Jalan Terjal OSO (Caleg DPD) di Pemilu Serentak Dihadang KPU

0

RUNTUHNYA rezim Orde Baru yang ditandai dengan lahirnya gerakan Reformasi yang meletus pada tahun 1998 telah melahirkan perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan. Perubahan mendasar tersebut ditempuh melalui Amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan secara bertahap pada tahun 1999-2002.

DALAM dinamika pergulatan politik kala itu, salah satunya telah melahirkan Lembaga Negara DPD sebagai representasi daerah yang berasal dari perseorangan non-partisan(Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945) dan dipilih pertama kali secara demokratis melalui pemilu pada tahun 2004 sebagai upaya konkrit menggantikan keberadaan Utusan-Utusan Daerah dalam rezim Orde Baru.

Pemilu sebagai anak kandung dari demokrasi menjadi pesta wajib 5 tahunandalam konteks alam demokrasi keindonesiaan, kendati dalam beberapa negara jangka waktu pelaksanaan pemilu tersebut berbeda-beda. Tak terkecuali bagi Indonesia sebagai negara yang menisbatkan diri negara demokrasi, pemilu menjadi kausal wajib bagi rakyat pemegang daulat rakyat untuk menentukan nasib 5 tahun kedepansebagaimana paham demokrasi kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.

BACA : Hesly Junianto: Seharusnya Anggota DPD RI Jangan Bisanya Hanya 4D

Dalam historikal pemilu di Indonesia yang dilaksanakan pertama kali pada tahun 1955kala itu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante serta dilaksanakan kembali pada 17 April 2019 mendatang menjadi pengalaman pertama pelaksanaan pemilu serentak sebagaimana yang diamanatkan oleh MK sebagai the guardian of constitution (mengawal konstitusi) melalui PutusanNo 14/PUU-XI/2013 guna melaksanakan perintah Pasal 22E ayat (2) perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.

Tak terkecuali dengan pemilu anggota DPD yang merupakan bagian dari rezim pemilu. Di tengah perjalanan DPD dalam melaksanakan aspirasi daerah ternyata diingkari oleh sebanyak 53 anggota DPD periode 2014-2019 yang ikut bergabung/berafiliasidengan partai politik (Indonesian Parliamentary Center, 23/3/2018).

Hal tersebut justru mereduksi original intent keberadaan DPD untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang berkaitan dengan daerah (Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III Lembaga Pemusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, 2010).

Adanya fenomena sejumlah anggota DPD yang ikut bergabung dalam kendaraan politik tersebut membuat Muhammad Hafiz mengajukan permohonan judicial reviewke MK terkait Pasal 182 huruf lUU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, frase “pekerjaan lain” dalam syarat pencalonan anggota DPD yang dianggap pemohon telah merugikan hak konstitusional pemohon dan mereduksi asbabun nuzul  dari dilahirkannya Lembaga Negara DPD sebagai representasi daerah tanpa anasir-anasir partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (4) perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.

BACA JUGA : Adhariani : Tanpa Amandemen UUD 1945, Posisi DPD Hanya Ban Serep DPR RI

Kendati MK dalam amar putusannya No. 30/PUU-XVI/2018telah menyatakan frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangandengan UUD NRI Tahun 1945dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.

Akan tetapi peran MK sebagai the soleinterpreter of constitution (penafsir konstitusi) tersebut dalam perjalanannnya telah dinegasi oleh MA melalui putusan Nomor 65P/HUM/2018 yang dimohonkanjudicial review oleh Oso (Oesman Sapta Odang) selaku Ketua Umum Partai Hanura yang keberatan atas Pasal 60A PKPU No. 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD, yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan norma Pasal 182 huruf  l Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu terkait frase “pekerjaan lain” yang telah dianulir MK.

BACA LAGI : Tiga Kali Terpilih DPD RI, Sofwat Hadi Tak Risau Persaingan Makin Berat

Menarik untuk dicermati ratio decidendi (pertimbangan hukum) MA yang menyatakan putusan MK bersifat prospektif sehingga tidak berlaku untuk pemilu serentak 2019 yang tahapannya sedang berjalan, akan tetapi berlaku untuk pemilu serentak tahun 2024. Tentunya ratio decidendi (pertimbangan hukum) tersebut tidak tepat untuk dibenarkan secara substansial dalam logika konstitusi apabila merujuk interpretasi historis dari lahirnya Lembaga Negara DPD sebagai salah satu kamar Lembaga Perwakilan dalam struktur ketatanegaraan UUD NRI Tahun 1945 guna meng-checks and balances Lembaga Negara DPR yang merupakan perwakilan partai politik.

Adanya putusan MA tersebut dan diperkuat dengan putusan PTUN Jakarta melalui Putusan No 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT yang membatalkan dan mencabut Keputusan KPU No 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/XI/2018 serta putusan Bawaslu yang menyatakan Oso (Oesman Sapta Odang) tetap sah sebagai Caleg DPD akan tetapi apabila kemudian terpilih diwajibkan untuk mundur dari pengurusan Partai Politik Hanura.

BACA LAGI : Apakah Pemilu 2019 Panggung Politik bagi Generasi Muda?

Berdasarkan penalaran yang wajar dapat dimaknai putusan Bawaslu tersebut merupakan upaya untuk mengkompromikan putusan MK, MA dan PTUN yang justru mereduksi asas kepastian dan asas keadilan dalam berhukum serta bertentangan dengan original intent dibentuknya DPD sebagai representasi daerah.

Pada akhirnya putusan MA dan PTUN tersebut semakin memperkuat legitimasi Oso (Oesman Sapta Odang) dalam upaya mengintervensikeberadaan DPD dalam UUD NRI Tahun 1945 secara legal dan memperkeruh gaungan kampus yang mendengungkan permunian DPD.

Kendati demikian, dalam kasus ini KPU sebagai salah satu komisi penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 patut mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya sebagai Lembaga Negara Independen yang patuh terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melaksanakan putusan MK guna melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan mengambil peran dalam pemurnian kelembagaan DPD sebagai representasi daerah dalam pagelaran pemilu serentak 2019 pada 17 april mendatang.

Problem judicial review di Indonesia.

Adanya disparatis putusan dalam konteks judicial review yang dilakukan MK dan MA terkait kasus Oso diatas bukan kali pertama terjadi.Contoh konkrit, dalam hukum kepemiluan putusan MA No. 30P/HUM/2018yang dimohonkan judicial review oleh Lucianty, amar putusannya menyatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 terkait larangan mantan narapidana korupsi dilarang menjadi caleg legislatif bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan bertentangan putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016.

BACA LAGI : Ketua KNPI Kalsel: Pemuda Banua Jangan Lagi Jadi Objek Politik

Putusan MA tersebut apabila dicermati tidak sejalan denganputusan MK No. 93/PUU-XV/2017 yang dimohonkan judicial review olehAbda Khair Mufti dkk, waktu itu MK dalam amar putusannyamenyatakan Pasal 55 UU No. 8 Tahun 2011 Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi “..Ditunda pemeriksaannya apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan Mahkamah Konstitusi’.

Berdasarkan penalaran yang wajar semestinya MA dalam tempus delicti wajib untukmenunda memeriksa dan memutus Permohonan Judicial Review No 30P/HUM/2018 berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017.Mengingat pada waktu bersamaan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang merupakan batu uji Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 di MA sedang diuji di MK terkait syarat ambang batas pencalonan calon Presiden dan calon Wakil Presiden oleh Muhammad Busyro Muqoddas dkk melalui putusan MK No.49/PUU-XVI/2018.

Solusi judicial review

Diperlukan adanya purifikasi sistem judicial review (pengujian peraturan perundang-undangan) yang mengarah satu atap pada kelembagaan di MK dengan mengamputasi wewenang MA melakukan judicial review sebagai bentuk court of law untuk MK dan court of justice untuk MA.

Sehingga ke depan disparatis putusan judicial review itu sendiri tidak lagi merugikan para pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian hukum. Lebih dari itu, dengan meletakan penuh judicial review dibawah kewenangan MK akan mempertegas kedudukan MK sebagai the guardian of constitution dan the sole interpreter of constitution sebagai hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salam Konstitusi, Salam Pemilu. (jejakrekam)

Penulis Mahasiswa S2 Program Konsentrasi Hukum Tata Negara, Universitas Lambung Mangkurat

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.