LPMA Nilai Penetapan Geopark Bukan Langkah Tepat untuk Lindungi Pegunungan Meratus

0

SETELAH mempelajari geopark Pegunungan Meratus yang diinisiasi Pemprov Kalsel, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan menyatakan menghargai langkah Pemprov Kalsel dalam hal menginiasiasi geopark Pegunungan Meratus.

TAPI, LPMA Borneo Selatan menilai langkah Pemprov Kalsel dalam hal geopark bukan langkah yang tepat untuk melindungi dan menyelamatkan Pegunungan Meratus. Dimana, sejak awal Pemprov tak melibatkan berbagai komponen masyarakat, terutama masyarakat adat yang hidup di sekitar titik-titik geopark.

Harusnya, karena objek geopark berada di kawasan Pegunungan Meratus, maka masyarakat adat Dayak Meratus wajib dilibatkan sejak hulu proses hingga hilir prosesnya. Apalagi setelah titik-titik geopark ditentukan, maka akan berdampak luas, baik terhadap Pegunungan Meratus maupun terhadap adat Dayak Meratus, terutama dalam hal masyarakat keberlangsungan hidup, adat, agama, dan kebudayaan Dayak Meratus.

LPMA Borneo Selatan menilai, harusnya geopark bukan berupa titik-titik yang ditentukan dengan pendekatan kepariwisataan, namun berupa kawasan-kawasan konservasi yang bersinergi dengan masyarakat adat Dayak Meratus, sehingga kelestarian alam dan perlindungan terhadap Pegunungan Meratus bersama masyarakatnya menjadi hal yang utama.

LPMA Borneo Selatan meminta Pemprov Kalsel mengambil langkah yang menyeluruh untuk melindungi Meratus dari pertambangan dan perkebunan kelapa sawit melalui Perda dan memasukkan Pegunungan Meratus dalam RTRW Kalsel sebagai kawasan yang dilindungi dan bebas dari pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

LPMA Borneo Selatan mendesak Pemprov Kalsel mengambil kebijakan yang jelas dan tegas untuk menyelamatkan Meratus dengan tidak memberi kesempatan terhadap pertambangan dan perkebunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dan kewenangan yang melekat pada Pemprov Kalsel (Gubernur Kalsel).

Meminta Pemprov Kalsel melibatkan berbagai pihak dalam kebijakan untuk mempertahankan dan menyelamatkan Pegunungan Meratus dan masyarakat yang tinggal di sana.

BACA : Geopark Meratus, Amankah?

Meminta Pemprov Kalsel lebih memperhatikan dan mengeluarkan kebijakan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Dayak Meratus.

Sementara itu, hingga kini LPMA Borneo Selatan masih mendampingi Masyarakat Dayak Meratus. Pendampingan terus dilakukan, apalagi ketika kondisi Pegunungan Meratus, dimana masyarakat adat berdiam dan melakukan aktivitas sehari-hari, terancam oleh konsesi dalam bentuk ijin pemanfaatan baik untuk tambang maupun kebun sawit berskala besar. Ijin konsesi tersebut marak pasca diberlakukan otonomi dareah.

Jika hutan tersebut berubah fungsi, maka masyarakat Dayak Meratus yang notabene dan sebagian besar menganut agama lama yaitu Balian (atau sering diidentikkan dengan Kaharingan) terancam dan tidak bisa lagi melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka, karena rangkaian ibadah mereka berkaitan langsung dengan pengelolaan ladang (menanam padi) sejak awal proses penyiapan lahan sampai panen, hingga siap untuk dimakan. Semuanya melalui proses Aruh (suatu proses komunikasi dengan Sang Pencipta) agar padi yang ditanam kemudian tumbuh subur dan kemudian hasil panen berlimpah, serta mereka diberi kesehatan agar bisa menjalani aktivitas sehari-hari.

Kawasan Pegunungan Meratus yang membentang dari Kalsel hingga ke Kaltim sepanjang lebih dari 600 kilometer sejak dulu menjadi kawasan penyangga, baik untuk kelestarian lingkungan, maupun sumber kehidupan masyarakat Dayak Meratus dan daerah-daerah lainnya di Kalsel. Namun, kini kondisi sebagian besar kawasan Pegunungan Meratus sudah berubah fungsi menjadi konsesi tambang dan kebun sawit skala besar.

BACA JUGA : Geopark Nasional Meratus Ditetapkan, Walhi Kalsel: Lebih Baik Akui Wilayah Adat

Hampir semua Kabupaten di Kalsel yang dilewati hamparan Pegunungan Meratus mengalami kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda. Secara kasat mata saja, kerusakan itu nampak dari Balangan hingga Kotabaru. Hanya Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang hingga kini masih utuh karena seluruh elemen masyarakatnya menolak pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.

Namun, sejak Kementerian ESDM mengeluarkan surat keputusan Menteri EnergiSumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap kegiatan (PKP2B) PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang menaikkan status dari ekplorasi ke produksi meliputi tiga blok (Balangan, HST, dan Tabalong), Pegunungan Meratus, terutama di Hulu Sungai Tengah terancam.

Karena di HST-lah satu-satunya kawasan Pegunungan Meratus yang masih bertahan dari pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Di HST pula masih tersisa satu-satunya hutan hujan tropis yang tersisa di Kalsel. Kini situasi semakin mengancam bagi Pegunungan Meratus ketika gugatan Walhi Kalsel yang menggugat SK itu kandas di Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Kini Walhi Kalsel mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan itu. Dan hingga kini pula, keputusan mengenai gugatan itu masih dalam proses. Dalam situasi keterancaman itu, Pemprov Kalsel kemudian mengeluarkan kebijakan pembentukan geopark Pegunungan Meratus.

Pemprov mendeklarasikan geopark itu pada Minggu, 24 Februari 2019, di kawasan Kiram, Kabupaten Banjar, dengan menghadirkan beberapa artis untuk meramaikan acara itu.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.