Dampak Sosial Budaya Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Batola

Oleh : Adenansi

0

KEHADIRAN warga Desa Jambu Baru yang mendatangi DPRD Batola mengenai keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah mereka telah meramaikan pemberitaan dalam beberapa hari terakhir ini, mengingatkan saya kepada tesis saya berjudul “Perubahan Sosial Budaya, Lingkungan Hidup Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Lokasi Perkebunan Kelapa SawitDi Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan” yang ditulis tahun 2014. Artikel ini pun diambil dari sub bagian tesis tersebut.

 KEBERADAAN perusahaan perkebunan kelapa sawit, sesungguhnya menjadi awal dari proses perubahan sosial terutama sangat dipengaruhi oleh faktor masuknya pendatang. Dampak sosial budaya yang terjadi setelah beroperasinya perusahan perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan sebelum beroperasinya perusahaan tersebut adalah terjadinya perubahan pola hubungan kemasyarakatan yang ada di masyarakat seperti gotong royong, rukun kematian, yasinan, dan sebagainya.

Kegotongroyongan yang yang dulunya merupakan ciri khas  masyarakat perdesaan saat ini mulai luntur, berganti dengan sistem upah atau borongan.  Misalnya membangun rumah, kerja bakti membersihkan jalan, membersihkan saluran air, tempat ibadah, dan lain-lain sebagian besar dilakukan dengan standar upah yang berlaku di desa tersebut.

Perubahan sosial budaya ini selain disebabkan oleh menurunnya solidaritas masyarakat terhadap masyarakat lainnya, juga disebabkan oleh anggota masyarakat sebagian besar bekerja di perusahaan kelapa sawit dimana waktu bekerja mereka dari pagi hingga sore hari menjelang malam, sehingga hampir tidak ada waktu untuk bersosialisasi lebih banyak dengan anggota masyarakat lainnya.

BACA : Banyak Mudharat, DPRD Batola Pastikan Keberadaan Sawit Dievaluasi

Hal ini  sebagaimana dikemukakan Durkheim (dalam Veeger, 1992) yang menyatakan  bahwa pada bentuk solidaritas organik,  terintegrasi  karena adanya keseragaman pola-pola relasi  sosial,  yang dilatarbelakangi  oleh kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggotanya, sedangkan solidaritas mekanik,  dimana masyarakat  mulai  berubah,  setelah pertambahan penduduk memaksa masyarakat untuk merundingkan suatu pembagian kerja.

Pembagian ini mengakibatkan perbedaan kepentingan, status dan pikiran yang menjurus kepada pola interaksi  yang parsial dan fungsional, untuk mencapai  kesatuan dibutuhkan undang-undang,  peraturan-peraturan,  kontrak atau perjanjian,  dan suatu ideologi  atau seperangkat nilai-nilai yang bersifat lebih umum dan abstrak.

BACA JUGA : Tolak Sawit, Pakai Laung Kuning, Warga Desa Jambu Baru Datangi DPRD Batola

Solidaritas mekanik biasanya terjadi dalam masyarakat desa yang masih belum terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat modern. Karena masyarakat desa hampir semua tanggung jawab dan aktivitas bersifat homogen, yakni petani.   Jumlah warganya juga belum begitu banyak, sehingga interaksi antar warga lainnya cukup intens dan saling kenal mengenal.

Perubahan Sistem Hubungan Kerja

Perubahan sistem hubungan kerja tersebut, sejalan dengan semakin intensifnya peredaran uang di lingkungan mereka, karena proyek perkebunan menganut managemen modern yang dalam imbalan tenaga selalu dibayar dalam bentuk uang kontan. Pendapat Sayogyo (1985), bahwa kehadiran proyek ekonomi  dari  luar  yang dikerjakan secara modern telah menghancurkan pranata desa tradisional  berazaskan tolong menolong yang diganti dengan sistem upah yang dibayar dengan uang.

Dengan demikian, sistem upah modern pada umumnya berorientasi  pada keuntungan yang sebesar-besarnya, karena itu dasar kerja yang digunakan adalah pembagian kerja yang jelas  dan menuntut dilakukan secara  profesionalisme. Sistem upah yang rasional yang dipraktekkan secara modern oleh pihak perkebunan kelapa sawit, sudah berpengaruh terhadap sistem upah tradisional.

BACA LAGI : PTPN XIII Diversifikasi 800 Hektare Lahan Karetnya ke Perkebunan Sawit

Pada saat  ini,  akibat  masuknya proyek perkebunan kelapa sawit,  prinsip kebersamaan secara tradisional yang sejak dulu menjadi  sistem nilai  hidup bermasyarakat  untuk menjamin kelangsungan kehidupan bergeser menjadi  sistem nilai  yang berbentuk konkrit dalam bentuk imbal jasa berupa upah, terutama  aktivitas dalam memelihara perkebunan.

Peralihan dari sistem upah tradisional ke arah sistem upah modern telah memunculkan  struktur sosial baru di  dalam masyarakat  desa yakni  adanya golongan pencari  upah atau pekerja di perkebunan yang hidup berdampingan dengan para pendatang.Mata pencaharian penduduk dalam wilayah studi umumnya adalah sebagai petani.

BACA JUGA : Bicara dengan Menlu Belanda, Menlu Retno Protes Kebijakan Sawit Uni Eropa

Kegiatan pertanian ini umumnya masih dilakukan secara tradisional dan proporsi terbesar pengeluaran rumah tangga adalah untuk pangan.  Perbandingan ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Perbandingan tingkat pendapatan pertahun penduduk di Desa X  sebelum dan sesudah adanya pekerjaan di perkebunan kelapa sawit

No Sumber pendapatan Sebelum ada perkebunan kelapa sawit

(Rupiah)

Sesudah Ada perkebunan kelapa sawit (rupiah)
1. Usaha pertanian/sawah 6.500.000 a 3.250.000 b
2. Mencari galam 10.000.000c 3.500.000
3. Pendapatan lain 3.000.000d 23.400.000 e
Jumlah 19.500.000 30.150.000
Rata-rata/perbulan 1.625.000 2.512.500

Sumber : data primer di olah, 2014

Keterangan :   a  = usaha pertanian dengan luasan 2 ha

b = usaha pertanian dengan luasan 1 ha

c = dengan asumsi 20 hari kerja sebulan x 5 bulan

d = menjadi tukang atau pekerjaan lain

e = bekerja di perusahan sawit

 

Ada selisih pendapatan yang cukup besar yaitu Rp 10.650.000.  kelebihan pendapatan yang cukup besar ini yang digunakan oleh mereka untuk pembelian peralatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh mereka.Dampak yang dirasakan sosial budaya melalui perubahan pola hubungan kemasyarakatan yang berupa menurunnya rasa kebersamaan untuk bergotong royong,meskipun hal itu tidak secara langsung mereka rasakan perubahan secara drastis.

Pola Konsumtif

Kehadiran perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerja sama tidak hanya terbatas dalam lingkungan komunitas mereka sendiri,  tetapi  sudah melibatkan orang luar terutama dengan pihak perkebunan.  Arkanudin (2012) menyatakan bahwa terjadi  persaingan  yang sangat  kentara terutama dalam memperoleh kesempatan untuk dapat bekerja pada perkebunan kelapa sawit.

BACA JUGA : Remajakan Kelapa Sawit, Perhektare Lahan Dibantu Rp 25 Juta

Demikian juga dalam memugar  dan memperbaiki  rumah yang diganti dengan bangunan yang lebih kuat, besar dan permanen serta adanya persaingan dalam membeli barang-barang konsumtif  seperti   televisi,  VCD,  radio tape recorder,  sepeda,  dan sepeda motor.  Barang konsumtif seperti   ini  dengan mudah mereka miliki, karena dapat diperoleh dengan kredit  yang pembayarannya dipotong dari hasil penjualan buah kelapa sawit.

Acil S seorang pemilik warung makan dan kelontongan yang sudah 10 tahun lebih menekuni profesi tersebut, menyatakan bahwa “kalau dulu aku kada wani mahutangi buhan kampong nih, sebab ngalih bayarnya, wahini wani ae sebab buhannya sudah ada penghasilan tatap matan bagawi dikabun” (kalau dulu saya tidak berani memberi hutang orang-orang kampong sini, karena susah bayarnya lantaran tidak punya penghasilan tetap, tetapi sekarang sudah berani, karena mereka sudah memiliki penghasilan tetap dari bekerja di perkebunan).

BACA LAGI : Lawan Kampanye Hitam Sawit, Pemprov Kalsel Gandeng Negara-Negara Skandinavia

Berkaca dari realitas demikian, kehadiran perkebunan kelapa sawit tidaklah harus dilihat dari satu sisi saja. Terserapnya tenaga kerja, perputaran mata uang di daerah, hingga mata pencaharian tetap adalah aspek lain yang perlu diperhitungkan juga.

Namun di balik itu, penting relasi sosial antara warga setempat dengan pihak koorporasi agar selalu berjalan harmonis, sesungguhnya menuntut kehadiran pemerintah yang berdiri di tengah agar iklim investasi di daerah khususnya kabupaten Batola berjalan kondusif. Oleh karena itu, menimbang, memperhatikan, dan melihat realitas masyarakat adalah modal penting bagi keberlangsungan investasi di suatu daerah.(jejakrekam)

Penulis adalah Anggota Sawit Watch Indonesia

Anggota Walhi Kalimantan Selatan

Alumnus PSDAL ULM

Penasihat Perkumpulan Dayak Meratus

 

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/07/20/dampak-sosial-budaya-perusahaan-perkebunan-kelapa-sawit-di-batola/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.