Negara Harus Jadi Penengah

Oleh: Kadarisman

0

SEBUAH pembelaan itu lahir karena cinta. Kata cinta adalah ayat terakhir dari kitab  yang menjelaskan bagaimana militansi itu terlahir. Militansi yg hebat adalah ikhtiar yang tak kehilangan esensi, bahwa muara dari semua hasrat hanyalah untuk menumbuhkan kumparan kebaikan.

WALAUPUN cinta adalah kumparan kebaikan, tetapi penghianatan dan kecurangan rentan membuatnya luka. Itu manusiawi. Keadaan itu dapat mengundang kekecewaan yang terkristalisasi ke dalam bentuk yang beragam bila salah menyikapi. Kebutuhan akan ruang yang terang mesti disediakan tanpa siasat apapun, agar suasana kebatinan mampu menyediakan kepercayaan tentang hakikat kebersamaan.

Dalam bingkai demokrasi, suksesi kekuasaan menciptakan kontestasi. Konsekuensi kemudian  akan dihadapkan pada kalah menang. Suasana psikologis kontestan dan konstituennya memasuki tahap rawan. Keadaan ini membutuhkan tambatan dan saluran konstitusi, bagaimana tahap berikutnya ruang norma menjamin persoalannya dapat diputus dengan keyakinan kebenaran hadir di tempat itu

BACA : Kecurangan dan Menyikapinya

Saluran konstitusi semata tak cukup. Bangsa yang besar perlu menghadirkan sentuhan cinta, membalut benturan narasi dari sisa-sisa kontestasi. Ketidaksempurnaan penyelenggara pemilu misalnya pasti menyisakan batu ganjalan. Terlebih jika ada dugaan kecurangan dan kecerobohan di dalam penanganan hasil pemilu.

Keadaan seperti ini pasti berbalas kekecewaan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Ketentuan formil tidaklah ampuh diandalkan tanpa mengindahkan sensitivitas psikologis konstituen yang membutuhkan ruang menyampaikan keluh resah.

Di sinilah kemudian negara harus hadir. Negara harus dapat dipisahkan dari kekuasaan. Terlebih pemegang mandat kekuasaan merupakan petahana yang menjadi bagian dari kontestan pemilu. negara dan alat-alat negara harus membebaskan kesan menjadi bagian yang terlibat dalam kepentingan politik kekuasaan. Kegagalan menciptakan kesan itu berkonsekuensi distrust publik terhadap negara. Tidak ada yang berbahaya selain munculnya distrust, sebab rakyat menjadikan jalanan mencari sumber keadilan.

BACA JUGA : Negara yang Tersandera

Negara yang hadir di tengah kontestasi demokrasi tidak semata membawa ketegasan undang-undang. Negara hadir harus dengan membawa keberpihakkan pada rasa keadilan semua pihak. Hukum tidak boleh tebang pilih. Hukum tidak boleh menyasar hanya kepada salah satu pihak yang terlibat kontestasi. Hukum harus tajam ke atas dan tajam ke bawah. Dan hal paling penting adalah, negara harus membebaskan kesan ia berpihak pada politik kekuasaan.

Kita harus memberi ruang cerita dan ekspresi demokrasi kepada siapapun untuk mengejawantahkan hak-hak demokrasinya. Memahami aspek psikologis bagaimana liku getir konstituen dari peserta kontestasi dapat menghindarkan aparat menerapkan undang-undang secara serampangan. Orang yang kecewa dapat menyuarakan apapun. Itu tak serta merta harus dihadapkan dengan tuduhan makar.

Kemampuan seseorang menyuarakan hak  berbicara tidak boleh dipandang sebagai upaya yang terstruktur sebagai pelaku makar. Aparat harus mampu melihat mana dinamika yang lahir dari ekspresi psikologis alamiah, dan mana tindakan terstruktur dan terencana yang linier dengan kapasitasnya untuk berbuat makar.

Negara harus memberikan ruang kepada pihak yang menggunakan hak konstitusinya tanpa bayang bayang subversif. Berikan bahu dan tangan terbuka tanpa menyimpan ancaman apapun. Jika ada sayap sayap yang patah, ambilah peran lainnya sebagai penawar. Berikan ia ruang penuh cinta dari kecewa dan luka, jangan lagi disundut kata makar.

BACA LAGI : Belajar dari Orde Baru, Ketika Sang Patron Tumbang

Demikian halnya, pihak yang kecewa atas proses demokrasi dituntut dapat menyikapi dinamika kontestasi dengan dewasa. Hukum tetap dijadikan acuan mencari keadilan. Tak ada kebenaran yang disuarakan dengan cara-cara yang salah. Bernegara harus dikembalikan kepada kesepakatan ketentuan yang sudah diundangkan, negara harus jadi penengah, pihak yang bertikai harus bersedia ke tengah, di mana hukum menjadi wasit yang harus diamankan bersama-sama.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sosial, Tinggal di Tanjung Tabalong.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.