Semangat Gowes dan Senja Kala Pasar Sepeda Niaga Timur

0

GOWES. Kata ini sangat populer, ketika sepeda tak lagi jadi moda transportasi, tetapi sudah bertransformasi menjadi gaya hidup, bukan sekadar untuk berolahraga. Kata gowes, ada yang menyebut berasal dari serapan bahasa Jawa, berarti genjot ora genjot wis teles, padanannya dikayuh atau tidak dikayuh, terpenting badan tetap basah.

ADA juga mengartikan gowes itu plesetan dari kosa kata bahasa Inggris ‘go west’ atau pergi ke barat. Sederhananya, gowes berarti mengayuh pedal pada sepeda. Kata gowes pun seperti lebih gaul dan enak didengar di telinga, dibandingkan mengayuh sepeda.

Sebelum menjadi tren di tengah masyarakat, termasuk publik Banjarmasin, ditandai hadirnya komunitas gowes dari sepeda gunung, sepeda onthel hingga sepeda BMX.

Padahal, dalam catatan sejarah Kalimantan Selatan, justru di era Gubernur Abrani Sulaiman yang memerintah pada 1963-1968, pernah menerapkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk menunggang sepeda ‘onta’ ke kantor.

BACA :  Masa Keemasan Berlalu, Pamor Pasar Sepeda Niaga Timur Terus Memudar

Sebagai tokoh pejuang dan Ketua Panitia Persiapan Proklamasi Kalimantan 17 Mei 1949, di masa Gubernur Aberani Sulaiman dikenal dengan sebutan sepeda jengki, serapan kata dari Yankee. Yankee sendiri merupakan sebutan bagi warga Amerika Serikat yang merupakan pendatang dari Inggris atau New England.

Tepatnya, kebijakan itu diberlakukan bagi PNS Pemprov Kalsel untuk mengayuh sepeda ke kantor, akibat minimnya anggaran pemerintahan itu berlangsung pada 1966. Ini ditambah situasi politik Indonesia yang saat itu tak menentu.

Jadilah, sepeda impor merek Benny, Simplex, Batavia, dan Eagle menjadi tunggangan dinas para PNS Pemprov Kalsel. Nyaris, semua pejabat tinggi hingga rendah merasakan kebijakan bersepeda ke kantor. Kini, dengan alasan ramah lingkungan, sepeda atau gowes ke kantor kembali dipopulerkan.

BACA JUGA  :  40 Kali Mencoba, Warga Basirih Surya Husaini Sukses Ciptakan Sepeda Air

Kejayaan sepeda juga tak lepas dengan keberadaan dengan Pasar Sepeda Niaga Timur. Sebuah pasar yang awalnya berupa ladang ilalang, berubah menjadi pusat perdagangan moda transportasi murah dan ramah lingkungan itu di Banjarmasin.

H Samsuni, meski merupakan generasi kedua di Pasar Sepeda Niaga Timur, pernah mengecap kejayaan sepeda di pasar yang termasuk dalam satu kawasan Pasar Cempaka Banjarmasin itu.

“Generasi awal yang membangun Pasar Sepeda Niaga Timur ini, tepatnya sekitar tahun 1960. Dulu, tempat ini merupakan hutan ilalang. Kemudian ditebas, jadilah tanah lapang, tempat berjualan sepeda,” kata H Samsuni kepada jejakrekam.com, belum lama tadi.

Berbagai merek sepeda terutama barang impor pun didatangkan ke Pasar Sepeda Niaga Timur. Sebut saja, Raleigh, Philip, Borges, Simplex, Benny, Norton, Robinson, Eagle dan produk teranyar asal Tiongkok, Phoenix, menghiasi ‘etalase’ kios para pedagang sepeda.

BACA LAGI :  Gowes Malam ala PT Pelindo III, PT Ambapers, dan Walikota Banjarmasin

“Memang, masa kejayaan pasar sepeda ini silih berganti. Era para pendahulu itu, sepeda onthel atau sepeda onta yang merajai pasaran, ketika itu,” ucap H Samsuni.

Agar semua para pedagang sepeda bisa akur, akhirnya dibentuk Persatuan Pedagang Sepeda Banjarmasin (PPSB). Ketika itu, jumlah anggotanya mencapai 50 hingga tembus 100 orang lebih. Kini, yang tersisa hanya belasan pedagang saja yang aktif berdagang.

Waktu berdetak, tren sepeda pun berubah. H Samsuni pun ingat betul, ketika kejayaan kedua datang pada 1980-1986, sepeda BMX lebih banyak diincar para pembeli, menggantikan masa emasnya sepeda onthel.

Merek-merek produk asal Eropa pun digantikan merek lokal dan Tiongkok, Taiwan dan Jepang. Ada beberapa merek yang laris manis di pasaran ketika itu, seperti Johnson dengan setang sepeda khasnya, Olympic, Oyama, Paradex, Golden Eagle dan lainnya.

BACA LAGI : Tunjukkan Soliditas, TNI/Polri Gowes Bersama di Banjarmasin

“Waktu itu, harga sepeda berkisaran Rp 85 ribu hingga Rp 100 ribu per buah. Dari berjualan sepeda itu, kami dapat untung banyak,” kenang H Samsuni.

Pria asal Barabai yang nekat merantau ke Banjarmasin ini bercerita tiap akhir pekan, Pasar Sepeda Niaga Timur selalu ramai. Apalagi, saat itu, lokasinya berdekatan dengan Bioskop Cempaka dan bioskop lainnya.

“Jadi, orang habis nonton film siang hari, pulangnya beli sepeda di sini. Waktu itu, kebanyakan yang beli sepeda untuk anak-anak adalah para karyawan pabrik kayu lapis. Tiap gajian, pasti mereka ke pasar beli sepeda terbaru atau tukar tambah,” papar H Samsuni.

Ketika banyak pabrik kayu gulung tikar, ditambah animo masyarakat untuk bersepeda kian menurun, imbasnya sangat dirasakan pedagang Pasar Sepeda Niaga Timur.

Ditambahkan H Dinoor, pedagang sepeda lainnya, jika biasanya satu toko bisa menjual 20 unit sepeda, lambat laun sebiji pun tak laku dalam sepekan.

Pedagang yang akrab disapa Didin ini mengatakan ketika krisis moneter (krismon) melanda pada 1998, semua orang terpaksa ikat pinggang. “Ya, sampai tahun 1990-an, sebenarnya pasar sepeda ini tetap jadi pilihan utama warga Banjarmasin dan sekitarnya untuk beli sepeda. Sejak krismon, semua jadi buyar,” ucap Didin.

BACA JUGA :  Gowes Berombongan, Menikmati Malam Akhir Pekan di Banjarmasin

Sejak itulah, gudang Pasar Sepeda Niaga Timur yang biasanya mampu menampung 200 unit, lamat-lamat makin berkurang. Para pedagang tak berani lagi menyetok sepeda begitu banyak, takut tak laku.

“Dari dulu sampai sekarang, mana ada orangtua menyuruh anaknya bersepeda ke sekolah. Apalagi, mudahnya kredit sepeda motor, sepeda akhirnya ditinggalkan,” kata Didin, menghela nafas dalam-dalam.

Di awal 2000 hingga sekarang, Pasar Sepeda Niaga Timur seperti menanti waktu. Senja kala kini tengah mendera. Menurut Didin, dibandingkan masa keemasan, sekarang jumlah pedagang kian berkurang dan bisa dihitung dengan jari, ditambah penghasilan pun menghilang sampai 70 persen.

“Sekarang, toko atau kios sepeda berubah fungsi. Jadilah, tempat usaha deko, dan warung. Sisanya, ya jadi tempat jual beli motor bekas. Walau sebagian kecil masih bertahan berjualan sepeda,” tuturnya.

Ditambah persaingan dengan hadirnya toko-toko sepeda bermerek, Pasar Sepeda Niaga Timur pun kini mulai tergilas zaman. Meski saat ini tengah bergelora semangat gowes, toh tak signifikan mengangkat derajat para pedagang sepeda di pasar itu.

“Makanya, kami beralih jual beli motor bekas. Sebagian pedagang sepeda lainnya buka toko di tempat lain. Yang lainnya, berhenti berdagang,” imbuh Didin.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.