Pangeran Jaya Sumitra dan Resistensi Melawan Hegemoni Kolonial (1)

0

PADA 18 Maret 2019 lalu, Bupati Kotabaru H Sayed Jafar akhirnya mengesahkan perubahan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotabaru menjadi RSUD Pangeran Jaya Sumitra berdasar Surat Keputusan Nomor 060/463/SETDA. Perubahan nama rumah sakit dengan mengabadikan Raja Pulau Laut pertama ini mengindikasikan kepedulian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotabaru terhadap sejarah daerahnya.

NAMA Pangeran Jaya Sumitra memang tidak asing lagi bagi warga Kotabaru, khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya. Catatan sejarah dari tokoh yang satu ini cukup banyak dituliskan di puluhan website hingga beberapa buku referensi tentang Sejarah Lokal Banjar yang berhubungan dengan kerajaan-kerajaan di pesisir tenggara Borneo. Sayangnya, dari deretan tulisan itu banyak yang masih bias, kabur karena fondasi sumber yang meragukan.

BACA : ‘Menggugat’ Kiprah Pangeran Antasari di Kecamuk Perang Banjar

Oleh karena itu, perlu penulisan kembali tentang tokoh Pangeran Jaya Sumitra dengan landasan sumber- sumber sejarah yang valid. Tujuannya, mengungkap kembali tentang peran sosok berpengaruh di Pulau Laut ini. Sangat perlu untuk mengumpulkan keping keping sejarah tentang Pangeran Jaya Sumitra yang selama ini berserakan.

Penulisan sejarah objektif mengenai sosok Pangeran Jaya Sumitra yang selama ini menjadi kontroversi memang urgen. Di antaranya mengenai asal usul Pangeran Jaya Sumitra. Kemudian kurun waktu migrasi (perpindahan) ke dari Kusan ke Pulau Laut serta mengungkap peristiwa yang menjadi latarnya.

Keberadaan Pangeran Jaya Sumitra sebagai raja pertama Pulau Laut, juga tidak dapat terlepas dari embrio kerajaan sebelumnya yakni Kerajaan Kusan. Sekarang berlokasi di wilayah Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu. Berdasar perbandingan beberapa sumber literatur tertulis lokal dan Hindia Belanda, mulai karya Schwaner hingga tulisan Beeckman dan Nagtegaal. Mulai makalah penulis lokal Sulaiman Nadjam hingga silsilah koleksi keturunan raja-raja Pulau Laut.

BACA JUGA : Tokoh Sentral Perang Banjar, Pangeran Hidayat dan Tipu Muslihat Belanda

Secara garis besar, urutan raja-raja Kusan sampai terbentuknya Kerajaan Pulau Laut dimulai sejak Raja Kusan I, Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah tahun 1785-1789. Kemudian disusul Raja Kusan II, Pangeran Aji Musa bin Pangeran Aji Muhammad sebagai Raja Kusan yang juga merangkap Raja Bangkalaan dan Batulicin (1830-1840).

Schwaner mengungkapkan Pangeran Haji Musa meninggal pada Januari 1840. Dilanjutkan putranya sebagai Raja Kusan III, Pangeran Muhammad Nafis bin Pangeran Haji Musa (1840-1845). Nafis didampingi Mangkubumi Gusti Jamaluddin. Pemerintahannya berkedudukan di Kusan.

Pada kurun waktu pemerintahan Pangeran Muhammad Nafis bin Pangeran Aji Musa tersebut, terdapat perubahan wilayah kekuasaan. Nafis selain membawahi wilayah Kerajaan Kusan, juga wilayah Batulicin dan Pulau Laut.

Berikutnya, setelah Pangeran Muhammad Nafis meninggal, maka Kerajaan Kusan diperintah saudaranya sebagai Raja Kusan IV, Pangeran Jaya Sumitra bin Pangeran Aji Musa (sejak 1845). Bertindak sebagai mangkubumi adalah Pangeran Abdul Kadir, masih berkedudukan di Negeri Kusan. Tidak lama menjabat sebagai Raja Kusan, pada kurun waktu tahun yang sama yakni tahun 1845, Pangeran Jaya Sumitra kemudian pindahatau bermigrasi ke Kampung Salino di Pulau Laut dan mendirikan Kerajaan Pulau Laut.

BACA LAGI : Politik Belah Bambu Snouck dalam Perang Banjar

Wajar bila, Pangeran Jaya Sumitra pun ditahbiskan menjadi Raja Pulau Laut pertama. Sejak kepindahan Pangeran Jaya Sumitra ke wilayah Pulau Laut, maka Kusan selanjutnya diperintah Raja Kusan V sejak 10 April 1845-1861, yakni Pangeran Abdul Kadir bin Pangeran Haji Musa.

Jadi pendapat mengenai keberadaan Pangeran Jaya Sumitra adalah putra Pangeran M Nafis, seperti yang tercantum di Makam Raja-Raja Sigam Kotabaru, perlu dikoreksi. Bukan menjustifikasi sebagai hal yang salah, akan tetapi semua fakta sejarah yang bersumber dari sumber Kolonial maupun silsilah, menunjukkan bahwa Pangeran Jaya Sumitra adalah putra Pangeran Haji Musa, bukan putra M Nafis. Sementara, M Nafis sendiri adalah saudara Pangeran Jaya Sumitra.

Sebagai perbandingan tulisan Schwaner, “Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe” (1853). Dalam ejaan aslinya, Schwaner menuliskan secara genealogis, Pangeran Djaya Sumitra adalah putra dari Pangerans Hadji Moesa (Pangeran Haji Musa), Raja Kusan Kedua. Pangeran Hadji Moesa memiliki putra sebanyak lima orang. Adapun kelima putranya yakni Pangerans Djaja Samitra (Pangeran Jaya Sumitra), Mohamad Napis (Muhammad Nafis), Pangerans Pandji (Pangeran Panji), Pangerans Ab’doel Kadir (Pangeran Abdul Kadir) dan Goesti Djamaloedin (Gusti Djamaluddin).

Lalu, kapan dan bagaimana latar belakang Pangeran Jaya Sumitrapindah dari kerajaan Kusan ke Pulau Laut? Dapat ditelusuri kembali pendapat Bleckmann, bahwa embrio dari pemerintahan Kerajaan di Pulau Laut mulai muncul sejak pemerintahan Raja Kusan keempat, Pangeran Jaya Sumitra, antara tahun 1845-1850. Dalam kurun waktu tersebut, Pangeran Jaya Sumitra pindah dari Kusan ke Salino, di Pulau Laut.

BACA LAGI : Hormati Raja I Pulau Laut, RSUD Kotabaru Berganti Nama Pangeran Jaya Sumitra

Pada versi lain, sejarawan lokal Kotabaru Sulaiman Nadjam dalam makalahnya berpendapat, Pangeran Jaya Sumitra menjadi Raja Pulau Laut pertama pada tahun 1850-1861. Wilayah kerajaan ini terdiri atas Pulau Laut dan Pulau Sebuku, di lepas pantai bagian tenggara Pulau Kalimantan.

Antara tahun 1859-1861 ditandai deretan peristiwa meningkatnya eskalasi Perang Banjar. Saat meletusnya Perang Banjar di bawah kepemimpinan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari berhasil menggalang kekuatan dengan pemuka-pemuka masyarakat di wilayah kedaulatan Kerajaan Banjar yang akan menentang Belanda. Alasannya, Belanda telah merusak dan menginjak-injak aturan tata cara dan kehormatan Sultan Banjar.

Seruan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari untuk berperang melawan kolonial Belanda, didengar dan dipatuhi hampir seluruh lapisan masyarakat Banjar. Mulai rakyat jelata hingga bangsawan. Termasuk Pangeran Jaya Sumitra dan adiknya, Pangeran Abdul Kadir yang mendukung seruan Pangeran Antasari. Mereka pun mulai berjuang dalam senyap, atau dengan kata lain melakukan resistensi, perlawanan diam diam membantu pejuang Banjar.

Dukungan ini sebenarnya dilatarbelakangi peristiwa sebelumnya yakni kebencian terhadap pemerintah kolonial Belanda yang telah menahan ayah mereka, Pangeran Haji Musa yang meninggal di dalam tahanan pemerintah kolonial di Batavia.

BACA LAGI : Sultan Suriansyah Diyakini Bagian dari Kekhalifahan Utsmaniyah

Dalam Laporan Politik Hindia Belanda, dituliskan juga bahwa saudara mereka Pengaran Panji yang juga meninggal di Batavia. Selain itu, kakak tertua dari trah Pangeran Haji Musa, Pangeran M Nafis sempat ditahan di Batavia selama satu tahun (tahun 1840) sebelum kembali ke Kusan (tahun 1841). Rentetan peristiwa inilah yang akhirnya menimbulkan resistensi bagi keturunan Trah Pangeran Haji Musa melawan Belanda. Memang tidak secara langsung, tetapi paling tidak dengan diam diam membantu pejuang Banjar melawan kolonialis.

Pangeran Jaya Sumitra dan saudaranya Pangeran Abdul Kadir lalu melindungi pasukan pasukan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari untuk bersembunyi di wilayah Kusan.

Selain itu membantu Pasukan Perang Banjar menyelundupkan senjata api melalui wilayah Kusan. Sayang, dukungan Pengeran Jaya Sumitra dan asiknya, Pangeran Abdul Kadir terhadap Pangeran Antasari tercium oleh mata mata Belanda. Untuk menghindari penangkapan Belanda terhadap dirinya maka Pangeran Jaya Sumitra dan Keluarga pindah ke Kampung Salino, wilayah Pulau Laut. Pada gilirannya di wilayah ini Pangeran Jaya Sumitra mendirikan Kerajaan Pulau Laut.

Pada masa Perang Banjar, menurut van Rees, beberapa informasi dari mata-mata Belanda juga menyebutkan bahwa Pangeran Hidayatullah berada di wilayah Apoei atau di Tomoeny (Tamuni) di perbatasan wilayah Kusan. Wilayah ini merupakan wilayah Kekuasaan Pangeran Jaya Sumitra sewaktu menjabat raja keempat di Kusan.

Kemudian van Rees juga menuliskan terdapat informasi lainnya yang mengungkapkan bahwa Hidayatullah berada di daerah Datar Blimbing atau di Datar Laga di wilayah perbatasan Tjantong (Cantung). Informasi lainnya lagi bahwa Hidayatullah bersembunyi di wilayah Passir (Kerajaan Pasir). Informasi keberadaannya terus berubah-ubah.

BACA LAGI : Keberanian Tumenggung Jalil yang Menciutkan Nyali Belanda

Berdasarkan informasi kedua versi tersebut, mengenai masalah  kepindahan/migrasi Pangeran Jaya Sumitra ke Pulau Laut, dapat ditarik benang merah sementara, bahwa kemungkinan terjadi antara tahun 1845-1861. Setelah berpindahnya Pangeran Jaya Sumitra ke Pulau Laut, ibukota Kerajaan Pulau Laut pun kemudian dipindahkan dari Kusan ke wilayah Salinoe/Salino.

Pemilihan wilayah Salino ini karena lokasi inilah yang paling dekat dengan wilayah Kusan. Cukup menyeberang setelah sebelumnya menyusuri sungai mulai Kusan Hulu hingga Kusan Hilir. Muaranya adalah Muara Pagatan yang berseberangan dengan wilayah Salino.

Lalu, siapa ibu dari Pangeran Jaya Sumitra? Bagaimana hubungannya dengan trah Kesultanan Banjar di Martapura? Bagaimana peristiwa Pangeran Jaya Sumitra turun tahta serta kedudukannya sebagai sekretaris dari Sultan Adam? Akan dibahas pada tulisan berikutnya. (jejakrekam.com/bersambung)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.