Bupati Kotim Resmi Jadi Tersangka Korupsi Pemberian Izin Tambang

0

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Supian Hadi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Kotim. Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif meyatakan status perkara sudah masuk dalam tahap penyidikan.

DALAM kesempatan jumpa awak media, Jum’at (1/2/2019) malam di Jakarta, Laode menyatakan Supian Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus TPK penyalahgunaan wewenang pemberian IUP, kepada tiga perusahaan yakni PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Aries Iron Mining dan PT Billy Indonesia di Kabupaten Kotawaringin Timur.

Menurutnya, sebagaimana diatur dari pasal 44 ayat (1) nomor 30 tahun 2002 tentang KPK telah menyelesaikan penyelidikan dengan mengumpulkan informasi dari data hingga terpenuhi bukti yang cukup. Maka KPK menetapkan perkara ini menjadi penyidikan.

“Berdasarkan bukti bermulaan yang diterima oleh KPK, maka kami menemukan adanya dugaan tindakan pidana korupsi dalam pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di Kotawaringin Timur tahun 2010 hingga 2012,” katanya.

BACA: Beredar Status Tersangka Bupati Kotim, Gubernur Kalteng : Lihat Dulu Perkembangannya

Konstruksi perkara ini berawal dari dilantiknya Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi hingga mengangkat teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai Direktur dan Dirut pada PT FMA dan masing-masing mendapat jatah lima persen saham.

Pada Maret 2011, Supian Hadi menerbitkan surat keputusan izin usaha pertambangan (SK IUP) untuk operasi produksi seluas 1.671 hektare kepada PT FMA yang berada di kawasan hutan.

Padahal, Supian mengetahui bahwa PT FMA belum memiliki sejumlah dokumen perizinan, seperti izin lingkungan/AMDAL dan persyaratan lainnya yang belum lengkap.

“Sejak November 2011, PT FMA memulai operasi produksi pertambangan bauksit dan melakukan ekspor ke Cina,” ujarnya.

Pada akhir November 2011, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang pada waktu itu memang sempat mengirimkan surat pada Supian agar menghentikan operasi usaha pertambangan ini. Namun, PT FMA tetap melakukan kegiatan pertambangan hingga 2014.

“Akibatnya, PT FMA tidak sesuai dengan ketentuan. Apalagi, menurut ahli pertambangan diduga merugikan uang negara yang dihitung dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan hidup dan merugikan kehutanan,” ucapnya.

BACA JUGA: Menata Kotim dan Sampit Perlu Kolaborasi Instansi Terkait

Kasus lain, pada Desember 2010, Supian Hadi memenuhi permohonan dengan menerbitkan SK IUP eksplorasi tanpa melalui proses lelang wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP) kepada PT BI yang sebelumnya tidak memiliki kuasa pertambangan (KP).

Pada Februari 2013, Supian Hadi menerbitkan SK tentang persetujuan peningkatan ijin usaha pertambangan eksplorasi menjadi ijin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT BI meski tidak dilengkapi dokumen AMDAL.

Tak berselang lama kemudian Supian Hadi menerbitkan keputusan tentang ijin lingkungan kegiatan usaha pertambangan bijih bauksit PT BI dan keputusan tentang kelayakan lingkungan rencana kegiatan pertambangan bijih bauksit.

Bahwa berdasarkan perijinan tersebut, sejak Oktober 2013, PT BI melakukan ekspor bauksit. Akibat perbuatan Supian Hadi, maka PT BI melakukan kegiatan produksi yang menurut ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian negara yang dihitung dari hasil produksi setelah dikurangi royalti yang telah dibayarkan dan kerugian lingkungan.

Berbeda kasus lagi, Supian Hadi juga ketahuan menerbitkan IUP Eksplorasi pada PT AIM tanpa melalui proses lelang wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP). Padahal, perusahaan tersebut juga tidak memiliki kuasa penambangan (KP).”Akibatnya PT AIM melakukan kegiatan eksplorasi yang merusak lingkungan,” katanya.

BACA LAGI :  KPK Ditantang Usut Korupsi Pertambangan dan Perkebunan

Dijelaskan Laode, kerugian negara diduga sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI hingga PT AIM.

Nah, dalam memuluskan niatnya dalam mendapatkan izin dari Supian Hadi, ketiga perusahaan tambang itu diduga memberikan sejumlah mobil mewah yang total nilainya mencapai Rp 2,5 miliar.

“Mobil Toyota land cruise senilai Rp 710 juta, mobil Hummer H3 senilai 1,3 miliar dan uang sebesar Rp 500 juta,” paparnya.

Dengan dilakukan penyidikan ini, maka bertambah lagi daftar kepala daerah yang dijerat dalam kasus korupsi, baik dugaan penerimaan suap ataupun penyalahgunaan dalam pemberian ijin pertambangan.

Tentunya pihak KPK prihatin, karena potensi sumber daya alam yang begitu besar dikuasai oleh hanya sekelompok pengusaha.

“Apalagi, kajian sumber daya alam KPK menemukan sejumlah persoalan tumpang tindih wilayah yang merugikan keuangan negara dan praktik bisnis yang tidak beretika dan melanggar aturan,” pungkasnya. (jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Donny Muslim

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.