Kasus Penetapan Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah dari Perspektif Hukum Pidana

0

HINGGA kini, masyarakat Hulu Sungai Tengah (HST) masih menunggu siapa yang akan ditetapkan menjadi Wakil Bupati HST.

DI rapat paripurna DPRD HST pada 26 Juni 2019 lalu, beberapa wakil rakyat di HST mempertanyakan sikap Bupati HST HA Chairansyah yang terkesan enggan menjawab pertanyaan mengenai kapan dua nama yang diusung tiga parpol pengusung diajukan, untuk dipilih sebagai pendamping sang kepala daerah itu.

Pengamat hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Daddy Fahmanadie menanggapi bahwa saat ini masalah pengisian jabatan Wakil Bupati HST menjadi perhatian masyarakat Kalsel, khususnya HST.

Menurutnya, adanya anggapan masyarakat bahwa masalah itu berlarut-larut merupakan pendapat yang sah-sah saja. “Namanya juga opini masyarakat,” kata Daddy kepada jejakrekam.com, Minggu (30/6/2019).

Namun, ungkapnya, dari sisi hukum menjadi masalah yang berbeda. Dalam konteks hukum tata negara, disebutkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 bahwa apabila jabatan wakil bupati terdapat kekosongan maka seyogyanya dilakukan pemilihan oleh DPRD dan parpol pengusung serta penetapan pejabat bupati.

BACA : Samahuddin: Bupati HST Bisa Dipidanakan

Terkait adanya pemberitaan bahwa Bupati HST dinilai melanggar pidana dalam UU 10 Tahun 2016, ia mengatakan, potensi tersebut bisa saja terjadi karena pasalnya sudah diatur dalam UU 10 Tahun 2016 pasal 180 (2). “Sebagaimana hal tersebut diatur. Tetapi tentunya ketika berbicara pelanggaran pidana (delik) maka ini sifatnya delik tertentu karena muncul dalam UU tersendiri,” katanya.

Menurutnya, kerumitan yang muncul dalam kasus ini adalah adanya dimensi politisnya. Tetapi, kalau muncul dalam perspektif pidana maka dalam pidana dikenal unsur tindak pidana yaitu mens rea atau sikap batin (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana), dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana)

Mengenai suatu perbuatan, lanjutnya, perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus dirumuskan oleh UU secara normatif sebab asas legalitas. Kemudian, dalam hal mens rea maka kesengajaan bukan dalam konteks kasat mata tetapi kesengajaan diukur dalam niat, apakah suatu perbuatan oleh orang tersebut benar-benar sengaja melakukan atau tidak.

Jadi, bebernya, ada kehendak dimana orang tersebut berbuat kembali kepada teori kehendak dalam hukum pidana, tentu tidak mudah untuk membuktikan secara material. Akan tetapi, memang ketika sudah masuk kedalam aspek formal maka tentu semua harus sesuai dengan parameter KUHAP. Dalam arti, apakah alat buktinya cukup atau untuk menetapkan sebagai delik melalui bukti yang cukup atau bukti permulaan yang cukup.

“Jadi, dalam hukum pidana tidak mengenal asumsi. Dalam hukum pidana hanya mengenal mens rea karena melalui mens rea maka muncul motif kenapa si pelaku berbuat,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.