memasuki musim kemarau, sehingga ada cadangan air untuk mengantisipasi kebakaran lahan.

BACA LAGI : Kemarau Panjang Salah Satu Pemicu Karhutla

Dia juga menganjurkan pemerintah daerah menggandeng pemerintah desa untuk berpartisipasi cepat tanggap dalam mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan.

“Salah satu membuat armada pemadam kebakaran, kalau daerah terjangkau jalan darat, mobil pemadam kebakaran disiagakan. Nah, kalau daerah berair bisa menggunakan perahu untuk menjangkau titik kebakaran, anggarannya bisa diambil melalui dana desa,” pungkas Nasrullah.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.