Membangun Pelayanan Publik di Era Disruption 4.0

Oleh : Muhammad Firhansyah

0

BARU-baru tadi penulis mengisi seminar pelayanan publik di salah satu Kampus Swasta (STIA Bina Banua) di Banjarmasin , dalam seminar tersebut banyak mengupas seputar tantangan perguruan tinggi menghadapi era disruption 4.0

KATA “disruption”  memang akhir-akhir ini kian laris manis, tak hanya menjadi bahan kuliah para dosen di perguruan tinggi, tapi juga masuk ke lini institusi negara, digaungkan di berbagai acara formal dan non formal, dan uniknya juga di gunakan massif oleh para generasi milineal yang mencoba menjadi motivator dan membuka usaha bisnis mereka.

Istilah “disruption” memang sudah banyak dikenalkan oleh tokoh tokoh dunia, seperti Francis fukuyama dan Paul Gidding dalam bukunya  “The Great Disruption” atau kalau di Indonesia lebih banyak di tulis oleh pengamat dan dosen ekonomi ternama. Rhenald Kasali dalam bukunya “disruption”.meskipun pencetus Inovasi Diruptif / distruptive innovation (disruption) berawal dari Clayton. M. Christensen dan joseph Bower (1995) dalam Artikelnya berjudul “Disruptive Technologies. Catching The Wave”.

BACA : Ramadhan dan Perbaikan Pelayanan Publik

Sekilas makna disruption berarti “gangguan”. Dalam sejumlah literatur disruption bermakna layaknya suatu inovasi yang “merusak” pasar lama dan mengarah menciptakan pasar baru. Oleh Christensen dalam bukunya “The Innovator’s Dilemma”. Ia mencoba mengungkapkan tipe pelanggan atau konsumen yang sering menuntut akan kualitas suatu produk dan ini sering menimbulkan “gangguan” bagi para penyedia produk, barang atau jasa apabila mereka melangkah terlambat atau gagal dalam  berinovasi.

Sedangkan era 4.0 adalah era digital, dimana revolusi industri menuntut tata kelola pemerintahan ke  arah yang penuh inovasi, adaptif dan transparan. Revolusi industry 4.0 juga menuntut pemerintah menggunakan system digitalisasi di seluruh aspek pelayanan semisal e budgeting, e learning, E KTP, e Planning, dlll

Pemerintah wajib membangun sistem e-government baik dari pusat sampai daerah, masuk ke seluruh kelembagaan, memperkuat teknologi dan komunikasi tujuannya agar dapat membangkitkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas dengan tetap berpegang pada prinsip akuntabilitas dan transparansi

BACA JUGA : Toilet dan Peradaban Pelayanan Publik

Dalam konteks pelayanan publik. Maka, sudah tidak zaman lagi pelayanan publik yang lamban, berbelit-belit jauh dari kemudahan apalagi diskriminatif, termasuk para ASN atau penyelenggara negara yang mindsetnya masih kaku, kolot dan tidak reformis ditambah gaptek (gagap tekhnologi) serta minim kreasi dan inovasi. Apabila terjadi Konsekuensinya, di era ini akan semakin tertinggal jauh bahkan dengan sendirinya akan “menghilang” atau tergusur .

Point mendasar dari pelayanan publik di era disruption 4.0 adalah kemampuan untuk membaca setiap gerakan yang terlihat dan yang tidak terlihat, mengantisipasi “Keterkejutan” dan kecepatan perubahan zaman serta secara sadar mampu memenuhi keinginan pelanggan (rakyat) termasuk berani dan mampu bersaing secara benar dan tepat .

BACA LAGI : Tindakan P2TL dan Keadilan bagi Pelanggan

Kita sudah merasakan bersama bahwa perubahan pelayanan publik di era disruption 4.0 baik adminsitrasi, barang dan jasa begitu massif. Beberapa diantaranya transportasi publik seperti angkot dan ojek tradisional yang sekarang diganti dengan transportasi berbasis online atau pasar tradisonal dan toko ritel modern yang juga “terganggu” dengan jual beli online, pelayanan administrasi berbasis sidik jari atau digital menjadikan layanan berbasis kertas menjadi sangat kuno, bermunculan aplikasi yang memudahkan masyarakat, yangmana semua fasilitas tersebut bisa didapatkan dengan mudah hanya dengan satu smartphone saja. Ini semua hanya potret kecil dari pengaruh disruption atas pelayanan publik di masa kini.

Orientasi dan harapan publik atas pelayanan yang lebih cepat, sederhana, mudah, terjangkau dan bebas akses/waktu menjadi satu keniscayaan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara layanan (pemerintah). Oleh sebab itu  tidak ada lagi alasan untuk menghindar

Melakukan evaluasi dan Mereformulasi segala kebijakan serta  merubah mental sdm dan leadership di tubuh pelayanan publik kita menjadi satu keniscayaan yang harus dilakukan, pendekatan berbasis tekhnologi tanpa meninggalkan sisi kemanusiaan (propartif) juga harus menjadi pedoman bagi tindakan pemerintah atas pemberian layanan publik.

BACA LAGI : Reformasi Satgas Saber Pungli

Tantangan era disruption 4.0 tak hanya menginginkan pemerintah yang bersih dan baik, tetapi pemerintah yang dekat, hadir dan bisa mencukupi kebutuhan rakyatnya . disini peran pemerintah atau penyelenggara pelayanan publik juga sebagai perangsang agar semua elemen kompetitif secara sehat menuju kualitas pelayanan.

Wajah pemerintah yang diinginkan selain ramah juga renyah dalam hal melayani, melibatkan publik untuk bersama membuat kesepakatan atas kepentingan-kepentingan rakyat dan bertanggungjawan dalam setiap keputusan yang dihasilkan.

BACA LAGI : Pelayanan Publik Pemkab HST Masih Zona Kuning

Lebih dalam dari itu pemerintah diperlukan seperti layaknya sebagai vitamin atau mampu menyuntikan semangat berinovasi , nasionalis dan kreatif dalam kerangka membangkitkan semangat publik, gaya pemerintah yang lebih fleksibel dan tidak kaku menjadi satu motivasi untuk terwujudnya program pemberdayaan publik atas pelayanan. Berbasis pada kinerja dan hasil yang terukur bukan pada kegiatan yang menghabiskan dana tetapi yang mampu menggali sumber dana’

Pada akhirnya era disprution ini menuntut penyelenggara pelayanan publik yang mampu dan cerdas dalam mengatasi setiap persoalan atau masalah yang akan muncul kini dan nanti, serta memiliki target tercapainya prinsip kepuasaan masyarakat, meningkatkan kepercayaan publik, menuju indeks kebahagiaan bagi warganya serta mampu berkolaborasi secara manusiawi meskipun dibingkai dengan kecanggihan teknologi. Sekian.(jejakrekam)

Penulis Kepala Keasistenan Bidang pencegahan Ombudsman RI Kalsel

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.