Budaya Literasi; Antara Buku dan Minat Baca Masyarakat Banjar

0

LITERASI tak sekadar membaca dan menulis, juga memahami isi, termasuk memahami media sosial dan tekhnologi informasi. Substansi literasi, kemampuan membaca dan memahami. Agar peka pada perubahan. Seberapa penting literasi? Seperti apa budaya literasi kita? Bagaimana cara memajukannya?

SEDIKIT yang gemar membaca. Orang yang gemar membaca, biasanya gemar pula mengoleksi buku. Kalau kita lihat di rumah-rumah kita, jarang kita lihat orang memiliki koleksi buku. Bahkan sebagian besar tidak memilik koleksi buku.

“Padahal dulu orang suka membeli buku. Di rumah orang Banjar selalu ada buku, minimal Alquran sebagai buku bacaan, selebihnya biasanya buku-buku petujuk praktis sesuai minat orang,” ujar budayawan Banjar, Hajriansyah mengawali paparannya dalam program acara Palindangan Noorhalis yang diasuh Noorhalis Majid, Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel, saat ditanya soal bagaimana kondisi budaya literasi di tengah masyarakat Banjar, Kamis (21/3/2019).

BACA : Melawan Hoaks, Prodi Ilmu Komunikasi ULM Lancarkan Program Literasi Digital

Hajriansyah melanjutkan, generasi Banjar tempo dulu cukup cendekia. Sebut saja, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, karya bukunya dibaca masyarakat Islam bahkan hampir di seluruh dunia Islam. Setelah itu, ada banyak tokoh yang juga gemar membaca dan bahkan menulis kitab.

“Artinya, generasi Banjar sejatinya adalah para pencinta literasi. Hanya yang suka membaca mampu menulis berbagai kitab. Maka, generasi seperti Syekh Arsyad adalah orang-orang yang sangat gemar membaca, sehingga pengetahuannya begitu luas dan kemudian mampu menulis banyak kitab,” papar sarjana pendidikan seni rupa UST Yogyakarta ini.

Penulis buku produktif ini mengatakan budaya membaca itu merupakan kebiasaan yang positif,  harus dilatih dan dikembangkan. Kenapa membaca perlu latihan, karena membaca bagian dari keterampilan. Keterampilan membaca memerlukan beberapa tahapan. Mulai dari menumbuhkan minat, kesukaan, lalu pembiasaan, hingga sampai kepada gemar membaca.

“Tahapan tersebut harus dilatih. Kalau tidak, maka tidak akan mencapai level gemar atau bahkan cinta membaca,” ujar Hajriansyah.

Cerpenis ini menegakan literasi itu menolong kita untuk mengetahui berbagai informasi. Literasi yang berarti kemampuan memahami apa yang dibaca dan dilihat, membantu kita memilah informasi bohong atau hoaks. “Bila tidak memiliki kemampuan literasi, maka sulit menyeleksi bacaan yang dikonsumsi, termasuk bacaan yang beredar luas di media sosial,” ungkap Hajriansyah.

BACA JUGA : Tangkal Kecanduan Gadget , Banjarmasin Genjot Budaya Literasi Anak Usia Dini

Noorhalis Majid, selaku pemandu dialog Palidangan, mencoba memantik, upaya apa yang harus dilakukan dalam mendorong budaya literasi. Kalau budaya baca kita rendah, bahkan minat baca kita satu banding seribu. Artinya, kalau ada seribu orang, maka hanya satu orang yang memiliki minat baca.

Karena itu harus digairahkan minat baca seluas luasnya. Misalnya dengan membiasakan memberi hadiah buku pada momen-momen penting, seperti ulang tahun, syukuran naik kelas, kado perkawinan, perpisahan, dan lain sebagainya. Cinderamata yang biasanya berbentuk barang, coba diubah menjadi buku, sehingga orang terbiasa menerima hadiah buku sebagai hadiah yang membanggakan.

“Dengan diberi buku, minimal sudah memiliki, setelah itu diharapkan muncul minat untuk membacanya,” ucap Noorhalis Majid.

Setuju sekali, dikatakan Hajriansyah. Menurut seniman ISI Yogyakarta, budaya memberi buku penting dilakukan. Dirinya mengaku sudah lebih dua bulan ini punya program di facebook, setiap minggu memperkenalkan satu atau dua buku, lalu buku tersebut dihadiahkan kepada yang memberikan tanggapan paling menarik.

BACA LAGI : Kang Mamam Puji Budaya Literasi Kalsel Cukup Tinggi

“Buku saya gratiskan, namun tidak jarang dalam satu minggu tidak ada satu orangpun memberikan tanggapan atas buku yang saya perkenalkan. Artinya minat kita terhadap buku memang masih sangat rendah,” ucap magister agama UIN Antasari Banjarmasin.

Sejumlah pendengar ikut berpartisipasi, Sadam di Banjarmasin menyampaikan, membiasakan membaca kepada anak, harus datang dari orangtuanya. Sadam, misalkan, berpendapat kalau orangtua tidak bisa memberikan contoh atau kebiasaan membaca, maka sulit menyuruh anak untuk gemar membaca.

“Kalau orangtua suka, maka dia akan memfasilitasi anak untuk selalu membeli buku, atau minimal meminjamkan di perpustakaan. Tapi kalau orangtuanya tidak suka, maka yang terjadi justru menghambat anak untuk gemar membaca,” ucapnya.

Penelepon lainnya, Hj Ratih di Banjarbaru, menyampaikan pengalaman masa silam ketika belum ada televisi. Dia mengenang saat masih anak-anak membaca hingga dibawa ke dalam kelambu, namun orang tua melarang dengan menaku-nakuti mata akan rusak, sehingga perlahan-lahan kebiasaan  membaca hilang.

Lain lagi Kai Sifa di Banjarmasin juga setuju bahwa menumbuhkan minat baca dimulai dari orangtua, atau lebih khusunya lagi adalah ayah. Peran ayahlah yang mampu mendorong anak memiliki minat baca.

BACA LAGI : Risalah Shalat Karya Moh Rifai, Buku Terlaris Sepanjang Masa di Indonesia

Gusti Amir  Husen di Sungai Danau mengatakan, sekarang ini miris melihat perpustakaan. Pengunjungnya sedikit dan tidak diminati. Berbeda dengan dulu, perpustakaan ramai dikunjungi, bahwa kios-kios yang menyewakan buku ramai buka.

“Sekarang ini, seorang yang tamat sekolah, seolah-olah tamat juga membaca buku. Padahal membaca buku tidak ada tamatnya. Kita harus terus membaca agar pengetahuan terus bertambah,” imbuhnya.

Hariyadi di Tanjung, mengungkapkan bahwa masyarakat di negara maju mengawali pembangunan manusia dari menumbuhkan minat baca. Setelah banyak membaca, barulah mereka memasuki dunia elektronik atau digital. Kita sendiri belum kuat budaya membaca, langsung dihadapkan pada kemajuan media sosial, sehingga gagap dalam membaca perubahan yang sangat cepat.

BACA LAGI : Menristekdikti : Revolusi Industri 4.0, Peran Manusia Digantikan Kecerdasan Buatan

Sementara itu, Pahri di Pelaihari, mengungkapkan perlunya menumbuhkembangkan budaya literasi, caranya dengan membentuk kelompok-kelompok gemar membaca. “Sebagai guru, kami di sekolah sudah melakukan itu,” ujar Pahri, membentuk kelompok dan masing-masing orang setiap minggu memperkenalkan satu buku yang dibacanya. Dengan kegiatan seperti itu maka terbentuk kelompok yang gemar membaca.

Dalam kesimpulannya, Hajriansyah mengatakan  membaca harus menjadi kebiasaan. Agar dia menjadi habit, maka harus berani dan mau memulai menjadikannya sebagai habit.

“Kemudian, sekolah harus terus mendorong dan mengispirasi anak didiknya agar gemar membaca. Metode pembelajaran, diupayakan mendorong anak gemar membaca.  Lalu, mulailah kita membentuk berbagai komunitas baca. Komunitas ini berdiskusi atas buku-buku yang dibacanya,” ucapnya.

Hajriansyah beragumen karena pada buku tersebut ada banyak pemikiran, informasi dan pengetahuan yang bisa dibagi atau didiskusikan secara bersama.

“Mulailah membiasakan memberi hadiah buku pada orang-orang tercinta dalam setiap momen yang dianggap penting. Agar buku menjadi konsumsi yang lajim di masyarakat. Terakhir, pemerintah hendaknya membenahi perpustakaan yang sudah dibangunnya. Buatlan perpustakaan menjadi menarik dan diminati. Undang orang untuk datang ke perpustakaan, sehingga dia menjadi tujuan kunjungan bagi msyarakat semua kalangan,” pungkas Hajriansyah.(jejakrekam)

Pencarian populer:literasi lisan orang banjar
Penulis Siti Nurdianti
Editor DidI GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.