Dermaga Muara Bahan dan Kisah Para Pemburu Rempah (2)

0

HUJAN menyergap pesisir muara Sungai Barito. Sebagian lagi, tengah mengapung di Sungai Martapura. Selama satu bulan lebih, armada kapal Portugis, diam labuh jangkar tak jauh dari Anjir di wilayah Tabungangen. Di sudut lain, kapal para pedagang asal Yaman, merapat di Pelabuhan Bandarmasih, muara Kuin Banjarmasin.

DARI sejumlah referensi, Pulau Kalimantan atau Borneo, di kalangan pelaut Eropa awalnya dikenal dengan Taprobana atau Taprobane berasal dari bahasa Yunani Kuno. Nama itu pul disebut seorang geographer Yunani, Megasthenes sekitar tahun 290 SM.

Oleh Claudius Ptolemy dalam risalah geografisnya mengidentifikasi sebuah pulau yang relatif besar di sebelah selatan benua Asia. Hingga belakangan diketahui bahwa pulau besar itu adalah Kalimantan atau Borneo, bukan Sumetara atau Sri Lanka yang selama ini berkembang dalam hipotesis ahli sejarah dunia.

Pulau besar itu digambarkan kaya dengan kayu manis. Tak mengherankan, akhirnya Pulau Kalimantan pun diincar sejumlah penjelajah dunia khusus dari Benua Biru untuk mendapat rempah-rempah dengan harga murah untuk dijual mengais untung berlimpah.

BACA :  Etnis Bakumpai Lebih Dulu Menganut Islam Dibanding Masyarakat Banjar

Hal ini sejalan dengan hasil riet  Setia Budhi, Ph.D, antropolog asal FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin. Ia mengatakan saat itu Bandar Muara Bahan era Kerajaan Negara Daha serta Pelabuhan Bandarmasih, termasuk dalam jaringan perdagangan rempah dunia pada abad ke 14 dan ke-15.

“Ketika itu, banyak pedagang Yaman dan pedagang mancanegara berdatangan ke Pelabuhan Bandarmasih dan Dermaga Muara Bahan untuk mendapatkan rempah-rempah yang melimpah. Kebanyakan dipasok dalam pedalaman Kalimantan, seperti Tabalong, Barabai serta hulu Sungai Barito,” kata Setia Budhi kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Rabu (6/2/2019).

Menurut Setia Budhi, seperti para pedagang Portugis, pedagang dari Jazirah Arab seperti Yaman sudah mengetahui rute perjalanan ke Pulau Kalimantan atau Borneo berbekal catatan Jazirah al-Mulk yang lama sudah merapat di Maluku di bagian Timur.

“Orang-orang Yaman ketika itu membawa hambal, sebagian lagi manik-manik. Mereka adalah para peniaga dan sebagian lagi juru dakwah Islam. Saat berdagang inilah, ketika berinteraksi para pedagang Yaman ini menyelipkan kabar agama Islam kepada penduduk setempat baik di Bandara Muara Bahan maupun Pelabuhan Bandarmasih,” tutur Setia Budhi.

BACA JUGA :  Dermaga Muara Bahan dan Kisah Para Pemburu Rempah (1)

Menurut dia, ketika Dermaga Bandarmasih di Muara Kuin, tidak bisa merapatkan kapal, sehingga pedagang Yaman pun memasuki muara Sungai Barito hingga bersandar ke Dermaga Muara Bahan. Ia mengungkapkan saat itu para pedagang Yaman bertemu para petani dan nelayan yang dulu dikenal sebagai Nan Sarunai. Sebagian lagi, bertemu dengan para petani di Anjir. Hingga mereka tinggal di Saka.

“Orang-orang Yaman itu mendapati bahasa yang dipergunakan penduduk setempat itu agak berbeda dengan mereka di Pelabuhan Bandarmasih,” kata doktor jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia ini.

Dalam hipotesis Setia Budhi, saat berada muara Sungai Barito, tidak hanya penduduk dari Nan Sarunai, ada pula datang dari Hulu Barito yang berbahasa Ngaju. Orang Hulu Barito itu membawa rotan, damar dan getah, sebagian yang lain kayu gaharu.

Adanya interaksi pertama antara pedagang Yaman dengan orang-orang Ngaju dari perniagaan, hingga berlaku sistem barter. Manik-mani,  garam dan makanan dengan kayu Gaharu menghasilkan satu ikatan perniagaan yang kuat.

BACA LAGI :  Jadi Bandar, Umur Pasar Terapung Muara Kuin Setua Kesultanan Banjar

“Dari sini, mereka kemudian saling bertukar ilmu pengetahuan, sistem niaga orang Yaman berinteraksi dengan sistem niaga lokal. Ketika itu, orang Yaman, pertama kali mengenalkan istilah “akad” dalam jual beli Islam dan pada waktu itu mulai juga mengenalkan dalam ajaran Islam dalam sistem perekonomian,” papar Setia Budhi.

Yang dimaksud Setia Budhi sebagai orang Ngaju itu adalah sebagian besar Bakumpai, yang paling cepat menerima sistem ajaran Islam dalam perniagaan, sebab nampak sangat adil antara penjual dan pembeli.  “Ini ditambah dengan berita “penguasa sungai” yang sejalan dengan kepercayaan Bakumpai, Nabi Khidir,” ucapnya.

Dosen FISIP ULM ini mengatakan ekspedisi perniagaan orang Yaman di muara Sungai Barito membawa dampak interaksi yang lain, yaitu interaksi kepercayaan dengan penduduk setempat. Karenanya, sebagian orang Bakumpai kemudian hijrah dalam kepercayaan mereka dan sebagian yang lain masih tetap kekal dalam agama dan kepercayaan leluhur, belakangan disebut dengan agama Kaharingan.

BACA JUGA :  Di Era Sultan Suriansyah, Kerajaan Banjar Mulai Terapkan Hukum Islam

Menurut Setia Budhi, mereka yang hijrah membangun komunitas sendiri di muara dan meneruskan dakwah hingga ke hulu Sungai Barito. Sementara, yang kekal nampak menyingkir ke Meratus atau mengambil jarak dari muara sungai dan berkomunitas di wilayah wilayah pedalaman.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.