Ketika ‘Calap’ (Banjir) Mendera Kota, Siapa yang Salah (2)?

0

SEJUJURNYA saja, air bertingkah di Kota Banjarmasin bukanlah melulu kesalahan membangun atau menyiapkan drainase. Tapi ada kesalahan sejarah dan bahkan mendasar yang menjadi penyebab utamanya. Sepanjang penyebab utama ini tidak diatasi, maka pasti masalah calap atau banjir selalu mendera Kota Banjarmasin.

HAMPIR dipastikan tiap tahun akan semakin merepotkan. Apalagi, kalau tidak tepat dan salah dalam membuat rencana pembangunan ke depan, maka bisa diprediksi suatu saat musibah banjir akan melanda ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini.

Bila saja, mau berjeda sejenak dan mencoba belajar  atau ‘flast back’ ke masa lampau tentang karakteristik Kota Banjarmasin. Terutama, terkait dengan pengelolaan oleh alam terhadap gerak langkah air. Maka, kita dapatkan makna pengaturan alam  terhadap kondisi kota ini. Alam ternyata lebih bisa beradaftasi dan membuat pola tata kelola yang baik.

Kota Banjarmasin dan juga kota yang kondisi geografis atau alamnya berkarakter rawa dengan pasang surutnya, maka dipastikan akan selalu bersentuhan langsung dengan air. Bahkan, air akan menjadi teman abadinya. Dengan kondisi inilah, maka Banjarmasin disebut kota 1000 sungai.

BACA :  Ketika ‘Calap’ (Banjir) Mendera Kota, Siapa yang Salah (1)?

Sebenarnya nama 1000 sungai tersebut bukan berarti jumlah sungai ada 1000. Tapi, disebabkan saking banyaknya air yang mengelilingi bahkan membasahi daratan Kota Banjarmasin. Jadi, ketika itu sulit untuk dihitung lalu oleh ‘orang bahari’, hingga dimetaforakan sebagai 1000 sungai.

Seribu atau 1000 adalah simbol sangat banyak atau sulit dihitung sesuai dengan kondisi tempo dulu. Sisi lain, posisi Kota Banjarmasin yang berada di bawah permukaan laut sekitar 16 atau 17 centimeter, mengutip data terdahulu yang membuat air menjadi mudah masuk mencapai daratan. Jadi, ketika pasang mendera, maka otomatis daerah rendah akan tergenang.

Nah, banyaknya genangan inilah yang juga menjadi penguat sebutan Kota Banjarmasin sebagai Kota 1000 sungai.  Akan tetapi menariknya faktor alam Kota Banjarmasin yang rentan terhadap air,  diatasi oleh alam melalui sistem tata kelola air yang canggih.

BACA JUGA :  Air Sungai Meluap, Sejumlah Kawasan di Kayutangi Mulai Terendam

Sistem tersebut dibentuk melalui adanya daerah resapan air atau embung , danau dan telaga yang berfungsi sebagai rumah atau rest area, atau bisa disebut pula penampungan sementara air. Kemudian juga ditunjang dengan adanya sungai kecil, menengah dan besar yang saling terhubung.

Sebab, sungai merupakan tempat sirkulasi air ketika pasang dan ketika surut. Sungai pada dasarnya adalah jalan  tempat hilir mudiknya air, mulai dari daratan menuju sungai dan ujungnya akan bertemu di laut yang merupakan rumah besarnya air.

Inilah sistem drainase alam yang sangat pas dan kuat dalam menjaga serangan pasang surut dan hujan sebagai penyebab calap atau banjir yang rutin mendera kawasan daratan Kota Banjarmasin.

Dalam hal ini sebenarnya dengan mudah bisa disimpulkan dua hal utama yang penting diperhatikan, terkait tata kelola air di Kota Bannjarmasin.

Yakni, pertama masalah rumah atau rest area dan kedua terkait jalan air. Bila kedua hal ini bisa dijaga, dipelihara secara bersinambungan maka dipastikan air akan bisa tertib dalam melaksanakan aktivitas alamiahnya.

Sayangnya, potensi kedua hal ini tidak dikelola dengan tepat guna. Area resapan air dengan fungsi sebagai rumah atau rest area sebagai tampungan persinggahan air justru semakin nenipis menuju habis. Begitu pula sungai sebagai jalan lalu lalang air tidak bisa dijaga kelestariannya oleh Kota Banjarmasin.

BACA LAGI :  Jadi Masalah Menahun, Jalan Prona Tergenang Tiap Hujan Deras

Gebyar pembangunan yang tidak ramah lingkungan dari tahun ke tahun selalu dibiarkan bahkan didukung oleh pemerintah kota. Bahkan sampai saat ini. Walaupun Kota Banjarmasin sangat membanggakan dengan sungainya, sehingga pernah tema Hari Jadi Kota pun mengangkat ‘Kota Banjarmasin sebagai Kota Sungai Terindah’. Tapi, apa dinyana, hanyalah sekadar asyik di kata, justru melupakan makna.

Sungai di kota ini tetap semakin terdegradasi dari segi pemanfaatan. Malah, sungai seolah hanya kuat dimunculkan untuk dijadikan faktor estetika visual atau etalasi kota saja. Sedangkan fungsi sungai dalam arti sebenarnya belum bisa ditampilkan dengan  tepat guna. Utamanya, sungai sebagai  jalan air belum tergarap dengan baik.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan

Arsitek di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.