Moratorium Sawit, 12 Protokol Masyarakat Adat Dayak Perlu Diperjuangkan

0

NAPAS tilas peristiwa bersejarah yang mempertemukan semua elemen masyarakat Dayak di Pulau Borneo di Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Rabu (24/7/2019), menghasilkan 12 protokol disampaikan Sekjen Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Yokubus Kumis.

DARI 12 protokol itu menyepakati penyebutan Pulau Kalimantan/Borneo dengan sebutan Pulau Dayak serta menetapkan 24 Juli sebagai Hari Persatuan Dayak dan 24 Juli dijadikan agenda tahunan serta menerbitkan kalender Dayak Internasional mulai tahun 2020.

Menuntut penetapan khusus hutan dan lahan seluas 10 ribu hektare Hutan Adat Damang Batu di Desa Tumbang Anoi kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk pelestarian kawasan cagar budaya Rumah Betang Damang Batu, sebagai pusat kebudayaan masyarakat adat suku Dayak sedunia. Termasuk, meminta pemerintah provinsi/kabupaten mengalokasikan anggaran dalam APBN dan APBD.

Poin ketiga, menuntut pemerintah untuk memoratorium pemberian izin perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan/Borneo. Berlanjut di poin keempat, menuntut pemerintah Indonesia agar perubahan status kawasan hutan (hutan lindung, taman nasional dan hutan produksi) harus mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).

BACA : Dari Tumbang Anoi, Selamatkan Meratus Ruh Perjuangan Masyarakat Dayak

Masyarakat Dayak juga menuntut menuntut pemerintah Republik Indonesia (Presiden Joko Widodo) mengakomodir putra/putri terbaik suku Dayak untuk duduk di jajaran Kabinet Kerja jilid II dan beberapa staf kepresidenan serta memprioritaskan dari sisi pendidikan kedinasan baik pemerintah pusat maupun daerah.

Berikutnya, membentuk organisasi Dayak dan membentuk tim negosiator dalam organisasi Dayak Dunia terkait dengan upaya untuk memperjuangkan hak Dayak di masing-masing negara menyangkut sosial, ekonomi, politik dan spiritual Dayak.

Dalam protokol itu disepakati menyusun panduan pengesahan perkawinan campur di kalangan suku Dayak dengan etnis lain yang menikah dengan masyarakat adat suku Dayak melalui sistem religi masyarakat adat Suku Dayak, maka secara otomatis menjadi masyarakat adat suku Dayak.

BACA JUGA : Negara Sahabat Terpukau, Teras : Jangan Pandang Sebelah Mata Masyarakat Dayak

Masyarakat adat Dayak menuntut pemerintah untuk membina dan mengembangkan pertanian tradisional berupa komoditi local, seperti karet, rotan dan produk-produk hutan lainnya agar dijadikan kekuatan pembangunan ekonomi Dayak.

Pada protokol ke-9, peranan hakim adat masyarakat Suku Dayak dalam menyelesaikan permasalahan perdata dan pidana, mestilah terlebih dahulu mengutamakan aspek kearifan lokal berbasiskan hukum adat, penggunaan hukum negara dilihat sebagai upaya “ultimum remidium”, upaya hukum terakhir.

Pada poin ke-10, masyarakat Dayak menuntut pengakuan agama Kaharingan sebagai sistem religi asal dalam masyarakat adat Suku Dayak. Sedangkan, pada protokol ke-11, membentuk kepengurusan Yayasan Budaya Damang Batu Kalimantan Tengah, dengan personil pengurus berasal perwakilan suku Dayak di semua provinsi sebagai mitra strategis Pemerintah Republik Indonesia dalam penataan dan pengelolaan cagar budaya rumah betang damang batu di Desa Tumbang Anoi dengan masa bakti lima tahun. Untuk kemudian personil pengurusan disusun kembali pada lima tahun berikutnya.

BACA LAGI : Laung Bahenda, Simbol Perlawanan Dayak Bakumpai

Sedangkan, pada poin terakhir atau ke-12, masyarakat Dayak mendukung secara penuh Presiden Joko Widodo untuk pemindahan ibukota pemerintahan RI ke Pulau Kalimantan.

Akademisi FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin Nasrullah menyambut hangat lahirnya 12 protokol yang dihasilkan dari rapat akbar masyarakat adat Dayak di Pulau Borneo yang juga dihadiri perwakilan dari Sarawak, Malaysia dan Brunei Darussalam.

“Dari 12 protokol itu, jelas tuntutan moratorium perkebunan sawit di Pulau Kalimantan, khususnya patut didukung. Termasuk, perlindungan terhadap kawasan hutan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Begitupula, pembentukan tim negosiator dalam Organisasi Dayak Dunia, hingga pengembangan pertanian tradisional harus didukung seluruh elemen, khususnya masyarakat Dayak yang ada di Pulau Kalimantan,” ucap Nasrullah kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Rabu (31/7/2019).

BACA LAGI : Antropolog UIN Antasari : Salah Kaprah, Justru Masyarakat Dayak Itu Pelestari Hutan

Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini berharap semangat dari Tumbang Anoi, bisa mempersatukan organisasi masyarakat Dayak yang ada, seperti Dewan Adat Dayak (DAD), Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN), dan MADN yang mewadahi semua organisasi yang ada.

“Kesepakatan bersama yang dituangkan dalam 12 protokol ini harus menjadi momentum agar warga Dayak diperhatikan, maka akan menjadi penting disampaikan. Lebih menarik kalau masing-masing organisasi Dayak menyampaikan tuntutan itu kepada pemerintah pusat, provinsi dan daerah,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.