Belajar dari Orde Baru, Ketika Sang Patron Tumbang

0

BELAJAR dari kasus Orde Baru, ketika sang patron Soeharto tumbang, maka para kroni ekonomi dan politiknya pada ngacir (menyeliung) dan meninggalkan penguasa Orde Baru itu dalam kesepian. Alkah kekuasaan pun sudah menanti setia di Kawasan Imogiri Bantul Yogyakarta.

PENGUASA tiran itu hanya bisa plenga-plengo sembari melakukan dialog imajinatif. “Senjakala kekuasaanku sudah sampai di sini”. Para loyalitiis itu pada ngacir, ngacir mencari patron baru dan mereposisi masuk ke dalam jaringan struktur kekuasaan pasca reformasi di balik Patung Agung Otonomi Daerah dan isu desentralisasi.

Para penumpang gelap itu (free rider) secara aktif membangun jaringan perselingkuhan dengan penguasa lokal. Penguasa lokal itu terpilih dalam pilkada yang dibandari para orang-orang opurtunis sebagai imigran gelap dari penghamba rezim Orde Baru.

BACA : Ketika Partai Politik dalam Pusaran Lingkaran Setan Korupsi

Para imigran politik itu membangun perselingkuhan baru dengan penguasa lokal dan mendikte penguasa lokal karena telah memposisikan diri sebagai shadow state atau shadow government dalam struktur kekuasaan. Stuktur kekuasaan menjadi tersandera oleh kekuatan oligarik pasar.

Kelompok oligarki ini telah menguasai panggung demokrasi dan demokrasi pun menjadi pasar gelap yang tidak terhindari. Biaya demokrasi semakin mahal, demokrasi telah menjadi industri, partai politik menjadi kartel (korporasi).

Parpol dijadikan instrumen kendaraan untuk melakukan perburuan rente (rent-seeking) dan berburu upeti. Perselingkuahan antara penguasa dan pengusaha menjadi terstruktur dan legal (Edward Aspinall, dalam State and Ilegality in Indonesia, 2010).

Negara semakin melemah (powerless). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila negara sudah dikendalikan oleh kekuatan uang atau kekuatan pasar. Prof Noreena Herzt dalam bukunya Silent Take Over and the Death of Democracy, menjelaskan bahwa, ketika pasar (market) sudah mendikte negara, demokrasi telah mati suri.

BACA JUGA : Kontestasi Politik dan Perebutan Simpul Basis Patronase

Pengalaman demokrasi di Indonesia pasca tembangnya rezim Orde Baru, dinamika politik atau demokrasi sekadar menghadirkan demokrasi prosudural belum menghadirkan demokrasi substantif. Demokrasi prosedural adalah demokrasi yang sarat permainan politik yang dimainkan para aktor politik untuk membajak kekuaasan.

Perkembangan selanjutnya, demokrasi dikuasai para makelar politik, pedagang demokrasi. Makelar politik, pedagang politik pada akhir melahirkan politisi busuk (politician decay). Para politisi busuk ini menjadikan partai politik dan institusi demokrasi (lembaga legislatif) sebagai arena deal-deal politik dengan struktur kekuasaan (lembaga eksekutif).

BACA LAGI : Antara Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substantive

Mereka saling mengunci, saling menjual pengaruh (trading influences) untuk mengakumulasi sumber-sember ekonomi dan politik untuk memperkuat basis pertahanan kekuasaan.

Teorisasi Prof Willian Case mengungkapkan bahwa proses demokrasi (Pilkada, Pileg, Pilpres) tidak hanya menjadikan hiruk-pikuk ritual demokrasi itu cuma sekadar melahirkan penguasa, tapi jauh lebih peng bahwa proses demokrasi itu memberikan pendidikan politik bagi warga negara (civic education) dan memiliki kecerdasan politik.

Kecerdasan politik menjadi penting karena jangan sampai warga terjebak pada pusaran pragmatisme politik dan stateless feeling yang membahayakan masa depan negara, demikan ungkapan Prof Willian Case.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen FISIP Uniska Banjarmasin

Direktur Center for Politics and Public Policy Studies, Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.