Fenomena Pemilu di Banjarmasin Era Orde Baru

0

PEMILU 1997 merupakan pemilu terakhir di masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai peristiwa sebelum dilangsungkannya pemilu, saat pemilu, maupun setelahnya turut mewarnai panasnya suhu politik yang terjadi di berbagai tanah air saat itu.

DI SINI penulis hanya mengupas sedikit peristiwa yang terjadi di Banjarmasin (di luar kerusuhan 23 Mei 1997); menjelang hingga berakhirnya Pemilu 1997.  Sebelumnya, menyongsong Pemilu 1987, juga tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional, dimana NU sebagai organisasi keagamaan terbesar menyatakan diri kembali ke khittah NU 1926.

Dalam banyak referensi disebutkan, fenomena Mega-Bintang ini muncul setelah terjadinya pergantian paksa atas pimpinan PDI Megawati oleh Soeryadi pada konferensi partai 1996 di Medan. Akibat peristiwa tersebut banyak pendukung Megawati di lapisan bawah yang mengalihkan dukungannya ke PPP yang saat itu bertanda gambar bintang.

BACA :  Hikayat Golkar, Hegemoni Politik yang Berakar

Di saat kampanye PPP banyak massa yang membawa atribut Mega-Bintang yang tidak lain adalah massanya PDI Megawati. Begitu pula saat kampanye di Kota Banjarmasin, atribut-atribut Mega-Bintang bermunculan, bahkan tidak sedikit kalangan pemuda dan mahasiswa bersimpati mendukung gerakan Mega-Bintang ini.

Fenomena Mega-Bintang ini tak terduga sebelumnya dan sempat memunculkan spekulasi kontroversial. Opini pun sempat terbentuk, bahwa akan terjadi koalisi lintas ideologis antara PPP dengan massa PDI Megawati dalam Pemilu 1997.

Gerakan Mega-Bintang ini sempat mendapat larangan dari pemerintah. Namun, karena sudah tersosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat, tetap saja berbagai idiom lain yang menunjukkan bahwa para pendukung PDI Megawati tetap berekspresi dalam kampanye.

Karena yang diakui sebagai partai peserta pemilu adalah PDI pimpinan Soeryadi (hasil konferensi Medan), maka kesan adanya koalisi antara PPP dan PDI Megawati tersebut ditepis di tingkat elit masing-masing partai.

BACA JUGA :  Golkar Terlalu Kuat di Hulu Sungai

Hasil Pemilu 1997 di Kota Banjarmasin menunjukkan perubahan yang cukup drastis dibanding pemilu sebelumnya, terutama dalam perolehan kursi masing-masing partai peserta pemilu. PPP berhasil menambah 5 kursi, dari pemilu sebelumnya 12 kursi menjadi 17 kursi.

Sedangkan PDI (Soeryadi) turun, dari 8 kursi menjadi hanya 1 kursi. Golkar berhasil menambah 2 kursi, dari sebelumnya 16 menjadi 18 kursi.

Penggembosan PPP

Jika dilihat dari pemilu ke pemilu (masa Orde Baru), maka PPP di kota seribu sungai ini sangat kuat menunjukkan rivalitasnya terhadap Golkar. Di Pemilu 1977, partai yang saat itu pendukung utamanya NU ini, meraih 16 kursi sedangkan Golkar mengoleksi 10 kursi.

Begitu juga Pemilu 1982, PPP mampu mempertahankan keunggulannya dengan menggondol 17 kursi dan Golkar sebanyak 12 kursi. Di pemilu ini di semua wilayah kabupaten di Kalsel Golkar meraih kemenangan.

Di samping Banjarmasin sebagai basis kemenangan PPP adalah Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Banjar. Di Pemilu 1977 ketiga kabupaten tersebut mampu menjadikan PPP peraih kursi terbanyak di lembaga perwakilannya.

Namun, tidak seperti Banjarmasin di Pemilu 1982, di ketiga kabupaten tersebut bersama kabupaten lainnya PPP mengalami penurunan perolehan kursi meski tidak terlalu signifikan.

Menjelang Pemilu 1987, dilaksanakan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang salah satu hasilnya memutuskan NU kembali ke khittah 1926. NU (secara organisasi) tidak lagi memberikan dukungan politik kepada PPP. Hasil muktamar NU ini disebut kalangan pengamat sebagai penggembosan PPP di Pemilu 1987 dan Pemilu 1992.

BACA LAGI :  PPP Saingi Golkar di Era Orde Baru

Meskipun terjadi penggembosan warga NU secara nasional, PPP di Kota Banjarmasin relatif tidak terlalu tinggi pengaruhnya. Kursi PPP di Pemilu 1987 ini memang mengalami penurunan dengan merebut 14 kursi (turun 3 kursi).

Perolehan kursi PPP terus merosot di Pemilu 1992 dengan meraih 12 kursi. Tetapi, Golkar yang identik sebagai partai penguasa saat itu juga mengalami penurunan (1 kursi), dari 17 menjadi 16 kursi. Di pemilu ini PDI mampu mendulang perolehan kursi lebih besar naik 5 kursi dari sebelumnya, dari 3 menjadi 8 kursi.

BACA LAGI :  NU yang Pemenang, NU yang Terkekang

Namun, seperti diuraikan di atas, konferensi PDI di Medan tahun 1996, menghasilkan kepemimpinan partai jatuh ke tangan Soeryadi, yang akhirnya memunculkan fenomena Mega-Bintang di Pemilu 1997. Perolehan suara PDI merosot, dan berdampak naiknya suara PPP di berbagai kabupaten/kota di Kalsel.

Politik memang dinamis dan terkadang penuh konflik. Namun sebagai sebuah bangsa yang besar seyogyanya setiap konflik harus diselesaikan untuk kepentingan bangsa yang lebih besar pula.(jejakrekam)

Penulis adalah Aktivis Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalsel

Mantan Komisioner KPU Barito Kuala

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.