Menjaga Etika Penyelenggara Pemilu

0

REKAPITULASI pengitungan suara masih berlangsung. Semua mata tertuju pada penyelenggara Pemilu. Berharap taat pada etika. Berlaku jujur, adil dan transparan. Tidak ada kecurangan. Kualitas Pemilu terjaga. Demokrasi terpelihara. Bagaimana menjaga etika penyelenggara Pemilu? sejauh mana proses itu dapat dilakukan?

DUKA cita kita ucapkan atas meninggalnya 144 penyelenggara Pemilu. Mereka bekerja penuh tekanan, tuntutan, sehingga menguras pikiran. Penuh konsentrasi, akhirnya banyak yang tidak tahan dan kemudian meninggal dunia. Jumlah 144 orang bukanlah sedikit. Mungkin inilah Pemilu paling banyak membawa korban penyelenggara. Maka penting dievaluasi, sehingga ada perbaikan untuk Pemilu berikutnya. Menjaga etika penyelenggara pemilu, diangkat sebagai tema obrolan Palidangan, karena banyaknya tekanan, tuntutan dan bahkan tudingan terhadap penyelenggara Pemilu, sehingga mengecilkan peran penyelenggara, yang pada akhirnya meragukan hasil kerja mereka, yaitu berupa pengumuman hasil Pemilu,” urai Noorhalis Majid, memulai prolognya pada obrolan Palidangan, Pro 1 RRI Banjarmasin yang menghadirkan DR Mahyuni, akademisi, pengamat politik dan sekaligus Wakil Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Kalimantan Selatan.

“Saya juga ingin menyampaikan duka mendalam, atas gugurnya para penyelenggara Pemilu, mereka bekerja untuk Pemilu, perhelatan demokrasi untuk kita semua. Pemilu kali ini memang sangat luar biasa. Tantangan dan tekanannya sangat tinggi. Padahal kalau dilihat dari jumlah kotak atau surat suara, hanya menambah satu kotak dan satu lembar surat suara. Namun yang menguras pikiran adalah tekanan publik dan peserta Pemilu, Menuntut penyelenggara bekerja secara sempurna. Sehingga mereka berkonsentrasi. Berusaha sempurna. Semua itu menjadi beban dalam menjalankan pekerjaan,” ujar DR Mahyuni, mengawali paparannya.

Menurutnya, semua ini harus menjadi evaluasi. Baik terhadap para penyelenggara itu sendiri, menyangkut sistem rekrutmen, jaminan kesehatan, keselamatan kerja, serta tersedianya anggaran untuk menunjang kerja penyelenggara. Selama ini tidak ada anggaran kesehatan penyelenggara, terutama untuk petugas KPPS. Perhatian publik yang kemudian menjadi tekanan publik, juga memberi pengaruh fisikologis. Ditambah sistem perhitungan yang harus selesai pada hari itu juga. Belum lagi soal DPT dan DPT Pindahan, yang menimbulkan banyak desakan publik kepada penyeleggara untuk dapat memilih dengan alasan sudah memiliki e-KTP, tanpa harus terdaftar dalam DPT.

Di sejumlah tempat, bahkan dilakukan pemungutan suara ulang, karena petugas memberikan kesempatan kepada pemilih di luar DPT, tanpa membawa formulir A5. Hal tersebut terjadi karena kapasitas petugas sangat terbatas. Bintek tidak optimal. Petugas yang hadir dalam bintek antara 1 sampai 3 orang saja. Itupun dilakukan secara masal, sehingga belum tentu dipahami dengan baik. Setelah itu mereka yang ikut dan kurang paham ini, harus menyampaikan kepada rekan-rekannya, sehingga akhirnya banyak petugas yang tidak memahami tugasnya, berbagai kekeliruanpun terjadi.

BACA : Taufik Arbain: Kabar Baik dan Kabar Buruk dari Pemilu 2019

Menjaga etika penyelenggara sudah dilakukan, buktinya banyak penyelenggara yang telah diberi peringatan. Kita semua ingin Pemilu yang berintegritas. Meliputi aktor pemilu yang berintegritas, proses yang berintegritas dan hasil yang juga berintegritas. Aktor dimaksud tentu saja yang utama adalah penyelenggara Pemilu. Mereka harus menjunjung prinsif Pemilu yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia.

“Selain itu juga ada asas Pemilu, yaitu jujur, adil, transparan, akuntabel, nonpartisan, dan sebagainya, hingga 12 asas. Semua itu menjadi pedoman bagi penyelenggara Pemilu dalam bekerja. DKPP tugasnya mengingatkan, melakukan pencegahan, agar Pemilu benar-benar berintegritas. Mahkota dari penyelenggara pemilu itu adalah integritas,” ujar Mahyuni.

Sejumlah pendengar menyampaikan tanggapannya, antara lain, Sadam di Banjarmasin, menilai bahwa Pemilu kali ini kurang mulus. Banyak terlihat masalah. Ada pengawas, namun celah untuk melakukan kecurangan juga masih ada. Bahkan politik uang dilakukan dengan kasat mata. Intimidasi juga terjadi. Partisipasi pemilih cukup tinggi, namun banyak pula yang tidak bisa memilih, padahal sudah e-KTP.

Said Rahman di Amuntai, memilih menggunakan e-KTP semestinya jangan dipersulit, karena memilih adalah hak warga negara. Karena tidak bisa menggunakan e-KTP, masih ada yang golput. Soal etika memang sangat penting. Namun ketika berbagai doktrin mempengaruhi pemilih, apakah ini juga tidak melanggar etika.

Suriani Hair, di Banjarmasin, DKPP bertugas menjaga maruah pemilu. Namun ada pihak yang menyebarkan berita dan isu, mengarah agar tidak mempercayai penyelenggara pemilu. Akhirnya ketika penyelenggara mengumumkan hasil Pemilu, muncul opini untuk tidak mempercayai dan menerima hasil Pemilu. Hasil Pemilu dianggap tidak sah karena banyaknya kecurangan. Opini itu terus dibangun, sampai penetapan hasil pemilu disampaikan. Bagaimana sikap DKPP melihat kondisi ini? Kami sendiri menilai kerja penyelenggara sudah sangat luar biasa. Berbagai laporan sudah ditingaklanjuti. Maka proses yang masih tersisa ini harus terus dikawal. Masyarakat yang sudah terlanjut terbelah, terfragmentasi, tidak mudah untuk disatukan kembali.

Mendengar berbagai tanggapan, Mahyuni mengakui bahwa ada banyak keterbatasan dari sisi pengawasan. Baik dari sisi subyektif, yaitu kualitas sumber daya manusia para pengawas, serta jumlah dari para pengawas itu sendiri yang sangat kurang. Secara obyektif, luasnya wilayah, jumlah penduduk dan pemilih yang sangat banyak, serta sistem Pemilu itu sendiri yang membuat tidak sederhana.

BACA JUGA : Bawaslu Banjarmasin Temukan 10 Pelanggaran di Pemungutan dan Penghitungan Pemilu 2019

“Soal intimidasi, bila benar terjadi, silakan dilaporkan pada pengawas Pemilu. Lalu, tentang tidak dapat memilih hanya menggunakan e-KTP, karena basis pemilih itu adalah DPT. Sekalipun memiliki e-KTP, tapi pemilih harus menyalurkan hak pilihnya pada lingkungan di mana dia tinggal. Dan para pemilih tersebut terdaftar dalam DPT. Kalau ingin pindah memilih dengan alasan tugas atau keperluan mendesak, maka harus mengurus sebulan sebelum hari pemungutan suara,” bebernya.

Pada kesempatan kedua, para pendengar kembali menyampaikan tanggapannya. Opung di Banjarmasin, mengatakan bahwa banyaknya korban, mengindikasikan bahwa ini merupakan bencana politik. Penelpon lainnya, Amat Uya di Kotabaru, membenarkan bahwa masih tinggi praktek politik uang. Peserta yang banyak duit, membagikan duitnya untuk memenangkan Pemilu. Arya di Kapuas, tingkat pelayanan di TPS masih belum memuaskan. Beberapa TPS bahkan tidak netral, keanggotaannya terdiri dari ASN. Ada keberpihakan. Surat suara yang lebih, menjadi peluang untuk dicurangi.

 

Mahyuni memberikan tanggapan, bahwa DKPP hadir dalam rangka menjaga kehormatan para penyelenggara Pemilu. Agar mereka bekerja dengan penuh etika. Perlu diketahui, bahwa penyelenggara dituntut netral, dibatasi tidak tanduknya. Sekedar mengangkat jari saja tidak boleh. Contoh di Gambut, penyelenggara berpose dengan mengacungkan jarinya dan dianggap mengarah pada calon tertentu, kemudian dilaporkan tidak netral.

“Saya ingin mengingatkan kepada para penyelenggara untuk menjaga integritas. Semua tekanan ini adalah bagian dari tantangan dalam bekerja. Penyelenggara harus tahan terhadap tekanan. Ini bagian dari konsekuensi penyelenggara Pemilu. Saya berharap, apapun tantangannya, tetap bekerja sesuai ketentuan. Bekerja on the track. Selesaikan tahapan Pemilu hingga akhir. Kalau ada yang menggugat, hadapi gugatan tersebut,” katanya.

“Bagi masyarakat, percayakan proses ini kepada penyelenggara Pemilu. Bersamaan itu, kita terus mengawasinya. Sekalpun imbalan yang diberikan negara masih belum cukup, namun penyelenggara tetap bekerja dengan penuh integritas dan profesional. Setelah itu, kita akan lakukan evaluasi agar Pemilu ke depannya berjalan lebih baik lagi,” pungkas Mahyuni.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.