UN Terus Bertransformasi, Dr Jarkawi : Tepat Jika Tak Lagi Jadi Standar Kelulusan Siswa

0

DULUNYA ujian nasional (UN) hanya berbasis kertas (paper based test). Artinya soal ditulis di kertas kemudian dijawab peserta ujian di atas kertas. Di era Orde Lama dan Orde Baru, dikenal dengan Ujian Penghabisan (UP) berlaku pada 1950-1960-an dan berubah menjadi Ujian Negara (UN) pada 1965-1972.

SEIRING waktu, ujian yang harus diikuti siswa kelas akhir baik SD, SMP dan SMA sederajat terus bertranformasi. Memasuki awal 1970-an, sekitar 1972 hingga 1979, dikenalkan lagi Ujian Sekolah (US), lalu berganti menteri berganti pula sistem pendidikan hingga dikenal dengan istilah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang dipaki pada 1980-2000.

Transformasi terus terjadi di sistem pendidikan, Ebtanas diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN), ketika Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengambil alih pembuatan soal ujian pada 2001-2004. Standar kelulusan pun dipatok bagi siswa harus meraih nilai minimal 3,01 dari setiap mata pelajaran. Nilai rata-rata keseluruhan minimal 6.0. Siswa dinyatakan lulus, apabila meraih nilai minimal 4.01 dari setiap mata pelajaran pada 2004.

BACA : UNBK Hari Pertama, Novia Indriyani Merasa Gugup Jawab Soal

Istilah UAN yang awalnya populer diganti lagi dengan Ujian Nasional (UN) pada 2005. Standar kelulusan minimal meraih nilai 4,25 pada setiap mata pelajaran, bagi yang tidak lulus bisa mengikuti UN ulangan. Grade nilai pun dinaikkan pada 2006, miminal 4,50 dari setiap mata pelajaran dan selanjutnya pada 2007, diberlakukan dua kriteria penilaian, naik menjadi minimal 5,00. Sistem ini pun berlaku hingga UN 2010 yang memberlakukan passing grade minimal 5,50.

Diperkenalkan pada 2014, UN pun berganti menjadi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), meski ada beberapa sekolah masih menerapkan paper based test (PBT) atau ujian masih menggunakan kertas dan pensil. Kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Peraturan Mendikbud Nomor 144 tahun 2014 pada Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pelaksanaan UN SMA/MA dan SMK dapat dilakukan melalui ujian berbasis kertas (Paper Based Test) dan/atau ujian berbasis komputer (Computer Based Test)”. UNBK pun diyakini menjadi instrument penilaian yang jauh dari kecurangan, terutama menekan siswa untuk saling contek menyontek saat ujian berlangsung.

BACA JUGA : Disdik Banjarmasin Pastikan SMP Sederajat 100 Persen UNBK

Pengamat pendidikan Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjary (MAB) Dr Jarkawi mengakui instrumen ujian nasional atau UN, dengan model berbasis komputer sekarang masih diperlukan dalam mengukur mutu pendidikan nasional.

“Dengan mengetahui mutu pendidikan secara nasional kita dapat mengambil evaluasi pendidikan kita yang mana saja yang perlu dibenahi, ” kata Jarkawi kepada jejakrekam.com, di Banjarmasin, Senin (1/4/2019).

Menurut dia, evaluasi pendidikan bisa meliputi kualitas sumber daya manusia (SDM) pendidik, proses pembelajaran, fasilitas pendidikan hingga kurikulum yang diterapkan.

“Pendidikan kita memang masih banyak yang perlu dibenahi seperti sistem pendidikan dan SDM yang harus merespon perkembangan zaman hingga kurikulum pendidikan, ” ucap Wakil Rektor I Uniska MAB ini.

BACA LAGI : Benturan dengan Pemilu 2019, UNBK SMA Sederajat Dimajukan 1 April

Jarkawi menyebut sukar menentukan kualitas pendidikan secara nasional bila UN tidak lagi diterapkan. “Jadi, sudah tepat ketika kebijakan pemerintah yang tidak menjadikan hasil ujian nasional sebagai syarat ketentuan kelulusan siswa,” ucapnya.

Sebab, menurut Jarkawi, aspek kepribadian itu tidak bisa diukur melalui UN, sebab yang paling tahu kepribadian peserta didik itu adalah guru atau pendidik. “Makanya, sekolah yang menentukan peserta didik lulus atau tidak. Sedangkan UN bukan menjadi syarat kelulusan, ” tandas Jarkawi.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.