Ketika Suara Rakyat Tidak Lagi Suara Tuhan

0

PEMILIHAN UMUM merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu diharapkan menjadi pemerintahan yang mendapat legitimasi yang kuat dan amanah dari rakyat untuk rakyat.

DALAM Undang-Undang Nomor 7 Tahun2017 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diamanatkan harus dilaksanakan secara efektif, efesien berdasarkan asas langsung umum, bebas, rahasia dan adil.

Semangat pemilu dapat terwujud apabila seluruh komponen bangsa saling bahu-membahu mendukung pelaksanaan pemilu sesuai aturan perundang-undangan dan penghormatan hak-hak politik setiap warga negara.

Upaya memperbaiki kualitas pelaksanaan pemilu merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif dan efisien dan diharapkan mampu membawa perubahan ke arah lebih baik lagi bangsa ini ke depan.

BACA : Pesan Baliho Caleg di Antara Empat Tipe Pemilih Pemilu

Suksesnya pemilu tentunya, bukan hanya bersandar pada integritas penyelenggaraan pemilu dan peserta pemilu semata. Namun, harus didukung pula oleh seluruh pemangku kepentingan pemilu demi terciptanya sinergitas yang kuat dan saling berkesinambungan.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilu di tanah air dewasa ini adalah menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Kondisi itu setidaknya dapat tergambar  dari pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) sebelumnya.

Berdasarkan catatan,  secara nasional Pemilu Legislatif 1999 dengan tingkat partisipasi politik masyarakat mencapai 92,74 persen. Kemudian, Pemilu 2004 dengan 84,07 persen, dan Pemilu 2009 dengan tingkat partisipasi masyarakat sebesar 71 persen, sedangkan pada Pemilu 2014 lalu tercatat  75,11 persen.

BACA JUGA : Fenomena Para Caleg Parpol Minim Promosikan Capres-Cawapres

Fenomena menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu itu setidaknya juga tergambar dari pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut data, angka partisipasi politik masyarakat dalam pilkada berkisar antara 50-70 persen. Sinergitas dari seluruh pemangku kepentingan pemilu sangat diharapkan. Terutama, dalam rangka memberikan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat tentang arti pentingnya pemilu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terkait pelaksanaan Pemilu Legislatif  2019 yang  digelar bersamaan dengan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Rabu 17 April 2019 bulan depan,  kita  tentu semua berharap partisipasi politik masyarakat akan tetap tinggi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Namun tantangan yang kini perlu dipecahkan adalah, terkait kesadaran politik masyarakat menuju terbentuknya pemilih yang cerdas. Betapa tidak, karena melalui pemilih cerdas diharapkan akan terpilih pula wakil-wakil rakyat yang berintegritas,  berkualitas tinggi,  jujur dan bermoral, bukan sebaliknya  wakil rakyat yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan.  Apalagi sampai memperkaya diri sendiri dengan melakukan perbuatan korupsi uang rakyat.

BACA LAGI : Koordinator TePI Lihat Kini Parpol Justru Takut Angkat Isu Anti Korupsi

Pemilu 2019 tinggal tiga bulan sembilan hari lagi. Sementara tantangan lain menyosong pesta demokrasi itu isu money politic atau politik uang dipastikan tetap dominan. Kondisi itu salah satunya terjadi karena sistem suara terbanyak.

Nah, karena rakyatlah yang memilih, tentunya bagi caleg yang punya duit banyak ia bisa ‘membeli’ suara rakyat. Sedangkan, sebagian rakyat sendiri menjadikan pemilu bukannya untuk perbaikan bangsa ini ke depan, tapi akibat pemikiran yang sempit dan dangkal ditambah faktor kemiskinan mereka sangat membutuhkan uang.

Pengaruh uang memang memiliki fungsi ganda. Betapa tidak, karena dengan uang seseorang tidak hanya sekedar  bisa mencapai tujuan, tapi juga salah satu kekuatan politik yang sangat efektif menghantarkan seseorang meraih ambisinya untuk memperoleh kedudukan atau kekuasaan.

Caranya adalah dengan uang seseorang bisa menukar atau membeli suara rakyat. Bahkan saking dasyatnya politik uang seseorang bisa merubah dan memanipulasi hati nurani atau pilihan masyarakat yang sesungguhnya.  Padahal, dalam pesta demokrasi suara rakyat pada hakekatnya adalah perwujudan Suara Tuhan.

Pertanyaan sekarang adalah, masihkah suara rakyat yang bisa dibeli  dan sesungguhnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu disebut sebagai suara tuhan?

BACA LAGI : Ketika Partai Politik dalam Pusaran Lingkaran Setan Korupsi

Sulitnya dalam melakukan pengawasan politik uang serta adanya kekurangan serta  lemahnya sistem undang-undang tampaknya memang tidaklah mudah untuk mewujudkan pemilu di Indonesia, bersih, ujur dan adil.

Terkecuali, jika seluruh calon anggota legislatif  memiliki komitmen dan menyadari bahwa politik uang adalah perbuatan dosa. Sebaliknya, rakyat sendiri mestinya juga menolak jika diiming-imingi uang.

Sikap sama-sama tidak memberi dan menerima politik uang itu,  jika kita memang menginginkan calon anggota dewan, tidak terkecuali  calon kepala pemerintahan yang dipilih pada pemilukada  hingga pemilihan presiden berkualitas, amanah, jujur dan hanya mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala-galanya dan diharapkan membawa perubahan bangsa ini ke depan.(jejakrekam)

Penulis adalah Wartawan Senior di Banjarmasin

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.