Komnas HAM Dorong IDI dan Muhammadiyah Turut Selidiki Kematian KPPS

0

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelidiki fakta penyebab ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia di Pemilu 2019. Hanya saja, investigasi yang dilakukan Komnas HAM masih terkosentrasi di beberapa provinsi di Pulau Jawa.

WAKIL Ketua Komnas HAM Hairansyah mengakui karena keterbatasan waktu, proses investigasi soal kematian KPPS serta penyelenggara pemilu yang jatuh sakit, lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat.

“Untuk di luar Pulau Jawa, seperti di Kalimantan Selatan, kami mendorong agar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Muhammadiyah, yang memiliki jaringan turut melakukan investigasi. Jadi, nantinya ada dua hasil investigasi yang bisa jadi rujukan dalam mendapat gambaran yang valid,” ucap Hairansyah kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Sabtu (25/5/2019).

BACA : Ketua KPU Kalsel Setuju Pemilu Direvisi, Santunan KPPS Dibayar Rp 36 Juta

Mantan komisioner KPU Kalsel ini mengakui di Kalsel sendiri juga ditemukan ada petugas KPPS yang meninggal dunia, tersebar di beberapa kabupaten dan kota. Hanya saja, menurut dia, untuk keperluan autopsi, tentu butuh izin dari pihak keluarga. Meski diakui Hairansyah, pihak kepolisian juga punya wewenang untuk itu.

“Memang, ada pengajuan dari IDI dan Muhammadiyah untuk ikut melakukan investigasi soal kematian petugas KPPS yang selalu dihubungkan dengan aspek kelelahan. Ini patut diselidiki, agar publik mendapat informasi yang kredibel,” tutur Hairansyah.

BACA JUGA : Rizaldi, Anggota KPPS 12 Guntung Payung Dapat Santunan dari Wakil Walikota Banjarbaru

Alumni Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini mengaku masalah kematian petugas KPPS, hingga banyak pula yang jatuh sakit saat bertugas dalam Pemilu 2019, masih simpang siur, sehingga perlu investigasi mendalam, serta menyeluruh di semua tempat kejadian perkara (TKP) yang ada.

“Kami juga menyambut ada keinginan dari IDI dan Muhammadiyah untuk melakukan investigasi. Sebab, peran publik dalam mengungkap itu,” cetus Ancah, sapaan akrabnya.

Ia mengakui bagi petugas KPPS yang jatuh sakit, masih bisa diminta keterangan atau dikorek pengakuan, berbeda dengan petugas yang telah meninggal dunia, maka perlu prosedur hukum serta perizinan dari pihak keluarga. “Nah, jika pihak keluarga menolak, tentu ini jadi kendala yang akan dihadapi,” kata Ancah.

BACA LAGI : Kelelahan Pungut-Hitung Suara, Anggota KPPS 3 Desa Muning Tengah Meninggal Dunia

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufik Damanik telah mengungkap hasil investigasi soal kematian petugas KPPS, berkelindan dengan tidak mendapat prioritas penanganan, tidak memiliki asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan sehingga berdampak pada pembiayaan untuk berobat secara mandiri. Akhirnya, akibat pelayanan kesehatan terbatas memicu meninggal dunia.

Ketua Komnas HAM juga menyebut belum adanya komitmen kuat dari negara. Itu terlihat ketika penempatan para KPPS, PPS, pengawas dan petugas keamanan hanya sebatas petugas volunteristik. Imbasnya, perspektif perlindungan terhadap mereka menjadi lemah.

Komnas HAM juga mencatat dalam proses rekrutmen terutama dalam hal usia hanya mempersyaratkan minimal 17 tahun, sedangkan batas usia maksimal tidak diatur. Padahal, dari data Komnas HAM, rata-rata petugas KPPS di atas usia 40 tahun.

Begitupula, Komnas HAM mencatat faktor kelalaian dengan menurunkan standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani, karena hanya berbekal surat keterangan sehat biasa dari puskemas, tidak mencantumkan riwayat atau risiko kesehatan.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.