Khawatir Ada Pengkhianat, Warga Jambu Baru Minta Desanya Tak Diusik Sawit

0

KOMPAK mengenakan ikat kepala atau laung bahenda sebagai simbol perlawanan, puluhan warga Desa Jambu Baru dikomando Halidi, memastikan penolakan terhadap ekspansi perkebunan sawit ke desanya merupakan harga mati.

BELAJAR dari pengalaman pahit yang dialami desa tetangga, Sekretaris Desa Jambu Baru Halidi mengatakan jika wilayah desanya dirambah perkebunan sawit PT Tasnida Agro Lestari (TAL), maka akan mengulang problema yang ada.

“Dampak yang diterima warga desa tetangga, sudah cukup jadi patokan. Begitu dimasuki industri perkebunan sawit, malah kehidupan masyarakat tak kunjung membaik seperti dijanjikan pihak perusahaan,” ucap Halidi, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Batola dan Kabag Tata Pemerintahan Setdakab Batola, Muliansyah di Marabahan, Senin (22/7/2019).

BACA : Tapal Batas Ditinjau Ulang, DPRD Batola Serukan Cabut Izin HGU PT TAL

Yang terjadi, menurut Halidi, justru masyarakat harus kehilangan mata pencaharian dan pekerjaan yang sudah digeluti secara turun temurun. Halidi pun dengan lantang menepis anggapan kawasan yang digarap perusahaan sawit itu merupakan lahan tidur, yang kurang produktif.

“Di lahan tidur itulah warga kami hidup. Kami bisa mencari galam,ikan, purun, rotan dan lainnya. Kalau sawit masuk hancurlah semuanya, lantas apa yang kami kerjakan nanti,” cetus Halidi.

Ia meminta kepada PT TAL dan Pemkab Batola untuk tidak mengusik kehidupan masyarakat Desa Jambu Baru. Menurut Halidi, lebih baik membiarkan masyarakat desa hidup dengan kearifan lokal pesisir Barito.

“Saya khawatit jika aktivitas perusahaan tetap dijalankan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Makanya, saya harap kepada Pemkab Batola dan pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitas perusahaan di desa kami,” tegas Halidi.

BACA JUGA : Dampak Sosial Budaya Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Batola

Sementara itu, sosiolog dan antropolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah menganalogikan perjuangan masyarakat Desa Jambu Baru mempertahankan wilayahnya, laiknya spirit kepahlawan Panglima Wangkang dalam mengusir penjajah Belanda dan mempertahankan pesisir Barito Kuala.

“Kalau kita belajar dari sejarah Panglima Wangkang melawan penjajah, dia mati bukan karena kehebatan penjajah Belanda. Tetapi, karena warga pribumi kita yang berkhianat dengan memberitahukan rahasia pahlawan ini. Ya, Panglima Wangkang bisa ditembus dengan peluru emas. Saya khawatir hari ini akan ada pengkhianat yang membela penjajah seperti di era Panglima Wangkang,” tegas sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

BACA LAGI : Jika Beraktivitas di Luar Areal, Rahmadiannor: Kami akan Panggil PT TAL

Sebagai bagian dari warga Desa Jambu Baru yang merupakan tempat kelahirannya, Nasrullah mengatakan turut bertanggungjawab dalam menjaga kearifan lokal yang selama ini terjaga, ketika tak terusik ekspansi perkebunan sawit.

“Seharusnya, Pemkab Batola itu melihat lambang daerahnya, berupa purun, padi, senjata pusaka Raja Tumpang dan telabang.Jelas, itu mencerminkan kearifan lokal wilayah pesisir Sungai Barito,” tegas Nasrullah.

Menurut dia, dengan masuknya sawit, tentu dikhawatirkan akan kehilangan purun sebagai bahan baku kerajinan tangan khas Dayak Bakumpai dan warga setempat, dan padi simbol kehidupan masyarakat.

“Yang tersisa, hanya senjata pusaka Raja Tumbang dan telabang. Jadi, saya kira kita semua memaknai itu, apa yang akan terjadi di tengah masyarakat jika sawit tetap diizinkan masuk ke Desa Jambu Baru,” tandasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.