Pengaruh Habib Dalam Politik Elektoral

0

DIREKTUR LK3 Rafiqah dalam diskusi LK3 mengatakan, Pemilu 2019 benar-benar menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia karena semakin menegaskan kuatnya politik simbol dan identitas. “Simbol yang paling kuat adalah keagamaan. Dan, itu dimanfaatkan oleh para calon,” katanya dihadapan sekitar 80 peserta di aula Tambak Yudha, Jumat (31/5/2019).

AKADEMISI UIN Antasari Humaidy sebagai pemantik diskusi mengatakan, istilah habib secara bahasa berarti orang yang dicintai dan mencintai. Dalam masyarakat Banjar, orang yang memiliki juriat langsung dengan Nabi Muhammad SAW disebut syaid.

“Panggilan habib digunakan kalau seseorang sudah pada taraf alim, arif bijaksana. Namun sekarang, semua yang dianggap memiliki garis keturunan atau juriat dengan Nabi Muhammad SAW semuanya disebut habib walau tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup,” katanya.

Banjar, kata Humaidy, sedang mengalami proses Arabisasi yang massal. Bahkan lebih spesifik habibisasi. Ditandai dengan semakin digemarinya busana-busana arab seperti gamis, padahal dulu gamis tidak disukai karena mirip daster perempuan. Juga soal makanan. Berbagai masakan daging kambing, menjadi masakan kegemaran baru orang Banjar, dulu tidak seperti itu.

Diungkapkan Humaidy, tidak ada perlawanan dari orang Banjar atas berbagai gejala arabisasi ini. “Padahal dampaknya besar sekali terhadap perubahan budaya Banjar. Dulu ulama Banjar menggunakan lawung, mereka juga bergelar datu atau tuan guru. Ini sangat lokal dan mampu memberikan perlawanan,” katanya.

Habib sekarang ini seolah maksum, suci, tidak ada cacat cela. Bahkan sampai pada paham bahwa memilih habib dalam Pemilu, masuk surga. “Inilah kemudian yang memberi pengaruh pada elektoral dan itu dimanfaatkan oleh habib yang politisi,” ucapnya.

BACA : Empat Kursi Senator Kalsel Bakal Diisi Trio Habib Plus Gusti Farid

Menurutnya, ulama-ulama Banjar dahulu, yang bergelar guru, kritis terhadap habib. Kalau habibnya tidak alim, mereka tidak hormat, bahkan berani menasehati. Hanya habib yang alim yang dihormati. “Apalagi habib yang politisi, tidak akan terlalu dipatuhi. Para guru tahu bagaimana sebenarnya seorang politisi, sekalipun dia habib,” katanya.

Agar menormalkan pemahaman yang sebenarnya tentang habib, maka caranya adalah kembali ke akar budaya Banjar. Bahwa orang banjar menghormati orang yang berilmu atau alim, bukan atas dasar simbol gelar namun karena benar-benar memiliki pengetahuan.

Setelah Humaidy menyampaikan paparannya, peserta diskusi yang terdiri dari berbagai latar belakang ketokohan, memberikan tanggapannya. DR Muhammad memberikan tanggapan. Ia menilai tidak ada perubahan dari sisi habib. Tapi yang berubah itu adalah persepsi yang terbangun tentang sosok habib di mata orang Banjar. Persepsi ini terbentuk dari pemahaman keagamaan. Kelompok tradisionalis masih suka dengan simbol, dan lebih mengagungkan habib, sementara itu kelompok modernis, tidak terlalu. “Karena yang modernis tidak mengenal hirarkis. Mereka lebih egaliter, bahwa semua orang pada dasarnya sama saja atau setara,” katanya.

Penanggap lainnya, DR Jalaluddin, juga mengakui perubahan persepsi dari orang Banjar terhadap habib. Kalau sudah habib, tiada cacat cela. Ditambah penghormatan dari para guru kepada habib, sehingga terbangun kemuliaan di mata masyarakat.

Narasumber lainnya Hairansyah yang merupakan Wakil Ketua Komnas HAM RI, mengatakan bahwa sekarang ini menurut sejumlah riset, politik identitas semakin menguat. Juga dalam soal primordialisme, angkanya masih tinggi. Maka dengan kondisi seperti ini, menguntungkan orang-orsng yang suka memainkan simbol.

“Habib memang menjadi strategi pemenangan politik, bahkan orang dengan sengaja menjaja kehabibannya, karena sangat laku sebagai jualan kampanye, selain karena calon lain memang tidak dikenal. Pilihan masyarakat akhirnya ambil mudahnya, yaitu memilih habib,” katanya.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.