Kisah Perjumpaan Cina-Pribumi di Banjar

0

DALAM perjalanan sejarah sosial masyarakat Banjar tak selalu antar komunitas masyarakat terjadi konflik baik terbuka (manifes) maupun tersembunyi (laten). Kadang-kadang muncul juga sikap akomodatif, rekonsiliasi, bulan madu dan saling menghindari titik tengkar mencari titik temu.

MESKIPUN tetap ada ketegangan dan kompetisi (persaingan), tapi tetap menjaga harmoni dan kohesi sosial yang tinggi. Seperti hubungan Cina-pribumi yang saat ini nampak tegang, dahulunya dimasa silam begitu mesra dan penuh kebersamaan, persatuan, kedamaian dan kasih sayang, terutama di Banjarmasin.

Terkhusus lagi di Kampung Teluk Tiram yang penduduknya terkenal religius (santri) dengan Kampung Pekauman yang banyak peranakan Cina yang bermukim di sana.

Di sini akan saya turunkan tulisan kisah-kisah perjumpaan Cina-pribumi yang digali dari cerita lisan dari para orang tua di sana, ingatan masa kecilku yang melekat kuat membekas dalam kenangan, pengalamanku yang pernah tinggal lama di situ, berpijak tanah, minum air dan menghirup udara kesilamannya yang penuh cerita.

BACA :  Hikayat Dua Klenteng Besar, Identitas Etnis Tionghoa Banjar

Pertama, kisah dari ayahku, yang mengatakan dahulu ada masjid tertua di Teluk Tiram bernama Miftahus Salam berdiri pada tepian Sungai Martapura tempat Shalat Jumat berjamaah penduduk Teluk Tiram, Pekauman, Dahlia, Telawang, Nagasari, dan seputar-sekitarnya.

Sayang kini sudah tidak ada lagi, telah menjadi batang mandi, tapi ada dibangun Langgar agak ke darat dengan nama yang sama Miftahus Salam sebagai gantinya.

Suatu waktu ayahku melihat serombongan keluarga kecil Cina mengambil air yang mengalir di bawah kolong masjid berbotol-botol dengan mengendarai jukung. Melihat hal cukup aneh ayahku bertanya untuk apa air itu ? Mereka menjawab “gasan obat penawal balataan penyakit”.

Kedua, masih cerita ayahku, katanya dulu ada satu keluarga Cina Pekauman, ditimpa musibah, Babah mereka meninggal dunia, tapi berwasiat agar disembahyangkan oleh jamaah umat Islam Teluk Tiram. Tentu saja banyak Tuan Guru di Teluk Tiram menolak, ketika diminta oleh salah satu putra si Babah. Ini karena si Babah tidak pernah masuk Islam dan bukan sebagai muslim.

BACA JUGA :  Leluhur dari Yunan, Etnis Tionghoa Membaur di Pacinan

Namun rupanya ada seorang ustadz nakal (buntat) dengan para temannya menyanggupi dan melaksanakan sahlat mayyit yang diwasiatkan karena iming-iming amplop yang tebal. Meskipun ustadz ini nakal, tapi ia rupanya tak beraninya juga menunaikan shalat mayyit dengan cara sebenarnya. Ia dengan para temannya seakan-akan sebenar-benarnya shalat mayyit, tapi tanduan (keranda) mayyit diletakkan di belakang jamaah, tidak di depan imam sebagaimana lazim.

Begitu melihat kejanggalan itu, keluarga Babah jelas memperotes keras dan mempertanyakan kesahannya. Namun, rupanya ustadz nakal ini pintar berkilah, bisa saja ia menjawab logis. Kenapa tanduan Babah diletakkan di belakang ? Dijawabnya karena Babah belum bersunat (khitan), beliau tak boleh di depan orang sudah bersunat dan masuk surga nanti orang tidak bersunat harus mengikuti di belakang orang yang sudah bersunat.

Ketiga, ada salah satu keluarga jauhku (bakulaan) yang ganteng seperti aktor film India didambakan banyak  wanita menjalin cinta asmara dengan seorang dara cantik Cina yang begitu manis.

Mereka dua sejoli bak pinang dibelah dua. Yang lelaki berparas tampan, sedangkan perempuan bungas (cantik), cocok, sesuai, seimbang dan seiring sejalan, sepiring berdua dan setikar bersama dalam ikatan kuat cinta kasih suci.

Namun sayang, kedua orang tua sang dara Cina sama sekali tak merestui padahal mereka berdua sudah sulit untuk dipisahkan. Demikian menderitanya sang dara Cina dari belenggu penolakan orang tuanya, sampai-sampai ia mengambil jalan pintas bunuh diri daripada dijodohkan dengan orang lain yang tak dicintainya, meskipun sama-sama Cina. Sementara kekasihnya yang di Teluk Tiram tetap setia sampai wafat tak pernah ke lain hati dan tak kawin-kawin sama-sekali.

Keempat, ada salah satu paman sepupuku (sepupu ibuku), bekerja sebagai penjaga toko Cina. Dia jujur tak pernah berani main-main dan menyeleweng hingga ia sangat dipercaya dan sangat disayang majikannya yang Cina layaknya keluarga. Sampai-sampai ketika ia kawin, bikin rumah dan membuka modal usaha disokong oleh sang majikan dan sampai sekarang hubungan baik mereka itu tetap berjalan dan terpelihara.

BACA LAGI :  Balada Penambang Emas Cina dari Kampung Parit Mas

Kelima, ayahku sebagai Tuan Guru sekaligus penghulu dahulu mempunyai langganan membeli kecap kegemarannya dari seorang Cina miskin yang aku sudah lupa namanya, tapi sering kupanggil Toke, karena saking akrabnya dengan ayahku. Juga ayahku suka sekali roti hambar sebagai makanan kecil yang diolesi mentega-gula, selai, susu dan coklat atau teman es putar dan bubur kacang produksi toko Cina Meng Seng di Pasar Baru yang sampai sekarang masih ada.

Kemudian, beliau juga sering menerima orang Cina yang beralih kepercayaan masuk memeluk agama Islam dengan cara yang sebaik-baiknya, lalu bahkan terkadang ada sebagian yang dijadikan anak angkatnya. Selain itu, banyak juga beliau selaku penghulu menikahkan lelaki Cina dengan perempuan Pribumi yang didahului oleh acara pengislaman sebagai rukun dan syarat kesahan sebuah pernikahan secara Islam.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Antasari Banjarmasin

Peneliti dan Staf Senior LK3 Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.