Wacana Penghidupan Kembali Mata Pelajaran PMP

0

WACANA penghidupan kembali Pendidikan Moral Pancasila (PMP)  dalam kurikulum di Indonesia kembali digaungkanoleh Kementrerian Pendidikandan Kebudayaan (Kemdikbud). Marakanya fenomena radikalisme, intoleransi, individualistic dan serentetan pertikaian-pertikaian yang terjadi ditubuh bangsa ini, kiranya itulah yang melatarbelakangi alasan perlunya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dihidupkan kembali.

WACANA itu dimunculkan oleh Direktur Jenderal Guru danTenaga Kependidikan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Supriano usai menghadiri upacara peringatan Hari Guru di Gedung Kemendikbud. Tentu, ada beberapa catatan yang kiranya perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan jika seandainya wacana ini benar-benar direalisasikan.

Pertama, sejarah mencatat PMP mulai diajarkan disekolah sejak diberlakukanya kurikulum 1975, dalam kurikulum 1994 pendidikan Moral dan Pancasila mendapatkan format yang baru yakni berubah nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tetapi dalam kurikulum sesudahnya yaknikurikulum 2004 dan 2006 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berubah hanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Lalu, dalam format kurikulum 2013 dikembalikan menajdi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Ada beberapa yang menjadi alasan mengapa PMP, PPKn, dan PKn sering mengalami perubahan istilah.

BACA : Pengembalian Pengajaran PMP Disambut Baik Disdik Banjarmasin

Reformasi dengan segala macam tuntutanya agar membersihkan kroni-kroni Orde Baru dalam segala bidang kehidupan berbangsa berimbas kedalam dunia pendidikan. Puncaknya, adalah ketika disyahkanya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang hanya memuat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menghilangkan Pendidikan Pancasila dalam kerangka kurikulum sistem pendidikan.

Pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas yang menjelaskan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan, tidak akan ditemukan nama PMP. Kemudian aturan tersebut dikuatkan dalam semua Permendikbud tentang Standar Isi dan aturan teknis penyelenggaraan Kurikulum 2013 lainnya, tidak akan menemukan nama PMP.

Jika wacana menghidupkan PMP ini direalisaikan maka pemerintah harus mencarikan landasan hukumnya. Artinya, pemerintah harus merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional tersebut karena undang-undanganya tersebut belum memberikan landasan hukumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di dalam kurikulum.

Kedua, formulasi materi majar Pendidikan Moral Pancasila ini nantinya apakah akan menjadi matapelajaran tersendiri (monolitik) atau menjadi mata pelajaran yang terintegrasi dengan mata pelajaran PPKn atau mata pelajaran yang lain. Jika nantinya menjadi mata pelajaran tersendiri maka struktur kurikulum pendidikan nasional akan kembali mengalami perubahan.

PPKn secara filosofis, yuridis, sosiologis, dan pedagogis dirancang berdasarkan dan bermuara pada Pancasila, UUD NRI Th 1945, komitmen terhadap NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal itu tercermin dalam rumusan semua kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) dari semua jenjang pendidikan sekolah dasar sampai sekolah atas menengah bahkan perguruan tinggi.

Artinya, secara utuh konseptual dan program atik nilai dan moral pancasila sudah ada dan menjadi jiwa  (built in ad inharent) sebagai jatidiri dari mata pelajaran PPKn.  Namun yang diperlukan adalah cara mengaktualisasikan nilai dan moral Pancasila ini dalam iklim pembelajaran, lingkungan belajar, keteladanan pemangku kepentingan.

Jadi kiranya sangat naif dan misleading jika nilai dan moral Pancasila akan diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri (monolitik). Sejak lahir mata pelajaran Civics 1961 sampai dengan kurikulum 2013 dengan istilah yang beganti-ganti esensinya masih sama yakni adalah virtues or values education yakni pendidikan moral dan nilai Pancasila.

Ketiga, wacana penghidupan kembali mata pelajaran PMP ini apakah nantinya akan berdampak diberlakukanya kembali program P4 yakni program pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni penjabaran butir-butir Pancasila berdasarkan tafsir pemerintah. Yang oleh sebagian kalangan program ini adalah suatu alat polarisasi dan indoktrinasi rezim orde baru dalam mempertahankan kekuasaanya.

Pemerintah sebaiknya saat ini berfokus pada perbaikan kurikulum yang nota bene masih bermasalah. Sampai saat ini, sistem pendidikan nasional Indonesia masih bersifat kebijakan yang reaksioner, emosional, dan terkesan simbolis, mengutamakan mereka atau nama.

BACA JUGA : DPRD Kalsel Sambut Hangat Mata Pelajaran PMP Dihidupkan Lagi

Kebijakan pendidikan yang tidak berkelanjutan, formalistik, dan mementingkan nama ketimbang subtansi adalah perusak masa depan pendidikan anak bangsa kita sesungguhnya..Mestinya Kemdikbud itu fokus saja memberi pelatihan Kurikulum 2013 (revisi) yang masih membingungkan bagi banyak guru, desain pembelajaran abad 21, keterampilan berpikir, praktik literasi, penilaian dan lainnya.

Agar terbentuk sumber daya manusia guru yang berkualitas tidak hanya menjadikan mengajar sebagai transfer ilmu pengetahuan saja  yang lebih mementingkan kepada aspek  kognitif saja, melainkan juga sebagai wujud pengabdian mendidik moral dan sikap setiap peserta didik untuk menjadikan generasi muda yang cerdas, unggul, berdaya saing dan berkarakter. Sudah seyogyanya guru adalah ujung tombak dan tonggak harapan bersama  orang tua untuk membentuk mental generasi muda Indonesia yang Pancasialis.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan  FKIP ULM

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.