Eks Ketua KPU Kalsel Sebut KPU RI Terlalu Reaktif Sikapi Hoaks

1

PRESIDIUM Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalimantan Selatan Dr Samahuddin Muharram mengakui penyelenggaraan Pemilu 2019 berisi dua agenda utama; pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden harus segaris lurus dengan peningkatan partisipasi pemilih.

KINI, pemilih yang terbiasa dihadapkan empat surat suara seperti Pemilu 2014 dan 2009, harus memilih lima surat suara di tempat pemungutan suara (TPS), mulai surat suara DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan surat suara pasangan Capres-Cawapres RI pada Rabu (17/4/2019) mendatang.

“Inilah mengapa KPU harus proaktif sosialisasi pemilu agar bisa sampai ke masyarakat. Soal, kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu di Kalsel, termasuk tinggi. Kini tinggal bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan publik,” tutur Samahuddin dalam diskusi publik bertema Pemilu 2019 di Hotel Golden Tulip, Banjarmasin, Sabtu (12/1/2019).

BACA :  Himpun Eks Komisioner KPU dan Bawaslu, JaDI Kalsel Segera Dideklarasikan

Mantan Ketua KPU Kalsel ini mengeritik sepatutnya penyelenggara pemilu tidak terlalu reaktif menanggapi informasi hoaks atau pemberitaan. Menurut Samahuddin, terpenting adalah KPU bekerja berdasarkan aturan saja.

“KPU tak mengurusi berita hoaks. Karena hal itu akan terjawab sendiri di tengah-tengah masyarakat bahwa KPU memang bekerja sesuai aturan. Jadi, pemberitaan hoax itu akan tertutupi dengan sendirinya,” ucap staf khusus bidang politik Gubernur Kalsel ini.

Sementara, menurut Samahuddin, justru KPU Kalsel tidak terlalu reaktif menanggapi pemberitaan hoax dan bekerja berdasarkan aturan. Bagi dia, yang jadi pangkal masalahnya ada pada KPU RI yang dinilainya terlalu reaktif.

BACA JUGA :  Total Pemilih Kalsel di Pemilu 2019 Capai 2.879.401 Orang

Ambil contoh, adanya informasi yang menyebutkan ada tujuh kontainer berisi surat suara Pilpres 2019 yang telah dicoblos.

“Seharusnya, KPU RI tak perlu reaktif. Mengingat surat suara saat ini belum pada tataran percetakan. Andaikata, hal itu terjadi, ini tentunya merupakan praktik pidana pemilu atau kriminal. KPU tak perlu masuk ke ranah itu karena itu sudah kewenangan polisi,” cetus dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini.

Malah, Samanuddin menilai secara tidak langsung KPU RI telah memasukkan diri dalam jebakan pemberitaan hoaks itu. Bagi dia, yang mestinya disikapi adalah terkait pemilih ganda maupun hak konstitusional negara yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat Pemilu 2019 nanti.

“Nah, itu yang mesti ditanggapi dengan secepat. Jangan sampai KPU RI masuk dalam jebakan berita hoaks,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.