Balada Penambang Emas Cina dari Kampung Parit Mas

0

TAK hanya warga Tionghoa yang bermukim di Pecinan, Banjarmasin. Komunitas Cina berada di Kampung Parit, yang dikenal dengan sebutan Cina Parit. Tepatnya di Kelurahan Angsau, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Warga Cina Parit masih mempertahankan identitas diri. Mereka membaur dan jadi pedagang di seputaran wilayah Pasar Tuntung Pandang Pelaihari, berbatasan dengan Kampung Sarang Halang.

DARI sumber  Leo Suryadinata menulis kebanyakan warga Cina Parit berasal dari suku Hakka, Theo Chiu, serta Hokkian. Misi mencari kehidupan yang lebih baik di tanah seberang, jauh dari tanah leluhur memotivasi mereka merantau. Ini ditambah lagi, hubungan mesra antara Kesultanan Banjar dan Kekaisaran Tiongkok, ketika itu.

Menurut Fajar Amrullah, saat Raja Banjar  Sultan Hidayatullah I (1570-1595) mengirim surat kepada Raja Tiongkok (Cina) untuk dikirim orang-orang yang ahli untuk pembangunan di Kesultanan Banjar.

BACA :  Leluhur dari Yunan, Etnis Tionghoa Membaur di Pacinan

Raja Tiongkok menyetujuinya. Dia kemudian mengirimkan sebelas orang laki-laki yang mempunyai kepandaian khusus. Mereka adalah ahli perkebunan, perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan, tumbuh-tumbuhan, perdagangan, perikanan, kerajinan dan obat-obatan.

Atas perintah Sultan Banjar pada saat itu yang berada di Martapura, kesebelas orang Cina tersebut dibawa ke Desa Parit dengan dikawal sebelas orang punggawa keraton.

Orang Cina ini di Desa Parit bekerja sesuai bidangnya. Sebagian dari mereka menggali parit dan menemukan emas, sehingga tempat penemuan tersebut dikenal dengan nama Parit Mas. Akhirnya, etnis Cina tersebut menetap dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Perkawinan etnis Cina Parit terbesar yakni dengan orang-orang Bukit/Meratus dan Kapuas Hulu.

Penduduk Cina Parit hidup dengan cara bertani, beternak, berkebun dan mengerjakan kerajinan industri seperti tempayan, inangan, belanga, piring melawen, serta peludahan yang terbuat dari emas dan perak.

BACA JUGA :  Kemesraan Raffles dan Hare, Sang Penguasa Banjarmasin

Barang-barang tersebut dijual ke Jawa dan Singapura. Barang-barang kerajinan lainnya yang dibuat oleh orang Cina, komoditas terbuat dari keramik dan batu-batuan seperti batu giok dan zamrud. Agama yang dianut oleh penduduk Cina Parit adalah campuran antara Konghucu dan Taoisme yang merupakan agama nenek moyang orang Tionghoa.

Pada versi lain seperti dituliskan dalam http://tanahlautonline.blogspot.com, etnis china yang didatangkan ke Pelaihari adalah etnis Cina Hakka, salah satu etnis yang kabarnya mempunyai karakteristik pekerja keras, mandiri dan mempunyai kemampuan bertani, beternak, berkebun dan membuat tembikar dan ahli dalam menambang emas.

Mereka  juga jujur dalam bekerja tetapi kurang memliki kemampuan dalam berdagang. Sebutan bagi pendatang dari Cina yang menggali emas tersebut disebut orang Cina Parit. Hal itu berlaku bukan saja di Kalimantan Selatan, namun para migrant Cina penambang timah yang datang ke Pulau Bangka dan Belitung.

Versi lebih lengkap mengenai latar belakang etnis Cina Parit dituliskan Bamang Subiyakto. Pada wilayah Maluka dan Tabanio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, terjadi pada tahun 1790-an. Alasan yang sama juga melatar belakangi pembentukan pemukiman Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu  atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu pada mulanya didatangkan sebanyak 13 orang, kemudian ditambah 70 orang yang langsung didatangkan dari Tiongkok.

BACA LAGI :  Hikayat Dua Klenteng Besar, Identitas Etnis Tionghoa Banjar

Kemudian atas bantuan Alexander Hare didatangkan pula sekitar 70 orang ke daerah itu. Pada dasawarsa kedua abad ke-19, jumlah mereka mencapai lebih dari 150 orang. Untuk memimpin komunitas Cina, diangkat Kapiten Cina disana berdasarkan keputusan Residen.

Dari sumber lain, sejak tahun 1817, Orang Cina Parit yang tinggal di wilayah Parit Mas, Distrik Pleihari, termasuk dalam Afdeeling Martapoera. Kapiten Cina di wilayah ini bernama Gho Hiap Seng.

Pada perkembangan selanjutnya di samping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula oleh Hare sekitar 4.000 orang pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi Maluka dan Pulau Sari, Tanah Laut. Mereka bekerja di perkebunan, serta bersedia menjadi kuli.

Selain itu, menurut Bambang Subiyakto, adanya permintaan Hare pada Sultan Sulaiman untuk menyediakan pekerja di perkebunannya memang dipenuhi. Akan tetapi Sultan Banjar, hanya mampu menyediakan sangat sedikit pekerja dari Jawa. Ketika itu, penduduk Banjarmasin dan Martapura, enggan menjadi kuli, akhirnya posisi itu diisi pendatang Cina dan Jawa.

BACA LAGI :  Ini Bukti Warisan Kesultanan Banjar Itu Kaya Raya, Sayang Rakyat (Belum) Sejahtera?

Pendapat lain disebut dalam http://tanahlautonline.blogspot.com bahwa orang Cina datang atas permintaan dari Kerajaan Banjar pada masa Puteri Junjung Buih dengan Patih Lambung Mangkurat pada abad ke 13. Tujuannya, membantu Kerajaan Banjar  sebagai tenaga ahli dalam penggalian emas di Pelaihari (kampong parit sekarang).

Mereka datang melalui Sungai Tabanio berjumlah 11  orang sebagai ahli pertambangan. Sebelas orang inilah yang pertama kali tinggal dan menetap di Kampung Parit untuk melakukan penambangan emas dengan sistem tabang. Mereka pun akhirnya beranak pinak hingga sampai sekarang.

Hanya saja, terdapat beberapa sanggahan untuk pendapat versi ini. Pertama, pada masa Puteri Junjung Buih ada di masa Kerajaan Negara Dipa sekitar abad ke-13. Di mana pada era itu belum terbentuk Kesultanan Banjar. Kedua, kalau datang melalui jalur Tabanio, kurang memungkinkan karena jaraknya terlalu jauh ke wilayah Kerajaan Negara Dipa di Amuntai sekarang.

Dari blog ini juga dituturkan bahwa nama Kampung Parit ini diambil dari kata parit atau saluran. Karena riwayatnya pada zaman dahulu kampung ini adalah sebuah tambang emas yang menggunakan parit atau saluran sebagai penampungan pasir emas.

Proses penambangannya pada setiap tanah yang mengandung emas digali kemudian tanah dari hasil penggalian tersebut dialirkan pada sebuah panggungan penampung air yang di bawahnya terdapat parit saluran air yang memanjang dan tertutup.

BACA LAGI :  Bukan Mitos, Kerajaan Negara Dipa Dibangun Bangsawan Tanah Jawa

Pada saat dibuka air yang ada di penampungan mengalir dan menyisakan pasir emas ditanah diparit atau saluran tersebut, system ini disebut sistem tabangan.

Kemudian dalam http://tanahlautonline.blogspot.com juga dituliskan bahwa kedatangan orang Cina ke Kalimantan Selatan sebenarnya sudah lama jauh sebelum kedatangan mereka di Kampung Parit Pelaihari. Awalnya mereka diundang oleh Empu Jatmika, pendiri Kerajaan Negara Dipa (1387-1495).

Saat itu, kerajaan memerlukan pematung logam yang hanya dikuasi oleh pengrajin asal Tiongkok. Selanjutnya, makin berkembang, dengan kedatangan para pedagang Cina di masa Sultan Hidayatullah I (1570-1595)

Data yang memperkuat keberadaan orang Cina di Pelaihari, Johannes Jacobus Hollander (1874) dalam Handleiding bij de beoefening der land en volkenkunde van Nederlansch Oost Indie menuliskan daerah pegunungan di wilayah Tanah Laut mengandung berlian dan emas. Terutama, di Sungai Tabanio sekitar Gunung (Gebergte) Sakoembang, yang digali oleh orang-orang Cina. Dalam penambangan ini Orang Cina membayar pajak kepada pemerintah.

Selain itu, dalam sumber ini juga dituliskan sebagian besar orang Cina memang bermata pencaharian menambang. Lokasi utamanya di sekitar Distrik Palaihari atau Pleihari, tepatnya terletak dua atau tiga mil ke pedalaman, tepi kiri Tabanio. Lada juga banyak ditanam ditemukan di sekitar tambang emas tersebut.

Pada wilayah ini terdapat Benteng Belanda. Sementara di daerah Kandangan, agak jauh di selatan dari Pleihari, dihuni oleh orang Cina, yang mengerjakan tambang emas di tempat itu. Koepang atau Soengei Koepang, sebuah kampung kecil setengah jam di bawah.

Dari data sejarah di atas dapat direkonstruksi kembali keadaan sosial budaya masyarakat di daerah Tanah Laut, yang dicirikan budaya Cina, walaupun tidak dapat dikesampingkan ada dalam mayoritas budaya lokal.

Demikian pula datangnya orang Jawa mengindikasikan adanya pluralisme di daerah Tanah Laut. Dapat disimpulkan dengan hadirnya beberapa etnis yang beragam mencirikan keadaan yang dinamis di daerah itu, tentu budaya yang berkembang semakin beragam. Hingga, terjadi akulturasi dengan budaya lokal.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

 

Pencarian populer:Tambang Emas batu di pelaihari

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.