JATAM Kaltim: Lubang Tambang di Lokasi Ibukota Baru, Kembali Makan Korban

0

DI TENGAH perdebatannya menjadi ibukota negara, lubang tambang batubara di Kalimantan Timur kembali mencabut nyawa warganya. Pada Kamis (22/8/2019), Hendrik Kristiawan (25 tahun), warga Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, tenggelam di lubang tambang PT Singlurus Pratama, yang lokasi tidak jauh dari pemukiman warga.

DARI hasil pemantauan dan analisa lapangan oleh tim JATAM Kaltim, ditemukan beberapa fakta berikut : Pertama, Hendrik Kristiawan pemuda korban ke-36, berdasarkan keterangan warga tewas setelah sebelumnya tenggelam sekitar pukul 19.00 Wita dan baru ditemukan sekitar pukul 22.00 Wita. Malam itu juga warga mengevakuasi dan membawanya ke RSUD Abadi, Samboja.

Kedua, lokasi tempat ditemukannya Hendrik Kristiawan adalah sebuah lembah bukit yang berubah menjadi telaga yang terbentuk akibat sisi luar lembah ditutupi ribuan metrik ton overburden (lapisan tanah pucuk). Berdasarkan titik koordinat ( S 00° 57’04.8″ , E 117° 05’01.6″ ), lokasi masuk dalam konsesi PT Singlurus Pratama. Berdasarkan penelusuran dokumen lerizinan, Konsesi PT Singlurus Pratama mendapatkan konsesi seluas 24.760 hektare dari Kementrian ESDM.

Ketiga, jarak antara rumah terdekat dengan telaga ini berjarak 770 meter. Keduanya berada dalam konsesi pertambangan PT Singlurus Pratama. Keempat, dilokasi tak ditemukan papan peringatan, pagar lembatas serta pos dan petugas pengamanan guna mencegah akses warga ke telaga tersebut tersebut.

Hal ini diduga menyalahi Keputusan Menteri ESDM nomor 55/k/26/mpe/1995, yang berbunyi tidak memasang plang atau peringatan dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke kawasan tambang.

BACA : Pemindahan Ibukota ke Kukar-PPU Jangan Sampai Rusak Hutan Kalimantan

Berdasarkan temuan tersebut, maka JATAM Kaltim menilai perusahaan tambang batubara PT Singlurus Pratama, Bertanggung Jawab secara hukum atas kematian Hendrik Kristiawan (25 Tahun) karena kelalaian pihak perusahaan dalam melakukan lengawasan dalam kegiatannya sesuai lasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbuatan melawan hukum oleh penanggungjawab usaha dan juga pejabat pemerintah karena telah lalai yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan kematian dapat dikenakan pidana.

JATAM Kaltim juga berpendapat Kementerian ESDM dan Dinas ESDM Kaltim dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH, sebab unsur “barang siapa”, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang”, “tidak melakukan pengawasan”, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan”, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “ mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.

JATAM Kaltim menyesalkan Gubernur Kaltim yang tak pernah belajar dari kesalahan dan pura-pura tutup mata atas terus terjadinya kejahatan tambang di Kaltim. Bukannya berbenah dan segera melakukan pencegahan serta menghukum para pelaku kejahatan, justru sebaliknya bertambahnya jumlah korban adalah karena sikap masa bodohnya Gubernur Kaltim.

BACA JUGA : Jadi Ibukota: Kalimantan Harus Siapkan SDM Berkualitas

Tidak hanya Isran Noor, pembiaran ini juga di lakukan oleh gubernur di periode sebelumnya, yaitu Awang Faroek Ishak serta tiga bupati (Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, dan Kutai Barat) serta Walikota Samarinda.

Berbahayanya lokasi ini tampak jelas disikapi oleh orang tua almarhum. “Kami berharap lubang tambang itu ditutup, jangan lagi ada warga lain yang jadi korban,” ungkap Suhendar.

Selain ayahnya, Hendrik selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Tak jarang juga diwaktu senggangnya jika tidak sedang masuk kerja, ia membantu menyelesaikan doran dan kasut bikinan ayahnya. Kini adiknya yang kedua harus menggantikan peran Hendrik membantu Suhendar dan Triseni juga kedua adiknya.

Tingginya tingkat kemiskinan warga serta menurunnya layanan fungsi alam hingga kini belum mampu diatasi oleh pemerintah. 73 persen luas daratan Kaltim telah habis di kapling menjadi konsesi ekstraktif (tambang minerba, sawit, HPH, HTI dan migas), 5,2 juta hektare (43 persen) diantaranya adalah konsesi tambang batubara. Seharusnya agenda mendesak yang diusung oleh pemerintahan Jokowi pasca-kebijakan obral izin SDA, yakni Kaltim harus lepas dari jeratan kebijakan ekstraksi sumber daya alam.(jejakrekam)

Penulis Rilis
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.