Sebuah Paradoks Indonesia dalam Catatan Kritis (1)

0

KETIMPANGAN ekonomi yang terjadi di Indonesia sangat terbuka jurangnya. Yang kaya tampak semakin kaya, bahkan kekayaan alam di negeri ini berdasar data yang ada, menyebutnya hanya segelintir orang. Inilah sebuah paradoks Indonesia yang harus kita sadari di negeri yang disebut kaya raya ini.

MASALAH ekonomi yang sepatutnya sumber-sumber kekayaan alam bisa dinikmati khalayak ramai, bisa jadi dikarenakan salah urus, atau faktor lainnya. Bayangkan saja, terjadi ketimpangan yang sangat besar di mana hanya 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan nasional.

Dengan data itu telah menggambarkan fakta bahwa satu persen atau sekitar 2,5 juta orang telah menguasai 40 persen kekayaan. Sisanya, 29 juta orang hidup miskin dan 68 juta terancam miskin, mengutip berbagai sumber data yang ada. Utang negeri ini semakin bertambah, sehingga satu kepala di Indonesia menanggung utang Rp 16 juta, dengan asumsi utang negeri ini dikisaran Rp 4.000 triliun hingga Rp 5.000 triliun.

BACA : Subhan : Pemimpin Harus Siap Menderita dan Paling Akhir Menikmati Keberhasilan

Sementara, pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita juga rendah hanya 3.300 Dolar Amerika Serikat, jauh Indonesia ditinggal negeri tetangga, Malaysia yang tercatat mencapai 9.700 Dolar AS dan Singapur sebesar USD 52.800. Tentu saja, jika Indonesia ingin masuk menjadi negara maju dan kuat, idealnya negeri ini memiliki PDB harus mencapai  USD 13.000 per tahun.

Dari segi pendidikan pun, Indonesia berdasar survei tahun 2015 masih berkualitas rendah bahkan berada di urutan 65 dari 73 negara. Ini artinya, 73,8 persen andak Indonesia berusia 15 tahun dinilai di bawah kemampuan standar dalam tes matematika dan sains internasional. Atau, peringkat kelima terburuk dari 82 negara yang mengikuti tes tersebut.

Bahkan, dari survei itu juga terdata 2 dari 3 ruang kelas rusak, yakni 74 persen bangunan SD, 71 persen bangunan SMP dan 54 bangunan SMA dalam kondisi rusak.

Dari sisi demokrasi atau politik, sangat tersirat bahwa dalam menjalankan demokrasi memerlukan biaya tinggi. Dampaknya untuk menjadi pemimpin atau elite membutuhkan modal besar, sehingga masalah kualitas tak diutamakan bahkan rendah. Walhasil, akhirnya yang berkuasa atau menguasai adalah para pemodal. Yang baik langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemimpin dan elit politik tersebut. Ini artinya, keputusan politik bisa memengaruhi yang menjadi Indonesia kaya atau miskin.

BACA JUGA : Meratus, Resistensi Publik dan Kutukan Sumber Daya Alam

Sepatutnya, kekayaan alam yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dan harus diolah dalam negeri. Dalam hal ini, sudah disepakati para pendiri negeri ini, terutama Bung Hatta agar koperasi dan BUMN menjadi ujung tombak dalam penguasaan ekonomi negeri. Faktanya, koperasi seperti mati suri dan gilanya lagi korupsi meraja lela.

Apa yang harus dilakukan, salah satunya adalah secara konstitusional untuk mengembalikan ke UUD 1945 yang asli. Yakni, menerapkan secara kuat dan konsisten pada Pasal 33 UUD 1945 dalam bagian penting atau utama untuk menjalankan negara ini adalah perekonomian sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Cabang produksi penting  bagi negara atau hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

BACA LAGI : Kalsel Itu Kaya Batubara, Tapi Faktanya Miskin Listrik

Untuk itu, ajakan bagi segenap komponen bangsa dan rakyat untuk berjuang membuat perubahan dan tidak boleh diam. Bahkan, harus tampil menjadi pejuang demokrasi, elite atau pemimpin berdokrin memimpin dengan keberpihakan kepada bangsa sendiri.

Untuk itu, jadilah seseorang yang dapat membuat hal-hal yang terjadi dalam kepemimpinan, bukan sekadar mereka yang melihat hal terjadi atau mereka yang hanya bisa menanyakan bagaimana itu bisa terjadi.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalsel

Pemerhati Sosial dan Politik, Tinggal di Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.