Framing Isu Publik dan Ujaran Kebencian

0

PEMILU 2019 kali ini semua pihak  berebut ruang untuk memanggungkan  framing isu kepada publik.  Karena framing adalah cara efektif dalam mengantar persepsi publik atas suatu fenomena untuk digiring pada pilihan tertentu.  Media sosial dan media mainstream ( TV, radio, surat kabar) adalah  instrument yang sangat efektif.

MENARIKNYA pihak-pihak yang benar-benar resmi bekerja untuk memenangkan pertarungan electoral, nampaknya tidak terlalu sulit dalam mendorong pendistribusi framing tersebut. Sebab sejak 8 bulan terakhir masyarakat sepertinya hampir 60 persen menjadi relawan-relawan tim sukses terdepan mendistribusikan framing.

Jadi sulit hari ini menjustfikasi siapa sebenarnya agen produksi hoax, SARA dan ujaran kebencian. Sebab semua pihak memungkinkan berupaya memenangkan ruang-ruang pikiran publik, dengan  iniasiatif sendiri di luar tim resmi paslon. Hal itu lumrah dalam pertarungan kekuasaan.

Sebab, demokrasi elektoral 2019, seakan-akan mirip dengan demokrasi elektoral tahun 1960, di mana semua elit politik berebut panggung mendistribusikan framing sesuai ideologi partai politiknya Yakni pertarungan antara nasionalis, Islam dan komunis. Apalagi  pemilu saat itu tidak lepas dari tarikan-tarikan kepentingan geopolitik internasional.

BACA : Swasembada Pangan hingga Penguatan Militer, Strategi Prabowo-Sandi Menangkan Pilpres 2019

Demokrasi elektoral sekarang, justru terjadi proses akselarasi melek politik rakyat yang  meningkat tajam karena pertarungan pasangan Calon Presiden. Demokrasi electoral hari ini yang didukung era media sosial menghantarkan rakyat pada beban psikologis untuk memenangkan pasangan Calon Presiden pujaannya.

Di sinilah tim sukses ‘ilegal’  ini bekerja mendistribusikan framing produk elit politik sebagai bagian dari komunikasi politik era medsos hingga menabrak kepatutan-kepatutan sosial dan etika  demokrasi, melebihi jangkauan timses resmi.

Kondisi ruang demokrasi yang dipertontonkan para elit saat ini, seakan-akan ada pertarungan antara kubu Nasionalis dan Islam. Tuduhan Radikalisme, Kriminalisasi Ulama, TKA China, Kafir, PKI, Hoax, Sara, Hate speech, Anti Pancasila, Pelanggar HAM, Khilafah, #Jokowi Sekali Lagi, #2019 Ganti Presiden adalah framing pesta demokrasi yang bertengger di papan atas dalam suasana demokrasi elektoral 2019.

BACA JUGA : Generasi Milenial Rentan Terhadap Bahaya Hoax di Pemilu 2019

Inilah konstruksi framing ujaran-ujaran kebencian buah dari kegenitan elit yang dipertontonkan selama ini.  Parahnya sebagian media-media mainstream kepanjangan elit partai menjadi alat framing untuk memukul lawan politik.

Realitas seperti ini justru mendegradasikan semangat jiwa pertahanan dan bela negara bagi warga negara. Jadi,  jika kita ingin mendiagnosis problem bela negara saat ini, justru musim Pemilu 2019 ini virusnya ada pada perebutan ruang memanggungkan framing isu.

Mengutip pendapat Benford dan Snow, framing isu melihat  faktor-faktor apa yang mendorong seseorang terlibat dalam gerakan sosial, di mana seseorang akan berpartisipasi selama merasa sama isu dan masalah yang diperjuangkan. Artinya jika situasi ini terus-menerus dipertontonkan, maka ketegangan antar warga negara semakin menguat.

BACA JUGA : Gelar Akademik Capres-Cawapres Diklaim Tak Pengaruhi Pilihan

Walau kewajiban bela negara  adalah kewajiban semua warga negara, tetapi justru yang lebih utama dibrainwash justru para elit – elit politik atau para penyelenggara dan alat negara yang berorientasi pada politik kekuasaan. Harapan besar kita jangan sampai oknum penyelenggara negara dan alat-alat negara kita terjebak dalam lingkaran turut larut sebagaimana catatan sejarah tahun 1960-an.

Maka dari itu penting para elit yang terlibat dalam perburuan kekuasaan ini, untuk membangun Panggung Keteladanan sehingga anak-anak bangsa akan mengikuti keteladanan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jebakan framing isu yang berlebihan dan bertujuan saling memukul berpotensi bangsa ini mudah diadu domba bangsa lain, dan atau bangsa sendiri.

Trust sesama anak bangsa harus segera dibangun dengan kejujuran, agar jiwa-jiwa pertahanan dan semangat bela negara tidak terlucuti hanya persoalan demokrasi elektoral. Di sinilah diperlukan kewarasan berpikir kita melihat fenomena demikan.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Kebijakan ULM

Dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.