Anyaman Margasari dan Puak Kerajaan Negara Dipa

0

SIAPA yang tak kenal dengan kerajinan khas Margasari asal Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan? Lewat tangan-tangan terampil penduduk yang dulu pusat wilayah Kerajaan Negara Dipa berlanjut ke Kerajaan Negara Daha, dan menjadi District Margasari era kolonial Belanda ini, namanya seakan abadi dan identik dengan kerajinan tangannya.

ANYAMANAN  Margasari begitu biasa disebut. Sebuah wilayah yang kini dipecah menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Candi Laras Utara (Margasari Hulu) dan Candi Laras Selatan (Margasari Hilir). Yang kesohor adalah anyaman dari jangang, tumbuhan merambat yang ada di rimba Kalimantan, dibikin kupiah jangang dengan berbagai model. Lalu, kerajinan rotan dibikin aneka perabot rumah tangga.

Lalu, ada pula kerajinan purun untuk pembuatan tikar, bakul, kampil, tas dan topi. Kekinian, warga Margasari pun membidik eceng gondok atau ilung dibuat karya tangan layaknya berbahan purun.

BACA : Kota Para Pengembara, Rantau Layak Berjuluk Kota Sangga Auliya

Sejarawan UIN Antasari Banjarmasin Humaidy pun berpendapat jika ditilik dari dua kosa kata, Margasari, mengandung makna cukup dalam. Marga berarti berarti tempat kepunyaan, sedangkan sari kependekan dari Raja Sari Kaburangan, sang pendiri Kerajaan Negara Daha. Berdiri pada kisaran tahun 1478-1526 walau ada versi lain menyebutkan jauh ke belakang dari periode ini, yang menjadi cikal bakal Kesultanan Banjar sebagai kelanjutan kerajaan bercorak Islam di bawah pimpinan raja pertama, Sultan Suriansyah atau Pangeran Samudera.

“Mengapa demikian? Karena Raja Sari Kaburangan menjadikan wilayah ini sebagai tempat suci, dengan adanya Candi Laras yang sudah lama berdiri. Diperkirakan sekitar tahun 1300-an. Sementara sang raja berkuasa diperkirakan pada tahun 1448-1486,” ucap Humaidy kepada jejakrekam.com, Minggu (25/3/2019).

Menurut Humaidy, para ahli dan sejarawan berbeda pendapat soal pendirian Candi Laras. Sebagian menyebut didirikan oleh imigran Melayu dari Malaka yang beragama Budha. Ada pula yang  berpendapat imigran Melayu dan beragama Buddha, namun berasal dari Sumatera, tepatnay Palembang. Para imigran asal Tanah Melayu ini dikomando Jimutawahana keturunan Dapunta Hyang, rakyat Kerajaan Sriwijaya.

BACA JUGA : Bukan Mitos, Kerajaan Negara Dipa Dibangun Bangsawan Tanah Jawa

“Sedangkan, pendapat lain menyebutkan Candi Laras merupakan peninggalan Kerajaan Tanjungpuri dan dilanjutkan Kerajaan Kahuripan yang menjadikan ajaran sang Buddha sebagai agama resmi kerajaan,” tutur budayawan Kalsel ini.

Versi lainnya diungkapkan Humaidy, para sejarawan berpendapat Candi Laras dibangun Kerajaan Negara Dipa, diteruskan Kerajaan Negara Daha yang menganut agama Hindu.

Diakui Humaidy, perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah dan arkeolog itu karena punya argument dan bukti yang kuat. Ini ditandainya dengan ditemukannya Arca Budha Dipankara, Potongan Batu Bertulis Siddha dalam aksara Pallawa dan Batu Babi (peninggalan Buddha) di wilayah Margasari.

“Namun, ada pula Arca Batara Guru Memegang Cupu, Lingga dan Lembu Nandini sebuah peninggalan Hindu. Atas dasar itu, para sejawaran pun mengambil kesimpulan Candi Laras adalah candi Syiwa-Budha. Ini sejalan dengan pendapat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) soal agama Bairawa, sinkretisme Hindu dengan Buddha,” tutur peneliti senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini.

BACA LAGI :  Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (2)

Namun, Humaidy tetap berpendapat bahwa Margasari dengan Candi Laras-nya telah diabadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten Tapin. Anyaman Margasari pun sangat erat dengan ciri khas daerah di tepian Sungai Negara tersebut.

Hal ini dipertahankan di era kolonial Belanda dengan menamakan kawasan ini sebagai Distrik Margasari atau Margasarie, yang menjadi merupakan salah satu distrik dari lima distrik di bawah Afdeeling Martapura, usai penghapusan secara sepihak Kesultanan Banjar pada 1860.

Di era Hindia Belanda, Distrik Margasari juga tergabung dalam wilayah Orderafdeeling Benua Empat, meski masih di bawah Afdeeling Martapura.

Ketika menjadi Distrik Margasari, seperti dikutip dari Wikipedia dan Landsdrukkerij diterbitkan di Batavia, Belanda pun mengangkat pribumi sebagai pemimpin dengan sebutan Kepala Distrik (Districtshoofd) atau Demang dibantu Penghulu, yakni pada 1861 Kiai Djaja di Poeral dan Haji Mohammad Chalil.

Berlanjut pada 1862, sebagai Kepala Distrik Kiai Sari Kodaton dengan Penghulu Bilal Abdul Wahab. Pada periode 1863, Doehoesien bersama Hadji Abdul Wahit, hingga masa 1863-1868, Kia Demang Wira Joeda dan Hajie Abdoel Wahit digantikan Hadji Ahmad sebagai penghulu. Terakhir, pada 1899, Kasido, berdasar dokumen Belanda itu.

BACA LAGI :  Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (1)

Masih menurut Humaidy, tak mengherankan jika Orang Margasari merupakan Puak Candi Laras atau Negara Dipa 1. Namun, sebagai bekas wilayah kerajaan, tentu penduduknya sangat terampil dengan berbagai kerajinan tangan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

“Ada dugaan, mereka adalah manusia terampil yang didatangkan Raja Sari Kaburangan dari Jawa, sebagaimana orang-orang Negara (kini masuk Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Ada pula, orang-orang terampil dari Melayu Sriwijaya yang dibawa Jimutawahana saat membangun sebuah candi,” tutur Humaidy.

Namun yang pasti, ditegaskan Humaidy, semua kerajinan tangan dari olahan orang-orang Margasari tak hanya diminati di tingkat lokal di Kalsel, terutama pasar sentra kerajinan seperti Banjarmasin, Martapura dan Amuntai.

BACA LAGI : Islamisasi Tanah Banjar dan Gagalnya Raden Sekar Sungsang Dirikan Kerajaan Islam

“Justru produk orang-orang Margasari ini menembus pasar regional, nasional dan internasional. Buktinya, produk kerajinan yang ada di Palangka Raya, Samarinda, Pontianak hingga Surabaya, Bali, Jakarta dan kota-kota besar lainnya berasal dari Margasari. Bahkan, diekspor ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam hingga Arab Saudi, dan negara lainnya,” imbuh Humaidy.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/03/24/anyaman-margasari-dan-puak-kerajaan-negara-dipa/,Kerajaan Margasari,khas margasari hilir
Penulis Didi GS
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.