Bukan Hanya Fisik, Pemindahan Ibukota Harus Perhatikan Faktor Non-fisik

0

PEMERINTAH pusat telah memilih Paser Utara dan Kutai Katanegara di Kaltim sebagai ibukota Indonesia, menggantikan Jakarta. Dana yang dianggarkan untuk ibukota baru mencapai Rp 466 triliun dengan lahan seluas 180.000 hektare.

ANTROPOLOG asal Universitas Lambung Mangkurat Setia Budhi meminta pemerintah pusat tidak hanya memikirkan aspek fisik, tapi juga non-fisik. “Perlu juga diperhatikan sistem budaya masyarakat serta adat istiadat masyarakat yang ada,” kata Setia Budhi.

Kepala Prodi Ilmu Sosiologi FISIP ULM ini menilai, persiapan dalam konteks antropologis dan sosiologis masyarakat terutama kehidupan asli masyarakat lokal dalam menyambut pembangunan masif ibukota negara yang baru.

BACA : Kaltim Jadi Ibukota, Paman Birin: Rakyat Kalsel Bersyukur

“Misalnya aspek sosiologis. Bagaimana nantinya interaksi antara masyarakat lokal dengan pendatang dalam jumlah besar di lokasi ibukota negara,” kata alumni doktor Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.

Ia khawatir jika pemerintah tidak mempersiapkan secara matang maka akan terjadi konflik antar masyarakat lokal dan pendatang. Dimana, yang rentan adalah konflik agraria dan tata ruang.

“Potensi konflik lainnya adalah sumber daya alam. Sebab, lokasi ibukota negara yang baru membutuhkan 180 ribu hektare lahan. Bjsa saja diantara ratusan ribu hektare itu adalah milik masyarakat adat,” kata Setia Budhi.

Ia menyebut secara kultural masyarakat di Kutai Kartanegara dan Paser sangat terbuka dan menerima dengan pendatang. “Masalahnya, mereka datang karena pemerintah memindah ibukota, jadi agak berbeda penerimaan masyarakat setempat yang menerima migrasi masyarakat secara alami dari berbagai daerah,” katanya.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.