Berskala Kecil, Pengelolaan Limbah Restoran Terapung Cukup SPPL

0

BAGAIMANA nanti pembuangan dan penanganan limbah jika restoran terapung di depan Siring Balai Kota, Jalan RE Martadinata itu akan beroperasi pada September 2019 nanti? Apakah tak mencemari Sungai Martapura nantinya?

KEPALA Bidang Pengawasan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarmasin, Wahyu Hardi Cahyono mengingatkan bagi setiap usaha, termasuk restoran terapung yang akan dikelola konsorsium koperasi itu harus dilengkapi dokuman lingkungan.

“Karena skalanya kecil, bisa saja dokumen analisis mengenai dampak lingkungannya tercover dalam  upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) maupun surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL),” ucap Wahyu Hardi Cahyono kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Sabtu (9/3/2019).

BACA :  Beli Tongkang Tua, Restoran Terapung Dibangun di Siring Balai Kota

Dia menjelaskan guna mengetahui kriteria usaha yang wajib Amdal itu tertera di dalam Permen LHK Nomor 5 Tahun 2012 tentang rencana usaha yang wajib Amdal. Namun, beber dia, teruntuk restoran terapung, tidak masuk dalam rencana kegiatan yang wajib Amdal. Ini mengingat, kegiatan usaha tersebut tidak berdampak besar dan penting.

“Misalnya mengubah suatu kegiatan berhubungan dengan alam yang tidak bisa dikembalikan lagi. Seperti tambang. Itu baru bisa dikatakan Amdal,” ucapnya.

BACA JUGA :  Buka Investasi Wisata, Kapal Pamaton Hills Diizinkan Sandar di Siring Nol Kilometer

Terkait UKL, Wahyu pun memastikan tidak masuk. Ini mengingat, restoran terapung ini bersifat rumah makan kecil. Dalam artian, limbahnya ini bisa dikelola. Sebab, hanya bersifat kegiatan masak untuk disajikan ke konsumen.

“Restoran terapung ini hanya cukup mengelola limbah yang dihasil dari proses masak yang dinamakan limbah domestik atau rumah tangga biasa,” ujar Wahyu.

Masih menurut dia, untuk restoran terapung ini hanya cukup melampirkan SPPL. Terkait pengelolaan limbahnya itu, bisa dikerjasamakan dengan Perusahan Daerah (PD) PAL atau di dalam tongkang nanti, pihak pengelola membuat biofil atau biotank untuk proses pengolahan limbah.

“Jadi, air yang dikeluarkan untuk dibuang ke lingkungan ini sudah sesuai bakumutu air limbah yang ditetapkan melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air,” beber Wahyu.

BACA LAGI : Pariwisata Sungai Jangan Andalkan Dana Pemerintah

Hal ini sejalan dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai, ambang batas jumlah bakteri fecal coli hanya 100. Untuk bakteri total coliform, ambang batasnya berada dalam angka 1000.

Wahyu menyebut, sampah yang dihasilkan dibagi dalam dua jenis yakni sampah padat dikelola di tempat sampah dan sampah cair bekas cucian ditangani dalam sebuah bak bersekat yang dinamakan biofil atau biotank untuk ditempatkan pada bagian dapur.

“Jadi, semua limbah cucian piring atau bekas makan itu akan masuk di biofil untuk diolah,” pungkasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.