Para Tengkulak Bermain, Pemkab Batola Harus Segera Turun Tangan

0

KONDISI perekonomian warga desa di Kecamatan Wanaraya dan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala (Batola), masih belum menentu. Padahal, desa-desa yang ada di dua kecamatan merupakan desa-desa produktif dalam menghasilkan produk pangan dan industri.

KELUHAN ini disampaikan warga di lima desa yakni Desa Pinang Habang, Simpang Jaya, Sidomulyo, Kolam Makmur dan Karang Indah, saat dikunjungi anggota Komisi II DPRD Kalsel Karlie Hanafi Kalianda dalam kegiatan resesnya di Kecamatan Mandastana dan Wanaraya, Batola.

Menurut Karlie Hanafi Kalianda, di desa-desa yang berada di Kecamatan Wanaraya dan Mandastana merupakan wilayah yang dulu lokasi transmigrasi asal Pulau Jawa dan Bali.

“Dulu, di desa-desa ini kebanyakan bekerja sebagai petani. Sekarang, sudah banyak yang beralih pekerjaan. Ada yang menjadi peternak, pekebun jeruk, sawit dan karet. Namun, belum bisa mengangkat perekonimian warga secara signifikan,” ucap Karlie Hanafi Kalianda kepada jejakrekam.com, Senin (12/11/2018).

Ia mencontohkan harga jual ternak sapi asal Wanaraya dan Mandastana, masih kalah bersaing dengan hewan ternak yang didatangkan dari Madura dan Nusa Tenggara Barat (NTB), saat Idul Adha tahun lalu.

“Padi-padi yang dihasilkan dari sawah di desa-desa ini juga tak bisa lagi surplus untuk dijual. Apalagi, kini yang menjadi petani hanya berkisar 30 hingga 40 persen dari populasi warga setempat. Bahkan, ada desa yang mengalami defisit, meski memasuki masa panen,” tutur Karlie.

Ketua Fraksi Golkar DPRD Kalsel ini mengungkapkan kebanyakan padi yang ditanam adalah varietas lokal seperti karang dukuh dan siam unus. Saat musim panen dalam dua panen, bisa menghasilkan 20 ton beras varietas lokal. Namun, beber Karlie, hasil panen terkadang tak bisa dijual karena digunakan untuk konsumsi keluarga.

Karlie mencatat permainan para tengkulak atau calo membuat harga produk pangan dan perkebunan menjadi turun. Padahal, desa-desa yang ada di dua kecamatan itu merupakan daerah penghasil jeruk, karet, sawit, dan padi.

“Bayangkan saja, harga jeruk keprok hanya menembus Rp 3.500 per kilogram. Begitupula, beras dijual Rp 150 ribu per blek (setara 20 kilogram atau 10 liter). Harga yang belum bisa bersaing ini dikeluhkan warga desa setempat,” papar dosen STIH Sultan Adam ini.

Hal serupa juga terjadi pada produksi karet dari kebun warga di Kecamatan Wanaraya dan Mandastana. Menurut Karlie, harga karet dijual murah karena permainan para tengkulak, sehingga harus bisa diputus mata rantai pemasaran, sehingga para petani bisa menjual langsung produknya ke pabrik yang ada di Banjarmasin.

“Ini juga dialami para pekebun sawit, harga jualnya juga sangat rendah. Harga tandan sawit hanya dijual Rp 600 per kilogram,” ucap Karlie.

Dia pun berharap agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batola segera turun tangan dalam mengatasi masalah yang dihadapi warga, terutama dari sisi pemasaran produk pertanian dan perkebunan.

“Saya menyarankan agar warga desa segera membentuk koperasi, agar bisa memutus mata rantai pemasaran yang harus melalui para tengkulak. Jadi, produk karet dan sawit bisa dijual langsung ke pabrik pengolah,” kata Karlie.

Dengan begitu, menurut dia, harga jual yang diinginkan warga bisa lebih baik lagi, sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi desa. “Gara-gara rendahnya harga jual itu, warga desa pun mengeluh tak bisa bayar iuran BPJS Kesehatan yang hanya Rp 35 ribu per bulan untuk pelayanan kelas III,” tutur Karlie.

Dia juga menyarankan agar warga desa juga membangun industri rumahan untuk pengemasan jeruk menjadi minuman kemasan. “Ini bisa diupayakan pemerintah daerah untuk membantu warga desa. Sebab, desa-desa yang ada di Mandastana dan Wanaraya merupakan sentral penghasil jeruk Batola. Jika diseriusi, justru akan menumbuhkan industri rumah tangga dan bisa mengangkat nilai jual produk,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.