Fenomena Para Caleg Parpol Minim Promosikan Capres-Cawapres

0

DUA even politik berbarengan dalam Pemilu 2019, pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), justru seakan menjadi sebuah perlombaan rasionalisasi kampanye bagi para caleg. Ironisnya, justru para caleg hingga 70 hari ini justru jarang mencantumkan foto pasangan capres-cawapres baik nomor urut 01 maupun 02 di baliho atau spanduknya.

PENGAMAT politik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Taufik Arbain melihat fakta yang terjadi adalah dalam kampanye para caleg tergambar jelas peta pilihan terhadap pasangan capres-cawapres di Kalsel masih fifty-fifty.

“Terlihat jelas, rasionalisasi dimainkan para caleg untuk menyelamatkan diri dengan menihilkan foto capres-cawapres jagoannya,” kata Taufik Arbain kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Jumat (8/2/2019).

Menurut dia, realitas ini justru bukan terjadi pada caleg pendatang baru, namun juga para caleg atau tokoh yang berkali-kali telah ikut pemilu dengan baliho besarnya, terutama rute yang termasuk lintasan publik.

BACA :  Semrawut, Ratusan Baliho Caleg Dicopot Bawaslu-Satpol PP Banjarmasin

Dari kacamata Taufik, ada dua fenomena yang terjadi yakni para caleg memang mempetakan isu capres lebih mengemuka dibanding isu pencalegan dalam perebutan kursi parlemen di berbagai tingkatan. Hal ini tergambar dari pesan kampanye yang dijual seperti penonjolan lambang parpol, nomor urut, wajah caleg dan jargon.

“Fenomena kedua adalah kemungkinan gelombang kegalauan yang dahsyat jika menampilkan foto capres pada baliho atau spanduk caleg baik level DPR RI, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten dan kota, dimana berimplikasi pada penggerusan pilihan publik bagi diri dan partainya, terutama elektabilitas tentunya,” papar doktor jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Nah, dari persepsi Taufik justru fenomena kedua yang lebih mengemuka karena ada ketakutan terjadi degradasi pilihan pasangan capres-cawapers di Kalsel, baik dapil 1 maupun dapil 2.

“Anehnya, ini justru berlaku pada tokoh-tokoh dan calon incumbent. Inilah catatan penting bagi memahami realitas sebagai rekomendasi regulasi pada pemilu yang akan datang,” ucap Taufik.

BACA JUGA :  Beredarnya Tabloid Indonesia Barokah Mengulang Kasus Obor Rakyat di Pilpres 2014

Direktur Utama Lembaga Survei Banua Meter ini mengatakan variasi distribusi pilihan parpol tidak linear dengan pilihan presiden, tetapi ada juga yang relatif linear pada kasus Kalimantan Selatan. Misalnya, pemilih PDIP, dan Golkar sebanyak 70  persen cenderung linear memilih paslon capres-cawapres nomor urut 01. Begitupula, PKS, Demokrat dan PAN hampir sama 70 persen masih linear memilih capres-cawapres nomor urut 02.

“Sisanya partai yang cenderung berada pada massa Islam tradisional terbelah mencapai 40-50 persentermasuk nasionalis.  Realitas ini memberikan makna bahwa partai besar penyokong pasangan capres dan tampil vulgar memiliki keuntungan atas linearitas tersebut,” tutur Taufik.

Hal ini, menurut dia, berhubungan dengan kemampuan caleg merawat pemilih, gegap gempita kampanye via media mainstream dan media sosial.

BACA LAGI :  Swasembada Pangan hingga Penguatan Militer, Strategi Prabowo-Sandi Menangkan Pilpres 2019

Taufik mengatakan yang harus dicermati ada sebagian caleg yang masih mendamba massa pemilih Islam tradisional dan nasionalis, tetapi  masih terkesan malu setengah mati ketika hendak menampilkan wajah pasangan capres-cawapres pada media kampanyenya.

“Ini bisa dilihat persentase media kampanye yang ditampilkan dan berada di kawasan strategis mana.  Atas fenomena ini, tampaknya perhelatan pileg dan pilres 2019 mampu menakar kecenderungan loyalitas dan soliditas kader partai-partai pendukung capres dan para calegnya bahwa mereka dominan melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) memenangkan partai dan kursi mereka,” ungkap Taufik.

Apakah ini berlaku pada komunikasi  dan pertemuan-pertemuan massa? “Ya jelas, kita sangat meyakini. Baliho yang dipamerkan di depan publik saja malu, apalagi ketika berhadapan dengan massa pemilih pada saat kampanye dengan pola pertemuan,” cetusnya.

Tak mengherankan, menurut Taufik, ada muncul adagium berkembang di tengah para caleg saat berkampanye yakni pilihan pilpres terserah Anda, namun memilih caleg harus jatuh pada dirinya.

BACA LAGI :  Ingin Ada Putra Kalimantan di Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin

Bagi Taufik, pola perilaku para caleg ini masih bisa ditoleransi, sebab ada tanggungjawab sebagai kader untuk memenangkan partai yang berkorelasi dengan ambang batas (parliament threshold) 4 persen, selain soal kursi.

Hanya saja, beber dia, kondisi seperti ini tidak banyak menguntungkan bagi apakah namanya tim nasional atau badan pemenangan capres-cawapres, karena tidak efektif dalam menjangkau pemilih masing-masing rawatan dan rebutan para caleg di partai politik.

Terlebih, masih menurut Taufik, mereka yang suka menjual klaim-klaim pada tim atau badan pemenangan capres.  “Maka soliditas dan dedikasi kader model ini patut dipertanyakan sebagai bagian dari pihak-pihak yang berkomitmen memenangkan pasangan capres,” ucapnya.

Memang diakui Taufik, politik itu soal siyasah dan taktik. “Jadi barangkali akal-akalan seperti itu diperlukan pada tahap-tahap tertentu,” pungkasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.