Gus Dur, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001 (bagian pertama)

0

DR AHMAD Suaedy mengatakan, buku GUS DUR, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, merupakan hasil disertasinya, menggali pemikiran dan aksi Gus Gur sepanjang 14 bulan atau kurang dari satu setengah tahun masa dia menjadi presiden.

PROFESOR Rhenald Kasali pernah mengungkapkan, ungkapnya, selama kurun waktu 14 bulan, ada lebih 10 kebijakan monumental yang dilakukan Gus Dur, mengalahkan pemerintahan yang 10 tahun tapi hanya melakukan tiga kebijakan monumental. Salah satu kebijakan monumental tersebut adalah merespons aspirasi dari eksponen separatis Aceh dan Papua.

“Gus Dur menggunakan pendekatan personal dan empati. Ia melibatkan hubungan pribadi, humanis dan dialogis,” ujar Ahmad Suaedy, memulai paparannya pada diskusi buku GUS DUR, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, di RRI Banjarmasin, Sabtu (6/4/2019), kerjasama FKUB Kalsel, LK3 Banjarmasin dan RRI Banjarmasin.

Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan di Mindanao, Filipina Selatan. “Saya pernah bertemu dengan para pemimpin tertinggi mereka dan para eksponen separatis di kedua wilayah itu. Mereka memberikan penghargaan sangat tinggi pada kepedulian Gus Dur atas nasib mereka,” lanjut Suaedy.

BACA : Sambut Tahun 2019, Aktivis NU Tekad Perjuangkan Ide Besar Gus Dur

Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antarnegara. Hal yang sama dilakukannya atas beberapa konflik di kawasan lain, seperti di Timur Tengah antas Palesitina dan Israel. Buku ini hanya membahas dua konflik vertikal separatis, yaitu di Papua dan Aceh.

Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal tersebut sebagai isu kewarganegaraan. Perinsif utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Orang menganggap bila semua warga negara setara, maka itu artinya sekuler.  Dan ketesetaraan itu memang sekuler, karena dia menempatkan semua orang setara. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil. Melakukan berbagai pertemuan. Membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.

Semula dua daerah tersebut menuntut merdeka, kemudian berubah menjadi otonomi khusus. Karena semua tuntutan yang diajukan oleh mereka, diakomodir, diberikan, kecuali kemerdekaan. Maka Gus Dur telah melakukan perdamaian yang permanen. Pertanyaannya, kenapa di Papua konflik masih terjadi? Dan di Aceh sendiri terjadi de demokratisasi.

BACA JUGA : Gus Dur Sebut Djohan Effendi bak Perpustakaan Berjalan

Hal tersebut karena Majelis Rakyat Papua, tidak berfungsi sebagaimana diharapkan, begitu juga dengan Majelis Permusyawaratan Ulama di Aceh, tidak berfungsi sebagaimana yang dibayangkan. Kalau lembaga-lembaga tersebut berfungsi, maka dia menjadi wadah mengakomodir berbagai kepentingan dan aspirasi, sehingga menjadi kebijakan yang sangat luas bagi kebebasan dalam otonomi khusus.

Soal Papua misalnya, dengan pendekatan personal yang begitu kuat, Gus Dur mengakomodasi penyebutan nama Papua. Sebelumnya, siapa saja yang menyebut Papua akan dianggap separatis. Pemerintah memberi nama Irian Jaya, sementara masyarakat inginnya Papua, karena Papua itulah nama yang sudah lama ada. Pengembalian nama Papua itu tanpa syarat, tanpa konsensus apapun, langsung saja dibolehkan untuk menyebut nama Papua. “Mereka bangga dengan Papua dan merasa setara, mereka merasa dimanusiakan setelah boleh menggunakan nama Papua,” ujar Ahmad Suaedy.

BACA LAGI : Berdoa dan Nyalakan Lilin, Aktivis Gusdurian Kalsel Kecam Aksi Teror Gereja

Sementara, Profesor Mujiburrahman mengawali paparannya dengan memuji hasil karya yang sudah dilakukan Ahmad Suaedy. Baginya, Suaedy adalah orang yang sangat dekat dengan Gus Dur. Sehari-hari bersama Gus Dur. Sangat paham Gus Dur, dan itu sudah dilakukan lama sekali, sejak kuliah, sejak masih di LKiS Yogyakarta,  hingga Gus Dur menjadi presiden dan meninggal dunia. Jadi Ahmad Suaedy adalah murid Gus Dur, karena itu wajar kalau menulis disertasi tentang Gus Dur.

Gus Dur, ujar Mujiburrahman, merupakan orang yang serba lengkap, selain sebagai politisi, karena mendirikan partai dan kemudian menjadi presiden, juga adalah pemikir. Bersamaan itu dia adalah aktivis. Dengan semua yang ada padanya, dia kemudian menjadi pemimpin. Dengan multitalen seperti itu, segala gagasan, pemikiran, dengan mudah diwujudkan menjadi kenyataan.

Apa yang ada pada Gus Dur, adalah kelanjutan dari para pemimpin pendiri bangsa. Mereka selain sebagai pemimpin, juga adalah pemikir. Kita bisa sebut Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain, adalah pemikir, penuh dengan gagasan besar. Dan mampu menurunkan gagasan yang besar tersebut dalam kebijakan, dalam tindakan operasional.  Biasanya pikiran itu lebih sempurna dari pada kenyataan. Ketika apa yang ada dalam pikiran, mampu diwujudkan menjadi kenyataan, maka itu sangat luar biasa.

Gus Dur mampu mempertemukan yang universal dengan yang partikular. Yang umum dengan yang khusus. Suatu nilai universal seperti hak asasi manusia, dipertemukan dengan yang bersifat lokal seperti hukum adat atau ketentuan lokal lainnya. Ada ilustrasi menarik disampaikan Gus Dur, bahwa yang universal itu seperti air hujan yang turun, ketika dia mengalir pada sungai-sungai, dan mengalir pada banyak anak sungai, maka yang mengalir pada sungai  itulah yang partikular.

Soal penyebutan Papua, sebelumnya pemerintah memberi nama Irian, padahal Irian itu artinya telanjang. Arti telanjang tersebut merendahkan mereka. Maka ketika dikembalikan menjadi Papua, Gus Dur memuliakan warga Papua. Ia melakukan politik pengakuan. Ini sebenarnya khas Kenedian.

BACA LAGI : Gus Muwafiq: Ingin Hancurkan Indonesia, Pertama Diserang adalah NU

Berbeda, mengakui perbedaan, dan menempatkan perbedaan itu secara setara. Pengakuan pada perbedaan ini merupakah paham individualistik, biasanya cenderung mengalahkan komunal. Namun Gus Dur mampu mengakomodir antara yang individual dengan yang komunal.  Komunitarian, juga sesuatu yang sangat kuat dan sering kali orang sulit keluar, melahirkan nepotisme.

“Gus Dur mengakomodir hak-hak komunal.  Demokrasi liberal, individualis, dipertemukan dengan yang komunal, ujar Mujiburrahman.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.