Kutukan Demokrasi dan Politisasi Kebencian

0

HIRUK pikuk jagat perpolitikan nasional di tengah turbulensi politik yang sarat caci maki dalam pertarungan demi merebut opini publik sudah sampai pada titik nadir dan kutukan demokrasi yang membahayakan.

KUTUKAN demokrasi itu hadir di tengah pertempuran memperebutkan wacana publik (public discourse) di tengah medan tempur yang sarat kebencian dan memuakkan itu. Alih-alih para aktor dan para oligarki mengedepankan keadaban berpolitik, justru lebih mempertontonkan banalitas politik dan kedunguan di tengah fragmentasi politik publik yang semakin liar.

Di tengah banalitas dan keliaran politik, massa rakyat tidak bisa lagi dimobilisasi dan di dikte seenaknya menut kehendak para elite politik yang sedang merebut simpatik suara publik.

BACA :  Mengharumkan Uniska, Uhaib As’ad Masuk Deretan Editor Jurnal Internasional

Apalagi, di tengah pragmatisme politik, nilai suara  publik saat ini nyaris tidak lagi  sebagai refleksi yang menggambarkan rasional politik. Yang terjadi justru  terbangun rasionalitas palsu di tengah absurditas perebutan panggung politik.

Pesta sedekah suara publik pada Pilpres 17 April 2019 datang, publik pun tidak peduli bahwa suara itu mau jadi apa dan ke mana akhir ceritanya. Yang hadir dalam imajinasi sosiologi publik bahwa inikah yang disebut pesta demokrasi yang menghabiskan puluhan triliun duit negara.

Apatisme dan pragmatisme politik yang terstruktur dalam imajinasi politik publik sesungguhnya sebuah bentuk kegagalan dalam membangun kecerdasan berdemokrasi setelah sekian lama negeri ini berada dalam sangkar demokrasi otoriter Orde Baru.

BACA JUGA :  Pemerintahan Bayangan, Aktor Lokal dan Arena Pilkada

Di tengah transisi demokrasi saat ini panggung institusi kekuasaan semakin menarik diperebutkan para politisi yang memilik kekuatan modal. Panggung demokrasi tersandera oleh kuasa modal, karena faktanya hanya orang-orang yang memiliki modal besar yang berpeluang menguasai panggung demokrasi.

Inilah yang disebut kutukan demokrasi (democracy curse) yang di tengah dahsyatnya turbulensi politik. Pertanyaannya adalah mengapa kutukan demokrasi itu hadir? Mengapa politisasi kebencian dalam memperebutkan opini publik itu menjadi iklan yang menarik? Memproduksi kebencian dalam dunia politik bagi sebagian orang mungkin dianggap hal yang biasa saja dan bahkan perlu dalam rivalitas kekuasaan.

BACA JUGA :  Pilkada Kalsel Sudah Mengarah ke Demokrasi Pasar Gelap

Pemandangan seperti ini telah hadir dan menjadi tontonan sehari hari bagi rakyat di negeri. Rakyat pun menjadi penikmat setia dari perdebatan-perdebatan politik itu. Bahkan bisa menjadi hiburan yang menarik. Di warung kopi dan kerumunan rakyat, narasi-narasi politik keluar dari mulut mereka dengan bangunan argumentasi rasional.

Mengapa mendukung Jokowi dan kenapa tidak mendukung Prabowo? Publik punya nalar politik sendiri yang lahir secara natural sebagai hasil interakasi keseharian para komunitas-komunitas (pedagang asongan,  abang becak, dan anak-anak jalanan) yang nyaris tidak pernah bersentuhan atau tidak pernah dididik oleh partai-partai politik yang ada.

Ya, konstruksi sosial atau imaginasi sosio-politik itu lahir secara natural saja, karena partai politik tidak pernah memperlakukan massa rakyat sebagai bagian dan konstruksi demokrasi. Absurditas konstruksi demokrasi itu hadir di saat merindukan suara rakyat untuk kepentingan caleg, pilbup, pilgub, dan pilpres saja.

BACA LAGI :  Demokratisasi Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki Lokal

Dalam sejarah Indonesia Modern seperti ditulis Ben Anderson, kekuatan rakyat selalu dihadirkan manakalah negara itu memerlukan dukungan politik atau semangat nasionalisme rakyat dan setelah itu rakayat di tinggal pergi.

Selanjutnya para demogog penguasa akan berpesta pora dalam sangkar kekuasaannya. Tidak aneh, bila sinisme publik muncul ketika para demagog menyampaikan titah-titah politiknya di ruang publik. Perebutan ruang publik telah penuh sesak dengan dengan bungkus janji-janji politik. Janji-janji politik telah memuakkan nurani publik.

BACA LAGI :  Perselingkuhan Bisnis dan Politik: Suatu Peta Teoritik

Nurani publik sudah terasah, mana narasi omong kosong dan mana pembual. Alih-alih mewakili kepentingan publik, partai politik telah menjadi kartel, arena pesekongkolan para demagog yang haus kuasa. Partai politik sejatinya menjadi instrumen demokrasi justru meredukasi substansi demokrasi menjadi kutukan di negeri ini.

Tengok saja, berapa banyak elite partai terjerat kasus hukum dan manadikan partai menjadi kuda tunggangan sekadar berebut kuasa dan ekononi.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

Editor Asian Institute of Research and Journal of Social and Political Sciencies

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.