Nasib Ironis Guru Honorer

0

SEJUMLAH guru honor di Tabalong, menanggapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Mereka beranggapan PP tentang P3K tidak berpihak pada guru honor yang telah lama mengabdi. Dalam pasal 16, dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia punya hak sama untuk menjadi P3K. Usia pelamar P3K pun paling rendah 20 tahun, dan paling tinggi setahun sebelum memasuki masa pensiun.(tvtabalong.com, 12/12/2018)
Hal tersebut membuka peluang bagi pencari kerja yang baru lulus kuliah untuk ikut ambil bagian dalam seleksi P3K. Padahal yang diharapkan oleh tenaga honorer, khususnya yang sudah lama mengabdi, bisa diberikan penghargaan terbaik selama pengabdiannya yaitu dengan diangkat sebagai PNS.

PERATURAN tersebut mucul ketika guru honorer menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah terkait penerimaan CPNS yang baru saja berlangsung. Banyak dari mereka yang sudah lama mengabdi hingga belasan tahun, tak dapat ikut penerimaan karena terkendala usia. Padahal untuk pengalaman kerja sudah tidak diragukan lagi. Bahkan bisa jadi lebih professional dibandingkan dengan yang berstatus PNS. Ada juga yang sudah mengikuti ujian seleksi namun passing grade tidak masuk dalam kualifikasi yang ditetapkan oleh penyelenggara penerimaan seleksi CPNS.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) menilai PP tersebut merupakan sebuah aturan yang tidak adil. Ia menyorotis kemarekrutmen P3K yang tidak memperhitungkan lamanya tenaga honorer mengabdi untuk negara. Rekrutmen hanya dilakukan secara umum berdasarkan hasil tes semata. Ia juga mempertanyakan klaim pemerintah yang menyebut PNS dan P3K akan mendapat hak keuangan yang sama. Pada intinya ia menuntut agar pemerintah tetap bisa mengankat tenaga honorer sebagai pegawai negeri sipil, bukan P3K.(tribunnews.com, 04/12/2018).

Masalah perbedaan status ini hanyalah sedikit bagian dari peliknya polemik yang dihadapi kaum guru. Semua itu tak lepas dari permasalahan sistemik dalam dunia pendidikan. Di mana kita ketahui, sistem pendidikan saat ini terikat dengan sistem kapitalisme. Sistem tersebut meniscayakan lepasnya peran negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Di negeri ini, 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan ternyata belum mampu memberikan pelayanan terbaik untuk para guru, termasuk memberikan upah yang semestinya.

Sungguh disayangkan, negeri yang memiliki SDA berlimpah, namun kekurangan pemasukan dana APBN. Penyebabnya, pengelolaan SDA tersebut diserahkan kepada pihak swasta. Alasannya, negara tak mampu mengelolanya sendiri. Maka wajar jika kemudian kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang, yakni para kapitalis.

Kondisi saaat ini menunjukan kepada kita betapa ironisnya nasib mereka sebagai tenaga honorer.
Mereka yang berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan yang terbaik. Mirisnya, honor yang didapat tidak sesuai dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Belum lagi sulitnya administrasi dalam pemenuhan yang menjadi hak.

Wajarlah keinginan mereka untuk menjadi tenaga tetap dalam hal ini diangkat sebagai PNS menjadi cita-cita para guru honorer. Belum lagi ekonomi saat ini semakin sulit dan meberikan tekanan yang sangat luar biasa dalam kehidupan. Kebutuhan semakin tinggi namun pemenuhannya semakin sulit.
Dinegeri ini, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini benar, tapi tidak semua guru dijunjung semulia itu. Mirisnya adalah perbedaan mencolok antara nasib guru PNS dan honorer. Keberadaan mereka penting karena mengisi kekurangan guru negeri untuk mencerdasakan anak bangsa, tetapi nasib mereka seperti berada di lorong gelap. Bukankah sebuah kezaliman jika para guru honorer yang jasanya amat nyata bagi bangsa bernasib tetap merana.

Posisi Guru dalam Islam

Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia di sisi Allah SWT. Karena guru adalah sosok yang dikarunia ilmu oleh Allah SWT. Dengan ilmunya, dia menjadi perantara manusia lain untuk mendapatkan, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga mendidik mereka agar cerdas secara spiritual yakni memiliki kepribadian Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara. Guru mendapatkan gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al-Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab member gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; jika saat 1 gram emasRp. 500.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).

Sungguh luar biasa, dalam Islam Kaffah para guru akan terjamin kesejahteraannya. Tidak ada perbedaan status PNS atau honorer. Semua mendapatkan hak yang sama. Dengan itu, guru dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya. Tidak dipusingkan untuk membagi waktu dan tenaga mencari tambahan pendapatan.

Tidak hanya itu, Negara dalam Islam Kaffah juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma untuk menunjang profesionalitas guru dalam menjalankan tugas mulianya. Dengan demikian mereka bisa meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini akan membuat guru biar focus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan Negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Kesejahteraan guru seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.  Karena hanya sistem Islam yang akan memberikan kesejahteraan sejati. Dan dengannya pula rahmat bagi semesta akan tercipta.(jejakrekam)

Penulis adalah tenaga pendidik dan tinggal di Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.